Musodikun, Penggiat Pertanian Organik di Lahan Berawa
Tujuh tahun yang lalu, ketika Musodikun (48) menerapkan pertanian organik di Desa Danda Jaya, hampir tidak ada petani lain yang melirik. Cara bertaninya bahkan dipandang sebelah mata. Setelah melihat keberhasilannya, kini banyak yang ingin belajar dan menerapkan pertanian organik.
Di Danda Jaya, sebuah desa yang berada di Kecamatan Rantau Badauh, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Musodikun merintis pertanian organik. Petani yang akrab dipanggil Sodikun itu memanfaatkan limbah atau kotoran ternak untuk pupuk tanaman pangan dan hortikultura di lahan rawa garapannya.
”Awalnya, saya juga mencoba. Saya ingin menekan biaya produksi dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia. Ternyata berhasil. Bahkan, hasilnya lebih bagus,” kata Sodikun yang ditemui pada saat meninjau areal persawahan di Desa Jejangkit Muara, Kecamatan Jejangkit, Barito Kuala, Sabtu (13/7/2019).
Dengan menggunakan pupuk organik, menurut Sodikun, tanaman pangan ataupun hortikultura di lahan rawa lebih tahan terhadap hama dan produktivitasnya juga meningkat. ”Setelah pakai pupuk organik, hasil panen padi bisa mencapai 12-13 belek per borong (1 borong sama dengan 1/6 hektar). Sebelumnya, paling hanya 9-10 belek per borong,” ujarnya.
Menurut Sodikun, tidak mudah menerapkan pertanian organik di lahan rawa. Itu karena lahan rawa lebak dan pasang surut di Danda Jaya dan sekitarnya memiliki kadar asam yang tinggi dan mengandung banyak pirit (FeS2), yaitu mineral berkristal kubus dari senyawa besi sulfida.
”Kalau tingkat keasaman tanahnya masih sangat tinggi, tetap diperlukan pupuk kimia untuk mempercepat pertumbuhan tanaman. Tetapi, pemakaiannya cukup hanya 25 persen. Selebihnya pakai pupuk organik,” tutur bapak dua anak itu.
Menurut Sodikun, cara bertani organik di lahan rawa mula-mula dipelajarinya secara otodidak. Lambat laun pengetahuannya mengenai pertanian organik semakin berkembang setelah mengikuti pelatihan dari berbagai instansi.
Sodikun mengaku banyak belajar dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Barito Kuala, Dinas Perkebunan dan Peternakan Barito Kuala, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalsel, Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Holtikultura Kalsel, serta Balai Latihan Masyarakat Banjarmasin.
”Setelah tiga tahun menerapkan pertanian organik di lahan sendiri baru kelihatan hasilnya. Kemudian dilakukan uji laboratorium terhadap pupuk organik yang saya buat, ternyata pupuk itu layak diaplikasikan ke pertanian umum,” ujarnya.
Dua jenis
Untuk mengaplikasikan pertanian organik, Sodikun membuat dua jenis pupuk organik, yakni pupuk padat dan pupuk cair. Pupuk padat terbuat dari kotoran padat ternak, antara lain sapi, kambing, ayam, dan burung puyuh.
Dalam proses pengolahan menjadi pupuk padat dalam bentuk tepung ataupun butiran (granul), kotoran ternak tersebut dicampur dengan beberapa komponen lain, misalnya serbuk kayu bekas media tanam (baglog) jamur, kapur, dan abu.
Setelah tiga tahun menerapkan pertanian organik di lahan sendiri baru kelihatan hasilnya. Kemudian dilakukan uji laboratorium terhadap pupuk organik yang saya buat, ternyata pupuk itu layak diaplikasikan ke pertanian umum.
Menurut Sodikun, pupuk organik dalam bentuk tepung lebih cocok diaplikasikan pada tanaman hortikultura, sedangkan dalam bentuk granul lebih cocok untuk tanaman pangan di lahan rawa yang selalu basah.
”Dalam sebulan, saya rata-rata memproduksi 30-35 ton pupuk organik padat. Pupuk tersebut didistribusikan ke sebagian wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah,” kata Ketua Gabungan Kelompok Ternak Wijaya Kusuma Desa Danda Jaya itu.
Untuk pupuk cair, Sodikun mengolahnya dari urine sapi ataupun kambing. Pupuk berbentuk cair itu terbagi menjadi dua jenis, yakni pupuk murni dan pupuk mengandung pestisida. Pupuk cair yang mengandung pestisida diolah dari urine ternak dicampur gadung, serai, lengkuas, bawang putih, dan tembakau. Dalam sebulan, produksinya rata-rata 1.200 liter.
”Pupuk organik cair cocok diaplikasikan pada tanaman hortikultura maupun tanaman pangan. Khusus untuk pupuk cair yang mengandung pestisida sangat efektif untuk mengusir hama walang sangit,” katanya.
Karena sudah melalui proses uji laboratorium, pupuk padat ataupun pupuk cair yang diproduksi Sodikun layak dipasarkan. Pupuk padat dibanderol dengan harga Rp 1.500 per kilogram, sedangkan pupuk cair dibanderol Rp 50.000 per liter. ”Harga itu berlaku untuk proyek. Untuk petani, beda harganya,” ujarnya sambil tertawa.
Kepada sesama petani, Sodikun memberikan subsidi Rp 500 per kilogram untuk pupuk padat dan Rp 20.000 per liter untuk pupuk cair. Dengan begitu, harga jual pupuk padat kepada petani menjadi Rp 1.000 per kilogram dan pupuk cair menjadi Rp 30.000 per liter.
Transfer ilmu
Sodikun memerlukan waktu tiga tahun untuk membuktikan bahwa pertanian organik juga bisa berhasil diterapkan di lahan rawa yang tinggi kadar asamnya. Mulai 2015, ia pun percaya diri mengajak petani lain untuk menerapkan pertanian organik.
”Ketika saya memberikan edukasi tentang pertanian organik kepada petani lain, bukan berarti saya pamer. Saya cuma ingin mereka juga mengadopsi pertanian organik untuk menekan biaya produksi dan meningkatkan produktivitas,” ujarnya.
Kepada sesama petani, Sodikun juga tidak pernah memaksa mereka untuk membeli pupuk organik darinya. Ia malahan lebih senang mengajari mereka membuat pupuk organik sendiri. Dengan begitu, petani tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pemupukan.
Ketika saya memberikan edukasi tentang pertanian organik kepada petani lain, bukan berarti saya pamer. Saya cuma ingin mereka juga mengadopsi pertanian organik untuk menekan biaya produksi dan meningkatkan produktivitas.
”Dengan saya tidak harus selalu bicara bisnis, tetapi bagaimana transfer ilmu tersampaikan sehingga bisa diterapkan dan petani mendapatkan hasil. Ketika ada cerita petani berhasil menerapkan pertanian organik, itu sudah menjadi penghargaan buat saya,” kata lelaki kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, yang datang ke Kalsel tahun 1983 itu.
Sutiknyo (33), petani di Danda Jaya yang juga Sekretaris Kelompok Tani Pandawa, mengatakan, para petani di kelompoknya mulai menggunakan pupuk organik untuk tanaman jeruk dan padi pada 2018. Untuk tanaman jeruk, pupuk organik terbukti bisa menekan biaya pemupukan dan meningkatkan produktivitas. Luas tanaman jeruk yang sudah menggunakan pupuk organik sekitar 30 hektar.
”Waktu masih memakai pupuk kimia, biaya pemupukan mencapai Rp 5 juta per hektar. Setelah memakai pupuk organik, biayanya hanya Rp 2,5 juta per hektar. Hasil saat puncak panen jeruk juga meningkat signifikan, dari biasanya Rp 20 juta menjadi Rp 35 juta per hektar,” ungkapnya.
Sodikun sangat gembira mendengar cerita petani yang berhasil menerapkan pertanian organik. Ia pun selalu membuka diri bagi siapa saja yang mau belajar tentang pertanian organik supaya terus lahir kelompok-kelompok tani berbasis organik. ”Saya ingin petani yang lain tidak hanya meniru saya, tetapi juga harus bisa lebih dari saya,” ucapnya.
Musodikun
Panggilan: Sodikun
Lahir: Kebumen, 6 September 1971
Pendidikan Terakhir: SMA di Rantau Badauh (lulus 1996)
Pekerjaan: Petani (Ketua Gabungan Kelompok Ternak Wijaya Kusuma Desa Danda Jaya)
Istri: Siti Sunarti
Anak: Rahmat Abu Ghifari (22), Taufik Muzaky (17)