COLORADO, RABU —Keutuhan Pakta Pertahanan Atlantik Utara menjadi taruhan karena perselisihan dua anggotanya, Amerika Serikat dan Turki. AS mengeluarkan Turki dari proyek pengembangan dan pengadaan jet tempur terbaru, pesawat siluman F-35.
”Saya mengkhawatirkan dampak keputusan (terkait) Turki karena berarti Turki tak bisa terlibat program F-35,” kata Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg di sela-sela konferensi tahunan pertahanan di Aspen, Colorado, AS, Rabu (17/7/2019) malam atau Kamis dini hari WIB.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengadaan dan Perawatan pada Departemen Pertahanan AS Ellen Lord, Rabu (17/7), mengumumkan Turki akan dikeluarkan dari proyek F-35. Turki memasok hingga 900 jenis suku cadang bagi jet tempur terbaru yang dikembangkan AS bersama sekutu dan mitranya itu.
Keputusan diambil setelah pilihan Turki membeli sistem pertahanan udara S-400 buatan Rusia. Ankara mengatakan, mereka telah menerima pengiriman pertama suku cadang dan bagian dari rudal S-400 sejak 12 Juli 2019.
”Kami meminta AS menarik keputusan yang bisa menyebabkan kerusakan yang tak bisa diperbaiki dalam hubungan strategis AS-Turki,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Turki terkait pengumuman Lord.
Turki memesan 100 unit F-35 dengan nilai pembelian 1,4 miliar dollar AS (Rp 19,5 triliun). Para pelaku industri pertahanannya berinvestasi besar- besaran untuk membuat suku cadang pesawat tempur generasi terbaru tersebut.
Masalahnya, menurut Stoltenberg, peran Turki di NATO lebih dari sekitar proyek F-35. Turki berperan vital dalam memerangi milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) sampai mereka dikalahkan pasukan gabungan NATO. ”Kami menggunakan pangkalan, infrastruktur, dan Turki berperan penting dalam pertempuran,” ujarnya.
Turki mengerahkan tentara dalam operasi NATO di Afghanistan dan Kosovo. Ankara juga membayar puluhan juta euro per tahun sebagai kontribusi ke NATO. Pada 2018, Turki membayar kontribusi 89,8 juta euro (Rp 1,4 triliun).
Peran lain Turki bagi NATO adalah menjadi lokasi radar peringatan dini serangan rudal. Radar di Matlaya, provinsi di Turki timur, merupakan salah satu unsur pertahanan penting NATO. Turki juga menyediakan pangkalan udara Konya di selatan Ankara sebagai pangkalan pesawat pengintai NATO.
Selain itu, Komando Darat NATO Landcom bermarkas di Provinsi Izmir. Bahkan, meski tak pernah diakui AS secara terbuka, Pentagon menyimpan senjata nuklirnya di Pangkalan Udara Incirlik, Turki.
Salahkan Obama
Presiden AS Donald Trump menyebut situasi menjadi rumit gara-gara pendahulunya, Barack Obama. Pemerintahan Obama dituding menghambat Turki membeli sistem pertahanan udara, Patriot, buatan AS. Karena itu, Turki mencari alternatif untuk memperkuat pertahanan udaranya.
Turki berusaha membeli Patriot pada 2009. Transaksi 7,8 miliar dollar AS itu disetujui pemerintahan Obama. Belakangan, transaksi dibatalkan AS karena Turki meminta dilibatkan dalam produksi sebagian suku cadang Patriot.
Pada 2017, Rusia setuju menjual S-400 senilai 2,1 miliar dollar AS kepada Turki. Bahkan, Moskwa setuju melibatkan Ankara dalam pengembangan S-500, sistem pertahanan udara kelanjutan S-400.
AS bolak-balik meminta Turki membatalkan transaksi S-400. Washington juga menawarkan Patriot dengan harga lebih murah. Ada kekhawatiran di kalangan NATO, jika S-400 diintegrasikan dengan sistem pertahanan Turki, ada risiko data sensitif aneka persenjataan buatan NATO, termasuk pesawat F-35, bocor ke Rusia.
Namun, Trump mengakui semua sudah terlambat. Turki telanjur mendapat tawaran lebih baik dan sulit diubah. Pilihan Turki dinilai Trump merugikan semua pihak. ”Karena mempunyai sistem rudal buatan Rusia, mereka dilarang membeli hampir 100 pesawat. Saya berpendapat, Lockheed (produsen utama F-35 Lockheed Martin) tidak benar-benar senang. (Proyek) itu (menghasilkan) banyak lapangan kerja,” katanya.
Deputi Direktur Jenderal Kebijakan Pertahanan AS David Trachtenberg menyebut Turki tetap menjadi sekutu AS. Ankara tetap dilibatkan dalam latihan NATO. ”Kami terus bersama Turki dalam latihan-latihan gabungan guna meningkatkan kesiapan dan kemampuan mengoperasikan peralatan tempur, termasuk latihan di Georgia, Jerman, dan Inggris mendatang,” tuturnya.
Menurut dia, diperlukan keputusan semua anggota NATO untuk mengeluarkan Turki. Sejak didirikan pada 1949, belum ada anggota NATO yang keluar sukarela atau dikeluarkan.