Neraca perdagangan Indonesia sepanjang Juni 2019 surplus 196 juta dollar AS. Angka ini bagaikan setitik rasa manis di akhir semester I-2019.
Meski demikian, rasa manis itu tetap berbaur dengan kenyataan bahwa secara kumulatif pada Januari-Juni 2019 neraca perdagangan defisit 1,933 miliar dollar AS. Defisit semester I-2019 ini lebih dalam dibandingkan dengan Januari-Juni 2018 yang defisit 1,196 miliar dollar AS.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dan tren penurunan harga komoditas masih membayangi kinerja perdagangan. Faktor-faktor ini memang tidak hanya dialami Indonesia. Namun, dalam batas tertentu, juga dialami negara-negara lain di dunia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor Indonesia pada Juni 2019 sebesar 11,779 miliar dollar AS, sedangkan impor senilai 11,583 miliar dollar AS. Impor migas, kendati lebih rendah dibandingkan dengan lima bulan pertama tahun 2019, tetap menjadi sumber lonjakan impor.
Setipis apa pun surplus neraca perdagangan pada Juni 2019, tetap mesti diapresiasi. Setidaknya pencapaian surplus itu menjadikan defisit perdagangan pada semester I-2019 Indonesia relatif membaik dibandingkan dengan defisit pada sepanjang lima bulan pertama 2019 yang mencapai 2,141 miliar dollar AS.
Di sisi lain, kondisi defisit neraca perdagangan Indonesia pada semester I-2019 juga harus dijadikan pelecut untuk menggenjot kinerja lebih gemilang pada semester II-2019. Pemangku kepentingan, terutama pelaku usaha dan pemerintah, mesti fokus menggarap peluang yang bisa dimanfaatkan untuk mengubah defisit neraca perdagangan menjadi surplus.
Sepanjang semester I-2019, China merupakan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia, dengan nilai sebesar 11,399 miliar dollar AS atau setara dengan 15,36 persen dari total ekspor Indonesia sepanjang periode tersebut.
Adapun negara utama tujuan ekspor berikutnya adalah Amerika Serikat senilai 8,331 miliar dollar AS (11,23 persen) dan Jepang senilai 6,694 miliar dollar AS (9,02 persen).
Salah satu sikap yang kerap disematkan kepada pengusaha adalah keharusan untuk fokus, atau lebih terinci lagi fokus pada berbagai kemungkinan. Hal yang paling realistis digarap hendaknya yang diprioritaskan untuk dikerjakan.
Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri Indonesia menilai salah satu pasar yang berpotensi untuk ditingkatkan penggarapannya adalah China. Ada pasar besar di negeri berpopulasi miliaran jiwa tersebut.
Apalagi, selama ini, perdagangan Indonesia ke China masih defisit. Pada 2018, neraca perdagangan RI dengan China defisit 18,405 miliar dollar AS, lebih dalam dibandingkan dengan 2017 yang defisit 12,683 miliar dollar AS.
Selain itu, jangan dilupakan juga soal diversifikasi pasar ke negara-negara nontradisional dan diversifikasi produk atau komoditas ekspor. Tentu saja, ada modal untuk menggapai target peningkatan ekspor tersebut.
Ada kalimat kunci yang kerap disampaikan kalangan dunia usaha kepada pemerintah jika ingin ekspor Indonesia ditingkatkan. Formulanya ringkas, yakni hilangkan sekecil apa pun hambatan ekspor dan optimalkan dukungan bagi kegiatan ekspor.
Hambatan atau masalah dunia usaha selama ini sudah banyak dipetakan. Bahkan, pilihan solusinya juga telah berkali-kali dipikirkan dan dibahas. Pemerintah bahkan sudah menerbitkan 16 paket kebijakan ekonomi untuk memperbaiki persoalan tersebut.
Belasan paket kebijakan ekonomi sepatutnya mampu tecermin dalam peningkatan daya saing dunia usaha Indonesia. Apabila ada kinerja dunia usaha yang masih kurang, termasuk di sisi penggarapan pasar ekspor, bisa jadi ada implementasi kebijakan yang realisasinya tidak optimal. (C Anto Saptowalyono)