Penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, adalah serangan terhadap pemberantasan korupsi. Wajar jika publik menaruh perhatian besar.
Novel disiram air keras pada 11 April 2017. Dalam berita Kompas, 12 April 2017, Presiden Joko Widodo bereaksi keras. Presiden menyebut penyiraman air keras itu adalah tindakan brutal dan tidak beradab. ”Jangan sampai orang-orang yang memiliki prinsip teguh seperti itu dilukai dengan cara yang tidak beradab. Kekerasan seperti itu tidak boleh terulang.”
Dalam berita yang sama, Presiden memerintahkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengusut kasus itu. Lalu, Kapolri memerintahkan Kepala Polda Metro Jaya (waktu itu) Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan untuk membentuk tim khusus guna mengungkap kasus besar tersebut. Waktu pun terus berjalan.
Namun, hingga hari ke-827, kasus Novel Baswedan tetap gelap. Menjelang debat calon presiden, Kepala Polri membentuk tim pencari fakta (TPF) pada 8 Januari 2019. Sejumlah aktivis hak asasi manusia (HAM) dilibatkan, seperti mantan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim serta aktivis HAM Nur Kholis, Hendardi, dan sejumlah nama lain. TPF diberi waktu 60 hari. Pada Rabu, 17 Juli 2019, TPF pun melaporkan temuannya kepada publik.
TPF menyebutkan penyerangan terhadap Novel kemungkinan terkait enam kasus yang ditangani. TPF merekomendasikan kepada Kapolri untuk membentuk tim teknis kepolisian guna mengungkap kasus itu. Tim dipimpin Kepala Bagian Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Idham Azis yang juga pernah menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya.
Penyelidikan kasus Novel terasa berputar-putar. Dari satu tim ke tim yang lain. TPF pun merekomendasikan dibentuk tim teknis. Berputar-putarnya pengungkapan kasus Novel itu wajar menimbulkan kekecewaan publik, terutama Novel serta pimpinan dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Publik pantas khawatir terhadap masa depan pemberantasan korupsi, termasuk juga masa depan KPK. Akankah agresivitas KPK memberantas korupsi justru teredam dengan berbagai dinamika yang melingkupi KPK? Juga akan sangat ditentukan oleh sikap politik dan keteguhan Presiden Jokowi.
Sebagai pemimpin negara yang tak punya beban—dan itu beberapa kali disampaikan Presiden Jokowi sendiri—publik menaruh harapan besar kepada Presiden Jokowi. Membentuk tim gabungan pencari fakta independen adalah salah satu upaya yang bisa diambil. Dari kacamata publik, berlarutnya pengungkapan kasus Novel paling tidak mengindikasikan ada ”tokoh” lain yang terlibat dalam kasus tersebut.
Kita dorong Presiden Jokowi berani mengambil langkah politik untuk mengungkap kasus Novel serta mempertahankan eksistensi KPK yang kuat. Keinginan untuk menghadirkan negara yang kuat dan KPK yang kuat ada dalam Nawacita. Namun, Nawacita dan retorika tak punya makna apa-apa jika tak ada langkah konkret untuk mengungkapnya. Jangan sampai KPK mengalami pelemahan, justru di era Presiden Jokowi. Kita percaya Presiden akan berbuat untuk negeri.