Ekspor produk kayu dan olahannya dapat mengurangi defisit neraca perdagangan. Selain menghasilkan devisa ekspor yang diperkirakan sebesar 1,6 miliar dollar AS, ekspor kayu dan olahannya dapat menumbuhkan aktivitas ekonomi di daerah.
Oleh
Ferry Santoso
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekspor produk kayu dan olahannya dapat mengurangi defisit neraca perdagangan. Selain menghasilkan devisa ekspor yang diperkirakan sebesar 1,6 miliar dollar AS, ekspor kayu dan olahannya, terutama dari Papua dan Papua Barat, dapat menumbuhkan usaha kecil dan menengah di bidang penggergajian kayu serta aktivitas ekonomi di daerah.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo dalam pertemuan dengan media di Jakarta, Kamis (18/7/2019). Hadir dalam acara itu sejumlah pengurus APHI, antara lain Wakil Ketua Umum APHI Rahardjo Benyamin, Ketua Bidang Hutan Alam APHI David, dan Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto.
”Diperlukan kebijakan untuk memperbaiki perdagangan hasil hutan melalui ekspor kayu gergajian dan kayu olahan, terutama dari Papua dan Papua Barat,” kata Indroyono.
Melalui ekspor produk kayu dan olahannya, diperkirakan ada tambahan devisa ekspor 1,6 miliar dollar AS.
Perkiraan peningkatan devisa ekspor sebesar 1,6 miliar dollar AS itu, lanjut Indroyono, berasal dari ekspor kayu gergajian berbasis kayu alam dari Papua dan Papua Barat sebesar 175 juta dollar AS, ekspor kayu olahan (moulding) yang diperluas penampangnya berbasis kayu alam sebesar 682,5 juta dollar AS, ekspor panel kayu berbasis kayu alam 240 juta dollar AS, dan ekspor kayu olahan berbasis kayu tanaman sebesar 495 juta dollar AS.
Sebagai gambaran, lanjutnya, nilai ekspor produk kayu dan olahannya pada 2018 sebesar 12,2 miliar dollar AS, meningkat dari 2017 yang sebesar 10,3 miliar dollar AS. Jika ada kebijakan baru terkait ekspor produk kayu gergajian dan olahan, diperkirakan nilai ekspor produk kayu dan olahannya bisa mencapai 14 miliar dollar AS.
Ia menambahkan, Presiden Joko Widodo menaruh perhatian serius terhadap masalah defisit neraca perdagangan. Untuk itu, APHI terdorong untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam, terutama hasil hutan, dan mendorong ekspor.
Purwadi mengatakan, ketentuan ekspor produk kayu dan olahannya diatur dengan berbagai ketentuan, seperti peraturan bersama Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan terkait penghentian ekspor kayu bulat/bahan baku serpih.
Selain itu, ada ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44/M-DAG/PER/7/2012 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84/M-DAG/PER/12/2016 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.
Menurut Purwadi, memang diperlukan revisi terhadap peraturan menteri perdagangan yang mengatur ekspor produk kayu dan olahannya agar peluang ekspor produk kayu dan olahannya menjadi lebih terbuka dan lebih besar.
Rahardjo menambahkan, industri kehutanan di Vietnam saat ini jauh lebih bergairah dibandingkan dengan di Indonesia. Selain biaya-biaya yang harus ditanggung pengusaha produk kayu di Vietnam lebih murah, iklim usaha dan regulasi di Vietnam jauh lebih baik dan menarik.
Rahardjo mencontohkan, pelaku usaha di Vietnam tidak dibebani dengan biaya-biaya seperti biaya dana reboisasi (DR), provisi sumber daya hutan, serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang tinggi. Dengan kondisi itu, masyarakat di Vietnam banyak menanam tanaman akasia. Meskipun hasil tanaman akasia di Vietnam tidak lebih baik dari Indonesia, kayu akasia tetap diserap pelaku industri karena biayanya lebih murah.
Oleh karena itu, menurut Indroyono, untuk mendorong ekspor produk kayu dan olahannya, pemerintah juga perlu mempertimbangkan pemberian insentif bagi pelaku usaha. Insentif itu misalnya percepatan pembayaran restitusi Pajak Pertambahan Nilai, peninjauan kembali penetapan harga kayu untuk basis pengenaan Pajak Penghasilan, keringanan PBB, dan pembayaran DR dalam mata uang rupiah.