JAKARTA, KOMPAS — Konsumen cenderung menginginkan bentuk layanan serba cepat dan mudah digunakan di setiap fase transaksi digital. Apabila berhadapan dengan friksi pelayanan ataupun hambatan, konsumen cenderung mudah menghentikan pemakaian.
Demikian benang merah hasil studi ”Zero Friction Future” yang dikerjakan Facebook, Boston Consulting Group, dan GfK. Studi ini disusun berdasarkan multiriset dan survei kepada konsumen di Asia Pasifik. Periode penelitian berlangsung pada semester II-2018.
Sektor industri yang diteliti adalah perdagangan elektronik atau e-dagang, perjalanan, ritel, lintas batas negara, serta jasa keuangan dan otomotif.
Secara khusus untuk Indonesia, survei menyasar 1.600 orang berusia 18-54 tahun. Mereka merupakan pengguna ponsel pintar serta setidaknya mengikuti perkembangan produk mode, kecantikan, grosir ritel, dan elektronik di platform e-dagang dalam tiga bulan terakhir. Mereka juga melakukan riset dalam jaringan sebelum bertransaksi digital.
Mengutip survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Marketing Science Lead Facebook Indonesia Adisti Latief, Kamis (18/7/2019), di Jakarta, menuturkan, lebih dari 50 persen dari 262 juta penduduk Indonesia adalah pengguna internet pada 2019.
Menyambung temuan survei itu, laporan Global Web Index menyebutkan akses internet oleh pengguna rata-rata delapan jam per hari. Jika dikaitkan, hasil survei kedua institusi itu bisa menjadi pijakan untuk mengetahui faktor pendorong kebiasaan bertransaksi digital yang tumbuh pesat. Lembaga riset pasar eMarketer memprediksi 38 persen pengguna internet di Indonesia akan menjadi pembeli aktif di platform e-dagang pada 2020.
Pemakai media sosial di Indonesia tergolong besar dan aktif. Contohnya pengguna aktif Facebook rata-rata 115 juta orang setiap bulan.
”Dengan beberapa gambaran konsumen yang suka konektivitas internet seperti itu, tidak heran jika konsumen selalu berharap ’sekarang’ di setiap fase perjalanan transaksi digital. Dengan kata lain, mereka yang bertingkah laku seperti itu dapat julukan ’generasi sekarang’,” ujar Adisti.
Fase bertransaksi digital dimulai dari pencarian, pembelian, dan pasca-pembelian. Laporan studi ”Zero Friction Future” menyebutkan 94 persen dari responden menemukan friksi di setiap fase transaksi digital. Setiap 54 persen di antaranya tidak menyelesaikan transaksi karena ada friksi.
Salah satu friksi berupa informasi penawaran kurang dan tidak relevan. Sekitar 61 persen responden cenderung membatalkan transaksi jasa keuangan ketika menemukan penawaran yang tidak sesuai. Adapun sekitar 55 persen responden tidak melanjutkan belanja karena ulasan terhadap produk atau toko yang kurang.
Friksi lain yang tidak kalah penting adalah proses pelayanan yang lama dan tidak responsif. Sekitar 66 persen responden tidak mau melanjutkan transaksi jika tidak segera mendapatkan konfirmasi pendaftaran layanan.
Sekitar 63 persen responden langsung memutuskan batal bertransaksi pemesanan kebutuhan perjalanan jika kesulitan berhubungan dengan tim pelayanan konsumen. Untuk kasus friksi yang sama, tetapi di sektor industri e-dagang, sekitar 65 persen responden tidak akan melanjutkan transaksi.
Friksi lain berupa laman toko e-dagang terlalu lama dalam proses pembukaan. Sekitar 61 persen responden yang sudah ada di fase setengah perjalanan menyatakan akan langsung membatalkan rencana transaksi. Jika baru mencoba buka laman dan responsnya lama, sekitar 48 persen responden tidak mau menunggu masuk untuk berbelanja.
”Pelaku bisnis berpotensi kehilangan pendapatan tahunan jika mereka mengabaikan friksi,” kata Adisti.
Managing Director and Partner Boston Consulting Group Haikal Siregar mengatakan, dari hasil multiriset, kebanyakan perusahaan kurang cepat menghadapi tren transaksi digital yang berkembang pesat. Hal ini tidak bisa serta-merta disalahkan. Alasannya, untuk bertransformasi, perusahaan harus berinvestasi cukup besar pada perangkat ataupun sumber daya manusia.
”Tuntutan layanan minim friksi atau zero friction melahirkan bidang-bidang pekerjaan baru. Tantangannya, sejauh mana perusahaan mampu mengisi bidang pekerjaan itu dengan pekerja kompeten,” ujarnya.
Menurut Haikal, seiring kemunculan konsumen ”generasi sekarang”, perusahaan antarsektor industri harus berkolaborasi. Membentuk ekosistem layanan zero friction adalah cara terbaik agar potensi kehilangan pendapatan tidak membesar.
Vice President Digital Marketing PT Bank Central Asia Tbk Duardi Prihandiko mengakui di setiap fase perjalanan transaksi digital selalu ada potensi friksi. Wujud friksi beragam, dari hal sederhana hingga hal yang kompleks. Misalnya, pendistribusian layanan yang memakan waktu lama dan gangguan keamanan siber.
”Di era transaksi digital, perbankan harus mau terus belajar memahami konsumen dan berinovasi. Meminimalkan friksi dapat mendorong percepatan inklusi keuangan,” ujarnya.