Jalur Perdagangan Laut Loyo
Semangat Presiden Joko Widodo menjadikan laut sebagai latar depan pintu gerbang jasa perdagangan internasional begitu kuat. Presiden Jokowi bahkan bermimpi, Indonesia sebagai negeri kepulauan akan memiliki keunggulan komparatif berupa jalur transportasi yang efektif memotong biaya jasa logistik. Namun, hasrat itu masih sulit direalisasikan hingga kini.
Transportasi laut yang merupakan salah satu program Nawacita Presiden Jokowi diharapkan menjadi kunci untuk meningkatkan kualitas distribusi logistik yang efisien. Hal ini bisa memotong ongkos angkut barang dari sentra produksi ke pasar domestik dan ekspor.
Tanpa upaya itu, sulit bagi Indonesia meningkatkan kinerja perdagangannya. Transportasi laut saat ini menyebabkan harga komoditas tidak kompetitif dan kualitas barang kurang optimal. Kendala itu membuat produsen sulit menembus pasar karena harga jual tidak mampu menutup biaya produksi.
Mereka akhirnya membiarkan hasil panen dengan kualitas terus menurun atau menunggu pedagang pengepul yang membeli di bawah harga pasar. Sementara di sisi lain, perusahaan pelayaran juga tak ingin masuk secara terjadwal karena kondisi muatan yang tidak pasti.
Mereka akan menunggu kepastian barang mencukupi baru masuk agar biaya bahan bakar, tarif jasa pelabuhan, dan waktu berlayar yang panjang bisa sebanding dengan ongkos angkut. Jika tidak, pengusaha pelayaran khawatir bisnis mereka akan bangkrut.
Oleh sebab itu, jika persoalan ini terus berlanjut, peluang komoditas unggulan Indonesia di sektor agro dan pangan sulit menembus pasar ekspor. Kesempatan untuk menekan defisit, apalagi surplus, pada neraca perdagangan sulit dilakukan. Neraca perdagangan Indonesia akan tetap seperti yoyo, naik dan turun tak terkendali. Jika harga komoditas bagus, neraca perdagangan surplus. Namun, jika harga komoditas di pasar turun, akan defisit.
Terbukti, begitu harga berbagai komoditas turun, misalnya minyak dan gas bumi karena produksi berlimpah, minyak sawit karena isu lingkungan, komoditas karet kelebihan stok, serta kakao yang dijual tanpa fermentasi; neraca perdagangan langsung defisit.
Selama semester pertama 2019, beberapa kali terjadi defisit neraca perdagangan. Laporan Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan pada Januari 2019 mengalami defisit 1,06 miliar dollar AS. Angka defisit ini lebih tinggi dari nilai defisit neraca perdagangan Desember 2018 yang mencapai 1,07 miliar dollar AS.
Pada April 2019, defisit perdagangan mencapai 2,28 miliar dollar AS, terdalam sepanjang sejarah RI. Nilai ekspor Indonesia pada April mencapai 13,11 miliar dollar AS, sedangkan ekspor Maret 2019 senilai 14,12 miliar dollar AS. Sementara impor April mencapai 15,39 miliar dollar AS, naik dibandingkan dengan Maret senilai 13,45 miliar dollar AS. Namun, Mei dan Juni 2019 terjadi surplus. Bulan Mei surplus 218,5 juta dollar AS dan bulan Juni (angka sementara) surplus 196 juta dollar AS.
Wajar jika Presiden Jokowi gusar dengan kinerja perdagangan Indonesia. Kegusaran itu diungkapkan secara terbuka dalam rapat-rapat kabinet, di sejumlah peresmian, hingga pertemuan dengan dunia usaha. Bahkan, yang terakhir dalam pidato politiknya, Presiden Jokowi menyatakan siap menindak aparat yang mempersulit investasi, produksi, dan perdagangan.
Ramai di awal
Jika saja semua pihak kementerian, perusahaan pelat merah yang banyak memegang kendali industri dan produksi strategis, serta birokrasi di daerah bekerja dengan total, persoalan tersebut akan bisa diatasi. Artinya, pembantu presiden, badan usaha milik negara, dan birokrasi di daerah mampu melakukan koordinasi yang baik.
Namun, selama ini koordinasi ibarat barang langka di Indonesia. Jalur logistik laut menjadi tidak efisien, mahal, dan merugikan pelaku usaha.
Program tol laut dan pembangunan jalur perdagangan khusus dalam kerja sama yang dilakukan antarnegara, seperti jalur perdagangan Bitung (Sulawesi Utara)-Davao (Filipina), mandek. Padahal, jalur tersebut diresmikan Presiden Jokowi dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte di Pelabuhan Kudos, Davao, pada 30 April 2017.
Program tersebut pada akhirnya mati suri karena kebijakan antara satu menteri dan menteri lain tidak sinkron. Bahkan, tidak jarang bertabrakan antara satu keputusan dan keputusan lain pada persoalan yang sama.
Kondisi ini membuat aktivitas perdagangan dan dunia usaha untuk melakukan mobilitas barang dari satu daerah ke daerah lain atau dari Indonesia ke negara lain menjadi lebih mahal dan lama. Pelaku usaha pun akhirnya kembali memilih jalur konvensional untuk mendapatkan kepastian agar bisnis mereka tidak mati.
Dengan menggunakan jalur tol laut tersebut, waktu tempuh barang justru bertambah lama. Dengan demikian, kualitas produk hasil hutan, perkebunan, pertanian, dan perikanan menjadi tidak optimal. Harga jual komoditas itu turun dan tidak tertutup kemungkinan banyak barang yang rusak.
Disiapkan insentif
Melihat perkembangan itu, Kementerian Koordinator Perekonomian melakukan rapat koordinasi, membahas masalah tersebut. Jumat (12/7/2017), Kementerian Koordinator Perekonomian mencari jalan untuk reaktivasi atau mengupayakan keberlanjutan konektivitas laut Bitung-Davao dalam kerja sama kawasan pertumbuhan Asia Timur (Kompas, 13/7/2019).
Jalur perdagangan internasional Bitung-Davao berhenti beroperasi setelah Presiden Jokowi dan Presiden Duterte meresmikan jalur tersebut. Setelah peresmian, tidak ada lagi kapal berlayar ke Bitung setelah kapal pertama kembali ke Davao.
Jalur itu tidak beroperasi, antara lain, karena kekurangan muatan ekspor serta perbedaan aturan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian tentang impor. Mengatasi masalah tersebut, pemerintah menyiapkan sejumlah insentif agar mereka kembali melayari jalur itu.
Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Regional dan Subregional Kementerian Koordinator Perekonomian Netty Muharni mengatakan, pemerintah saat ini tengah menyiapkan insentif potongan biaya pelabuhan, penurunan harga bahan bakar minyak, dan relaksasi aturan ekspor-impor.
”Kami memastikan supaya ongkos angkut kapal bisa turun. Selain insentif, kalau komoditas yang diangkut banyak, muatan penuh, otomatis ongkos kapal bisa lebih murah,” kata Netty seusai rapat koordinasi, Jumat.
Selain itu, pemerintah menyiapkan fasilitas penambahan komoditas dagang dan potongan biaya pelabuhan sebesar 50 persen untuk kapal kargo. Potongan itu berlaku resiprokal di Pelabuhan Bitung dan Pelabuhan Davao sekaligus.
Pemerintah juga tengah mengkaji skema penurunan harga bahan bakar minyak jenis biodiesel 20 persen atau B20 dan Dexlite untuk kapal rute Bitung-Davao. Harga bahan bakar minyak bisa turun jika Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak atas Penggunaan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor menjadi 0 persen.
Selama ini, produk Filipina yang dijual ke Indonesia antara lain pakan ternak, pupuk, bahan bangunan, produk es krim, unggas, dan buah segar. Adapun produk dari Indonesia adalah kelapa, kopra, jagung, bahan pakan ternak, kayu, semen, tanaman bernilai tinggi, dan aneka sayuran.
Komitmen
Harapan Presiden Jokowi dan Presiden Duterte adalah membangun jalur pelayaran kargo Filipina-Indonesia yang efisien agar ekspor, investasi, dan pariwisata kedua negara meningkat.
Namun, karena mati suri, produk tetap didistribusikan melalui jalur konvensional di Jakarta. Padahal, jika jalur tersebut hidup, jarak tempuh pelayaran Bitung-Davao hanya sekitar 36 jam. Sementara melalui jalur konvensional, distribusi barang dari Bitung ke Davao bisa 3-5 minggu karena komoditas itu harus melewati Makassar, Surabaya, atau Jakarta sebelum ke Davao. Selain itu, pengangkutan barang dari Manila, Jakarta, dan Bitung yang membutuhkan biaya 2.200 dollar AS per TEU bisa ditekan menjadi 700 dollar AS per TEU.
Banyak kasus yang bisa dilihat bahwa kebijakan yang ada selama ini hanya bagus di awal dan di atas kertas. Namun, implementasinya nyaris tidak bisa dilakukan. Akhirnya transportasi perdagangan laut di Indonesia tetap loyo.
Oleh sebab itu, rakyat, khususnya dunia usaha, di wilayah timur berharap reaktivasi jalur perdagangan Bitung-Davao bisa menjadi komitmen pekerjaan rumah pertama bagi para pembantu presiden untuk direalisasikan. Namun, jika tidak, janji itu akan tercatat sebagai sejarah panjang Presiden Jokowi yang tak pernah dituntaskan. (krn/oka)