DPR Bertekad Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Disahkan September
›
DPR Bertekad Undang-Undang...
Iklan
DPR Bertekad Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Disahkan September
Oleh
Sonya Hellen Sinombor / Agnes Theodora
·4 menit baca
Jakarta, Kompas — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang sempat terhenti di tengah kontestasi Pemilihan Umum 2019 kini kembali dilanjutkan. DPR dan pemerintah menargetkan rancangan undang-undang usul inisiatif DPR tersebut sudah dapat disahkan pada September, sebelum masa jabat periode 2014-2019 berakhir Oktober mendatang.
“Kita sudah sepakat sudah ada jadwal pengesahan (RUU) ini di September, baru kita tarik ke sekarang. Kita bahas saja dulu, prinsipnya RUU ini selesai,” ujar Ketua Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Marwan Dasopang, saat memimpin Rapat Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Komisi VIII DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Hal tersebut ditegaskan Marwan di hadapan Tim Panja DPR maupun pemerintah.“Jadi tetap kita bertekad ini kita sahkan,” kata Marwan menjawab pertanyaan Diah Pitaloka, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PDI-P.
Pada rapat tersebut panja mengelompokkan isu-isu krusial dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Soal judul RUU dan definisi kekerasan seksual menjadi perdebatan alot. Sementara, isu krusial lainnya seperti pencegahan, rehabilitasi/ pemulihan, dan pemidanaan, tidak banyak dipersoalkan.
Soal judul RUU dan definisi kekerasan seksual menjadi perdebatan alot
Dalam draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual definisi kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, atau perbuatan lain terhadap tubuh, hasrat seksual, atau fungsi reproduksi yang dilakukan secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas.
Selanjutnya, definisi dalam draf menyatakan, perbuatan kekerasan seksual itu dilakukan karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi jender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, serta kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Definisi tersebut masih diperdebatkan di internal Panja RUU tersebut. Ada yang beranggapan definisi ‘kekerasan’ perlu diubah agar lebih terukur dan tidak multitafsir. Dalam praktik penegakan hukum, definisi yang tidak jelas terkait perbuatan non-fisik yang bersifat merendahkan atau menghina itu, bisa dimaknai subyektif dan rawan kriminalisasi. Begitu juga penggunaan frasa ‘hasrat seksual’ juga dikhawatirkan bisa disalahartikan dalam konteks perilaku seksual menyimpang.
Membentuk sistem baru
Ketua Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Pemerintah yang juga Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Vennetia R Danes pada sidang panja tersebut menegaskan RUU tersebut merupakan upaya pembaruan hukum secara menyeluruh untuk mengatasi berbagai persoalan kekerasan seksual.
“Yang terpenting adalah bagaimana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini mampu membentuk sistem baru yang lebih melindungi perempuan dari sisi penegakan hukum, mendorong peran negara agar lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban, dan pencegahan kekerasan seksual di masa mendatang, karena kasusnya cenderung meningkat,” ujar Vennetia.
Vennetia memaparkan data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) dan BPS tahun 2016 bahwa 1.017 perempuan dan anak mengalami kekerasan seksual. Hasil Survei Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SPNHAR) 2018 bahwa 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual.
Selain itu data Simpofi PPA 2018 ada 6.895 kasus kekerasan seksual, serta data Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019 yang menyebutkan 64 persen kekerasan terhadap perempuan di ranah publik adalah kekerasan seksual (pencabulan, perkosaan, dan pelecehan seksual).
Vennetia juga menegaskan, semenjak Daftar Isian Masalah (DIM) Pemerintah diserahkan kepada pada DPR tahun 2017 telah terjadi dinamika perkembangan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, menyusul masukan dan usulan dari masyarakat sipil, pakar hukum, dan kementerian/lembaga. Dampaknya terjadi perubahan signifikan dalam DIM Pemerintah yang sebelumnya.
“Besar harapan pemerintah kiranya naskah hasil pembahasan tersebut akan menjadi pelengkap DIM Pemerintah, nantinya akan dibahas bersama dengan RUU versi DPR sehingga menghasilkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang akan disahkan DPR Periode 2014-2019,” kata Vennetia yang kemarin menyerahkan naskah yang akan menjadi pelengkap DIM Pemerintah yang diserahkan sebelumnya.
Diah Pitaloka menilai draft pemerintah lebih baik, pimpinan panja akan mensahkan di bulan September, pada intinya kita sudah ada pemahaman bahwa persoalan kekerasan seksual memang harus ditangani lebih serius dengan adanya perundang-undangan yang bisa menyelesaikan persoalan bagi korban dalam mendapatkan perlindungan dan mengupayakan keadilan.
“Kita senang bahwa pemerintah mendukung draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujar Diah.