Nelayan di Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, tak kuasa mencegah kekayaan lautnya diangkut puluhan kapal nakal dari provinsi lain. Mereka meminta pemerintah segera menertibkan zona tangkap dan mewajibkan labuh singgah di pelabuhan setempat.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
KEPULAUAN ANAMBAS, KOMPAS — Nelayan di Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, tak kuasa mencegah kekayaan lautnya diangkut puluhan kapal nakal dari provinsi lain. Mereka meminta pemerintah segera menertibkan zona tangkap dan mewajibkan labuh singgah di pelabuhan setempat.
Ketika upaya pemerintah memberantas kapal penangkap ikan ilegal negara asing mulai menampakkan hasil, masalah baru justru muncul dari kapal purse seine (pukat cincin) dalam negeri. Dengan rakus, mereka menangkap ikan berbagai ukuran hingga ke bibir pantai.
Wakil Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kepulauan Anambas Supardi, Jumat (19/7/2019), mengatakan, ratusan kapal berukuran lebih dari 100 gross ton (GT) asal Asahan, Sumatera Utara, beroperasi sepanjang tahun menangkap ikan dengan menggunakan pukat mayang.
Pukat mayang adalah pukat cincin modifikasi yang ditarik mesin. Diameter lubang jaring yang berukuran kurang dari 5,8 sentimeter membuat berbagai jenis benih ikan ikut terperangkap. Akibatnya, populasi ikan di Kepulauan Anambas terus berkurang dengan cepat.
”Kami menghitung pada 2018, ada sekitar 300 kapal besar yang menjaring ikan sampai ke dekat bibir pantai. Sedih sekali melihat ikan-ikan kecil yang tertangkap dibuang begitu saja ke laut,” kata Supardi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan, kapal berukuran di atas 100 GT hanya boleh menangkap ikan di atas 12 mil dari garis pantai saat surut terendah. Adapun perairan 0-2 mil khusus untuk kapal pancing di bawah 10 GT.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, kapal berukuran besar harus beroperasi di perairan Zona III yang berjarak 12 mil ke atas dari garis pantai. Nelayan dalam negeri perlu bekerja menangkap ikan di Zona III agar sumber daya lautnya tidak dicuri kapal asing.
”Jika masih ada yang melanggar, catat nama kapalnya, dan laporkan saja biar segera ditangkap. Perlengkapan petugas nanti ditambah supaya bisa menindak kapal yang nakal,” ujar Susi saat berdialong dengan nelayan di Kepulauan Anambas, Kamis (18/7/2019).
Selain itu, Susi juga mengajak nelayan di Kepulauan Anambas berhenti menggunakan bom dan potasium untuk menangkap ikan. Kelestarian alam harus dijaga dengan menerapkan cara penangkapan ikan yang berkelanjutan. Jika ekosistem laut terjaga, nelayan akan semakin berdaya.
”Jangan dibilang saya cuma sayang sama ikan dan enggak sayang sama nelayan. Pemerintah membuat aturan itu supaya ikan tetap ada dan banyak. Nelayan tidak usah memelihara ikan di laut, Tuhan yang memberi, maka ambillah secukupnya untuk kelestarian usaha kalian sendiri,” kata Susi.
Menurut dia, setelah pemerintah berhasil menjaga laut dari nelayan asing, kini merupakan tugas nelayan untuk bahu-membahu menjaga kelestarian laut. ”Kasih kesempatan ikan untuk pacaran dan berkeluarga, kalau ikan banyak nelayan juga yang untung,” ujar Susi.
Labuh singgah
Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong Pemkab Kepulauan Anambas membuat peraturan daerah untuk mewajibkan kapal penangkap ikan daerah lain labuh singgah di tempat pelelangan ikan (TPI) terdekat. Dengan demikian, potensi pendapatan yang selama ini belum tergarap bisa dioptimalkan.
Ada tiga TPI di Kepulauan Anambas, yaitu di Pelabuhan Perikanan Pantai Antang di Kecamatan Tarempa, Pelabuhan Kuala Maras di Kecamatan Jemaja Timur, dan Pelabuhan Kiabu di Kecamatan Siantan Selatan. Ketiga lokasi itu berada dekat dengan perairan tempat kapal penangkap ikan dari daerah lain biasa beroperasi.
Menurut Bupati Kabupaten Kepulauan Anambas Abdul Haris, dari total 38.000 warga, 86 persen di antaranya berprofesi sebagai nelayan. Upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan di daerah yang 98 persen wilayahnya merupakan laut itu dirasa sangat perlu segera diwujudkan melalui perda labuh singgah.
”Kalau persoalan labuh singgah kapal dari daerah lain sudah rampung, yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah jalur distribusi penjualan ikan. Selama ini, hasil tangkapan ikan sebanyak 30.000 ton per tahun hanya bisa dibawa ke Tanjung Pinang dan Batam melalui laut,” kata Abdul.
Yang mendesak, meningkatkan daya pembangkit listrik dari sebelumnya rata-rata 3 megawatt (MW) di setiap pulau menjadi minimal 6 MW untuk menopang industri es balok untuk mengawetkan ikan.
Menanggapi hal itu, Susi mengatakan, koordinasi dengan kementerian terkait sedang dilakukan. Yang mendesak adalah meningkatkan daya pembangkit listrik dari sebelumnya rata-rata 3 megawatt (MW) di setiap pulau menjadi minimal 6 MW untuk menopang industri es balok untuk mengawetkan ikan.
Infrastruktur transportasi dan komunikasi juga perlu dibenahi agar distribusi penjualan ikan bisa merambah pasar ekspor. Letak Kepulauan Anambas yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan sangat strategis untuk dijadikan basis industri perikanan ekspor.