Pelanggaran Etika Rentan Runtuhkan Integritas Hakim dan Penegakan Hukum
›
Pelanggaran Etika Rentan...
Iklan
Pelanggaran Etika Rentan Runtuhkan Integritas Hakim dan Penegakan Hukum
Pelanggaran etika yang masih terjadi rentan meruntuhkan integritas dan profesi mulia hakim. Perlu kontrol dari semua pihak demi menjaga kredibilitas hakim dan penegakan hukum di Indonesia.
Oleh
Samuel Oktora
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Pelanggaran etika yang masih terjadi rentan meruntuhkan integritas dan profesi mulia hakim. Perlu kontrol dari semua pihak demi menjaga kredibilitas hakim dan penegakan hukum di Indonesia.
Berdasarkan data Komisi Yudisial periode Januari-Juni 2019, ada 740 laporan masyarakat terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH). Hal itu terjadi di hampir semua kota besar di Indonesia, seperti DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Utara.
Laporan dari peradilan umum sangat mendominasi, hingga 559 laporan. Selanjutnya berturut-turut Mahkamah Agung sebanyak 53 laporan, peradilan agama 40 laporan, dan peradilan tata usaha negara 40 laporan, serta pengadilan tindak pidana korupsi 11 laporan dan hubungan industrial 11 laporan. Selain itu, ada juga pengadilan niaga (7 laporan), pengadilan militer (6 laporan), lain-lain (13 laporan).
Dari jenis perkara, masalah perdata terkait dengan sengketa tanah mendominasi, yaitu 318 laporan, pidana 227 laporan, tata usaha negara 42 laporan, agama 39 laporan, dan tindak pidana korupsi 22 laporan. Selain itu, ada perkara pemilu (21 laporan), lingkungan (15 laporan), pengadilan hubungan industrial (13 laporan), niaga (7 laporan), militer (2 laporan), pajak (2 laporan), dan lain-lain (32 laporan).
”Dari pelaporan itu telah diputuskan sanksi terhadap 58 hakim yang dinyatakan terbukti melanggar KEPPH. Ini menunjukkan persoalan etika di kalangan hakim belum selesai. Perlu upaya meningkatkan internalisasi pemantapan etika di kalangan hakim,” kata Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi di Komisi Yudisial Farid Wajdi dalam workshop bertema ”Sinergisitas Komisi Yudisial dengan Media Massa dalam Mewujudkan Akuntabilitas Peradilan” di Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (18/7/2019).
Farid mengatakan, sanksi terbagi tiga. Ada sanksi ringan, di antaranya teguran, teguran tertulis, dan pernyataan tidak puas. Sanksi sedang seperti penurunan pangkat, penundaan kenaikan pangkat, sampai dengan tidak boleh memutuskan perkara selama enam bulan. Adapun sanksi berat di antaranya tidak boleh memutuskan perkara selama dua tahun dan diberhentikan tidak hormat.
Menurut Farid, perbuatan hakim yang dinyatakan terbukti melanggar KEPPH didominasi perilaku tidak profesional sebanyak 36 orang, berperilaku tak adil sejumlah 13 orang, tak menjaga martabat hakim 7 orang, dan terlibat perselingkuhan 2 orang.
Sejumlah 58 putusan KY itu telah disampaikan kepada MA untuk ditindaklanjuti. Namun, MA hanya menindaklanjuti usulan sanksi dari Komisi Yudisial terhadap tiga hakim, yang ketiganya diajukan ke Majelis Kehormatan Hakim (MKH).
Selain itu, ada 25 putusan KY yang sampai saat ini belum mendapat respons dari MA dan delapan usulan sanksi lainnya tidak dapat ditindaklanjuti dengan alasan teknis yudisial. Perihal 22 putusan yang tersisa, KY masih melakukan penyelesaian akhir putusan.
Farid mengingatkan, hakim harus senantiasa menjaga integritas baik di peradilan maupun di luar peradilan. Pasalnya, perilaku etik hakim terpantul dari persoalan privat atau pribadinya yang dapat memengaruhi persepsi publik.
Hakim harus senantiasa menjaga integritas baik di peradilan maupun di luar peradilan. Pasalnya, perilaku etik hakim terpantul dari persoalan privat atau pribadinya yang dapat memengaruhi persepsi publik.
”Dalam upaya penegakan kode etik di kalangan hakim ini tak cukup hanya melalui Komisi Yudisial dan MA, tetapi juga perlu peran media massa untuk kontrol sosial serta perguruan tinggi yang memproduksi penegak hukum untuk dapat mengingatkan profesional hukum menjaga kode etik karena pelanggaran juga mencoreng almamater,” ujar Farid.
Sementara itu, dalam diskusi juga dibahas cara terbaik meliput jalannya persidangan. Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Chaeruddin Bangun yang turut tampil sebagai pemateri menyinggung, dalam pemberitaan terkait dengan perkara di persidangan, media supaya fokus pada materi dalam persidangan.
”Untuk keterangan di luar persidangan, sifatnya sebagai penyeimbang saja, bukan fokus. Sebab, seperti pengacara atau penasihat hukum terdakwa tentu akan mementingkan kliennya. Dalam rangkaian proses persidangan, agenda vonis sangat penting untuk tidak bias,” kata Hendry.
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Abie Besman, mengatakan, dalam pemberitaan media televisi dan media dalam jaringan, tuntutan kecepatan sering kali berujung pelanggaran kode etik jurnalistik. ”Ini perlu diperhatikan. Misal di awal sidang keterangan dari saksi satu langsung diberitakan dan viral. Jelas berita itu tak berimbang,” ucap Abie.