Dilema Memenjara BUMN
”Corruption is an insidious plague that has a wide range of corrosive effects on societies. It undermines democracy and the rule of law, leads to violations of human rights, distorts markets…”.
Rangkaian kalimat di atas menjadi awalan pembuka Konvensi Antikorupsi PBB (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC). Hal itu menunjukkan seberapa besar dampak korupsi yang telah menyentuh berbagai sektor, termasuk pasar yang di dalamnya melingkupi bisnis di Indonesia.
Salah satu sektor bisnis yang telah terjerat jaringan korupsi adalah BUMN. Pada 2018, Indonesia Corruption Watch menyebut terdapat kerugian negara Rp 1,3 triliun dari kasus korupsi yang terjadi di 19 BUMN di Indonesia.
Korupsi di BUMN bahkan menjerat posisi operasional tertinggi di BUMN, yakni direktur utama (dirut). Pada 1 Juli 2019, dirut BUMN Perum Jasa Tirta II ditetapkan sebagai tersangka dan dicekal untuk pergi ke luar negeri. Selanjutnya 2 Juli 2019, penyidikan terhadap kasus RJ Lino, mantan Direktur BUMN Pelindo II, dilanjutkan dengan didasari hasil kerugian negara yang telah diperoleh KPK.
Belum lama, mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta dengan pidana 8 tahun penjara disertai pidana denda dan pidana tambahan lainnya. Bahkan, di tubuh PLN dalam sebulan lebih terakhir ditemukan dua kasus korupsi yang berbeda yang menjerat direksi yang berbeda di mana kasus PLTGU menjerat direksi PLN dan kasus PLTU Riau menjerat Sofyan Basir. Tentu hal ini menjadi catatan buruk bagi PLN.
Pada 2018, ICW menyebut terdapat kerugian negara Rp 1,3 triliun dari kasus korupsi yang terjadi di 19 BUMN di Indonesia.
Beberapa dirut BUMN lain juga telah ditetapkan sebagai tersangka, seperti mantan Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar, mantan Dirut PT PAL Indonesia Firmansyah Arifin, dan mantan Dirut PT Asuransi Jasindo Budi Tjahjono.
Kesemua nama itu terlibat dalam tindak pidana korupsi saat menjabat sebagai dirut di BUMN-BUMN tersebut. Bahkan, KPK mulai membidik korporasi berbentuk BUMN sebagai subyek hukum.
BUMN sebagai tersangka
PT Nindya Karya sebagai BUMN telah ditetapkan KPK sebagai tersangka. Hal ini menjadikan rekor untuk pertama kalinya, BUMN sebagai tersangka. Namun, jika dilihat secara garis besar, korupsi yang terjadi di BUMN dapat dibagi ke dalam dua klasifikasi, yakni korupsi yang memang didasari dolus malus, niat jahat pelakunya untuk mengambil keuntungan secara melawan hukum, dan korupsi yang terjadi sebagai akibat dari kesalahan keputusan bisnis semata.
Pertanyaan terbesarnya adalah, apakah pemidanaan terhadap BUMN dan pengurusnya bermanfaat bagi iklim bisnis di Indonesia?
Pada dasarnya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) memang membuka kemungkinan mulai dari pegawai negeri, BUMN, sampai dengan pegawai swasta sekalipun menjadi subyek hukum.
Dalam UU Tipikor, subyek hukum yang dijerat bisa merujuk beberapa unsur, seperti unsur ”setiap orang” di mana ini meliputi berbagai subyek hukum, baik perseorangan maupun korporasi, dan juga terdapat unsur ”pegawai negeri atau penyelenggara negara” di mana pegawai negeri didefinisikan pada Pasal 1 angka 2 huruf d dan e, yang meliputi pula pengurus dan pegawai BUMN sebagai ruang lingkup pegawai negeri pada rezim UU Tipikor.
PT Nindya Karya sebagai BUMN telah ditetapkan KPK sebagai tersangka. Hal ini menjadikan rekor untuk pertama kalinya BUMN sebagai tersangka.
Selain daripada itu, unsur ”kerugian negara” juga bisa mencakup ”kerugian BUMN”. Hal ini dipertegas Pasal 2 huruf i dan g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Kemudian, konsep tersebut diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Nomor 62/PUU-XI/2013 yang telah memperkuat kedudukan Keuangan BUMN sebagai Keuangan Negara yang dipisahkan.
Hal ini diperkuat lagi dengan berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung yang telah menjatuhkan vonis berdasarkan pada kerugian BUMN yang memenuhi unsur ”merugikan keuangan negara”. Dengan demikian, pemidanaan terhadap pengurus BUMN bukan merupakan hal yang keliru jika didasarkan pada konsep ini.
Namun, dalam praktiknya banyak terjadi kegagalan bisnis yang mengakibatkan kerugian BUMN langsung dianggap sebagai tindak pidana korupsi tanpa melihat aspek bisnis. Dalam pengelolaan perseroan terbatas (PT) dikenal prinsip business judgment rule, yakni prinsip di mana pengurus korporasi yang telah menjalankan tugas dan fungsinya dengan iktikad baik tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian yang dialami BUMN.
Sebagai contoh dalam kasus mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan yang dianggap melakukan investasi PI di Blok BMG Australia tanpa melewati due diligence dan analisis risiko yang baik sehingga Pertamina mengalami kerugian.
Sekalipun telah dijatuhi vonis oleh Pengadilan Tipikor, dalam putusannya terdapat seorang hakim ad hoc Pengadilan Tipikor yang menyatakan dissenting opinion (pendapat hakim yang berbeda) dan menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah kegagalan bisnis dan masuk ke dalam ranah hukum perdata.
Tidak jauh berbeda, kasus yang menjerat RJ Lino, mantan Dirut PT Pelindo II, yang juga terkait masalah kegagalan bisnis. RJ Lino ditetapkan sebagai tersangka atas pengadan Quay Container Crane (QCC). Pengadaan tersebut dianggap tidak sesuai dengan infrastruktur yang ada dan mengakibatkan inefisiensi yang berakibat pada kerugian negara. Namun, RJ Lino yang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak Desember 2015 sampai dengan saat ini belum selesai penyidikannya.
Jika penegakan hukum terhadap BUMN dilakukan tanpa pengujian pengelolaan bisnisnya, bisa dipastikan BUMN akan lambat dalam perkembangan bisnisnya dan para pengurus BUMN lebih ’takut’ dalam melakukan improvisasi bisnis.
Pertanyaan terbesarnya, apakah dalam setiap keputusan bisnis, baik yang dilakukan Karen untuk investasi maupun dilakukan RJ Lino untuk pengadaan, telah diuji melalui konsep business judgment rule?
Konsep ini pernah terlintas pada Pengadilan Tipikor untuk memvonis bebas Hotasi Nababan, eks Dirut Merpati, yang diduga melakukan tindak pidana korupsi pada pengadaan yang dilakukan maskapai penerbangan Merpati. Secara historis, itu adalah vonis bebas Pengadilan Tipikor Jakarta.
Pada putusan tersebut, keputusan bisnis itu dianggap tidak melawan hukum karena telah didasarkan pada konsep business judgment rule. Namun, MA membatalkan vonis tersebut dan tetap menjatuhkan pidana kepada Hotasi. Pada pertimbangan MA, konsep business judgment rule kembali hampir tidak dibahas.
Pada dasarnya, jika konsep tersebut diperkuat dengan piercing the corporate veil, maka pengurus tidak memiliki pertanggungjawaban. Jika kerugian terjadi pada tubuh BUMN dan direksi telah melakukan tugasnya dengan iktikad baik sebagaimana Pasal 97 UU Perseroan Terbatas (PT), maka PT yang akan menanggung kerugian tersebut. Terutama jika direksi sudah mengacu pada ultra vires atau good corporate governance (tata kelola yang baik) BUMN tersebut, maka direksi tidak dapat dijerat pidana.
Penyalahgunaan wewenang pada BUMN jelas harus diuji dengan konsep-konsep itu. Jika penegakan hukum terhadap BUMN dilakukan tanpa pengujian pengelolaan bisnisnya, bisa dipastikan BUMN akan lambat dalam perkembangan bisnisnya dan para pengurus BUMN lebih ”takut” dalam melakukan improvisasi bisnis.
Konsep penyelesaian administrasi ini seharusnya dapat menjadi benchmarking dalam penyelesaian korupsi di wilayah BUMN.
Mendahulukan proses administrasi
Dalam tataran administrasi saja, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mewajibkan adanya uji di Pengadilan Tata Usaha Negara dulu untuk melihat apakah secara administratif perbuatan pemerintah tersebut memang memenuhi unsur ”penyalahgunaan wewenang”.
Bahkan, menurut UU tersebut, jika terdapat dugaan kerugian negara akibat kesalahan administratif, diutamakan pengembalian kerugian negara, sekalipun ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 4 UU Tipikor. Hal ini menunjukkan iktikad pemerintah mengurangi penuntutan pada upaya pembangunan saat ini.
Hal ini juga didukung Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menghapus unsur ”dapat” pada Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Hal ini menjadikan korupsi sebagai ”semi-Ultimum Remidium” di mana di sini perlu dilakukan uji administratif terlebih dahulu sebelum proses penegakan hukum dilakukan.
Hal ini juga sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 di mana dalam kasus korupsi, Jaksa Agung dan kepolisian harus mendahulukan proses administrasi ketimbang penegakan hukum.
Konsep penyelesaian administrasi ini seharusnya dapat menjadi benchmarking dalam penyelesaian korupsi di wilayah BUMN. Tujuan dari uji administrasi ini adalah untuk mencegah adanya ketakutan pemerintah dalam melakukan keputusan-keputusan penting yang berkaitan dengan pembangunan di Indonesia. Jika diambil sebagai contoh di BUMN, maka BUMN akan semakin berkembang dan berimprovisasi menjadi lebih baik lagi.
Namun, dolus malus atau niat jahat yang ada baik pada direksi, pegawai, maupun organ lain dari BUMN yang berakibat pada kerugian BUMN tetap harus menjadi perhatian penegakan hukum. Perlu tetap ada penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi di BUMN, baik dengan tindak pidana korupsi maupun kejahatan ekonomi lainnya. Hal ini juga menjadikan BUMN lebih berhati-hati dan memiliki integritas dalam bisnisnya.
(Muhammad Fatahillah Akbar, Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM)