Pembahasan RUU Pertanahan Belum Dimatangkan
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah kalangan meminta DPR tak terburu-buru mengesahkan Rancangan Undang-undang Pertanahan. Substansi maupun norma serta pembahasan RUU ini dinilai belum matang sehingga bisa menimbulkan permasalahan baru terkait penguasaan dan pengelolaan ruang di Indonesia.
Selain itu, draft RUU menyimpang dari Ketetapan MPR No IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Di sektor kehutanan, kehadiran RUU dengan rancangan draft tersebut dikhawatirkan menimbulkan kelemahan penegakan hukum serta ketidakpastian dalam pengelolaan hutan.
“Dari diskusi bersama kawan-kawan kehadiran RUU Pertanahan tak lagi menyelesaikan permasalahan tetapi justru menimbulkan masalah baru,” kata Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Kamis (18/7/2019), di Jakarta.
Ia mencontohkan yaitu RUU tersebut berujung pada legitimasi dan pembenaran untuk melakukan perusakan dan penggundulan hutan. Secara langsung, hal ini akan membuyarkan upaya Indonesia yang sedang berdiplomasi dan memperbaiki pengelolaan hutan dan menekan deforestasi.
Pada pasal 35 ayat 5 memaksa pemegang hak untuk menyediakan tanah untuk pekebun dan petani atau petambak di sekitar atau yang berdekatan dengan lokasi hak guna usaha (HGU) dengan luasan paling sedikit 20 persen dari luas tanah yang diberikan. Bahkan bila tak tersedia, dapat diberikan dalam bentuk lain oleh Menteri dalam hal ini Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Bambang Hero memandang ayat-ayat ini menunjukkan pelegalan untuk mengubah fungsi kawasan hutan di seputar areal itu meski bukan termasuk hutan produksi konversi seperti disyaratkan UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Pemegang HGU diberi waktu 2 tahun sejak diundangkannya UU ini untuk menyiapkan lahan 20 persen itu.
Persoalannya saat ini banyak kebun sawit di kawasan hutan seperti Riau, Kalteng, dan sejumlah tempat lain. Penggunaan kawasan hutan itu belum melalui proses legal perizinan untuk dilepaskan atau dialihfungsikan menjadi area penggunaan lain. Luasannya mencapai lebih dari 1 juta ha yang hingga kini masih terus beroperasi.
Dengan kondisi ini, kawasan hutan berada di sekitar HGU yang akan menjadi sasaran nya. Pasal 154 berbunyi "Dalam hal pemegang hgu telah menguasai fisik tanah melebihi luasan pemberian HGU dan/atau yang diusahakan belum memperoleh hak atas tanah, status HGU ditetapkan oleh Menteri”.
“Dan pasal 154 adalah salah satu pasal yang melegalkan tindakan yang selama ini kita sebut ilegal. Penegakan hukumnya yang dilakukan dengan susah payah pada akhirnya terpaksa bisa dihentikan karena dilegalkan pasal ini,” ujarnya.
Hal itu lalu disebutnya sebagai deforestasi legal bahkan pemutihan bagi berbagai praktik ketelanjuran yang tidak berlanjut ke proses hukum. Ia menyatakan hal itu pun nanti bisa menyasar pada nasib kawasan hutan konservasi serta hutan-hutan adat serta tanah ulayat.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Indroyono Soesilo pun meminta agar pengesahan RUU Pertanahan ditunda. “Pengalaman biasanya kalau di akhir periode kabinet atau DPR, buru-buru mengerjakan perpres, UU, dan PP. Kalau (regulasi) di tingkat eksekutif tak masalah karena nanti yang mengerjakan Pak Jokowi lagi. Tidak usah terburu-buru,” kata dia.
Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto menyebutkan draft RUU Pertanahan menyebutkan “kawasan” pada pasal 63, 64, 65, dan 66. Itu menimbulkan ketidakkonsistenan dan kebingungan karena istilah kawasan dan batasannya tak disebutkan dalam pasal sebelumnya dan di bagian pengertian.
“Untuk itu, perlu diperjelas batasan "kawasan", jika itu terkait kawasan hutan, kembali ke penjelasan sebelumnya, mestinya dikelola kementerian sektor (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” ujarnya.
Perlu diperjelas batasan "kawasan", jika itu terkait kawasan hutan, kembali ke penjelasan sebelumnya, mestinya dikelola kementerian sektor (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
Ditunda
Karena masih terjadi ketidaksinkronan itu, ia mengusulkan agar pengesahan RUU Pertanahan ditunda dulu. Alasan lain, hal yang belum jelas itu akan menyebabkan faktor ketidakpastian usaha dan ekonomi biaya tinggi disebabkan tumpang tindih kewenangan dalam proses pendaftaran tanah (hutan/konsesi), karena pelaku usaha diminta melakukan proses penataan batas, yang sudah diatur di UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Ia mengingatkan tujuan penyusunan RUU Pertanahan untuk menyempurnakan RUU Pokok Agraria yg lex generalis/umum. Semestinya, kata dia, penyusunan tersebut tetap mengacu pada Ketetapan MPR No IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Dengan Tap MPR tersebut, ia menyatakan RUU Pertanahan mestinya fokus pada Keagrariaan dan Tanah, sementara untuk Pengelolaan SDA, termasuk hutan, hendaknya tetap dikelola lex specialis atau secara khusus sesuai UU No 41 tahun 1999 sebagai UU Sektor.
“Artinya, terkait kawasan hutan, yang tidak sekedar mengatur tanah, tetapi juga ekosistem hutan (ekologi, flora, fauna dll), mestinya pengaturannya tetap di Kementerian LHK,” kata dia.
Dalam situs resmi www.DPR.go.id, diakses 18 Juli 2019, Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi mengusulkan agar pembahasan RUU Pertanahan dibahas dalam panitia khusus lintas komisi, bukan panitia kerja yang hanya di Komisi II. Ini karena RUU ini selain bersinggungan dengan Kementerian ATR juga terkait dengan KLHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian ESDM.
Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil yang terdiri 43 organisasi, pun memandang RUU Pertanahan belum layak untuk disahkan DPR. Mereka meminta agar pembahasan RUU Pertanahan mendatang melibatkan organisasi masyarakat sipil, masyarakat yang selama ini menjadi korban konflik agraria dan perampasan tanah, para pakar/akademisi yang kompeten serta kredibel di bidang pertanahan, dan seluruh sektor terkait.
Substansi RUU Pertanahan per 22 Juni 2019 dinilai jauh dari prinsip-prinsip keadilan agraria dan keadilan ekologis bagi keberlansungan hajat hidup rakyat Indonesia. Beberapa masalah mendasar yaitu hak rakyat atas tanah dan wilayah hidup serta reforma agraria dan redistribusi tanah kepada rakyat.