Memperkuat pendidikan karakter bagi para pemuda bisa menjadi salah satu solusi menghindari konflik. Pendidikan tersebut bisa diinisiasi oleh komunitas-komunitas yang selama ini berada dalam konflik.
Oleh
Fajar Ramadhan
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kalangan pemuda idealnya merupakan juru damai dalam konflik sosial masyarakat, baik yang terjadi di dunia maya maupun dalam kehidupan sehari-hari. Pemuda juga didorong untuk lebih mengenal kebudayaan masing-masing sehingga bisa mengembangkan kehidupan bermasyarakat yang santun dalam menyikapi konflik sosial.
“Sebagai aset bangsa selama beberapa tahun ke depan, pemuda harus memiliki bekal kemampuan juru damai,” kata peneliti Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Zaenal Muttaqin, dalam acara bedah buku “Pemuda di Lingkaran Konflik Kekerasan” di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Jumat (19/7/2019).
Menurutnya, memperkuat pendidikan karakter bagi para pemuda bisa menjadi salah satu solusi menghindari konflik. Pendidikan tersebut bisa diinisiasi oleh komunitas-komunitas yang selama ini berada dalam konflik.
“Konflik yang selama ini mereka alami bisa diubah menjadi kompetisi yang positif,” tambahnya.
Muttaqin menambahkan, selama ini pembentukan karakter para pemuda masih cenderung lemah. Alhasil, pemuda belum punya kemampuan yang baik dalam menghadapi perbedaan. Banyak konflik terjadi karena para pemuda cenderung menggunakan jalan pintas yaitu kekerasan fisik.
“Mereka seharusnya bisa menghadapi perbedaan dengan cara yang lebih baik. Usaha-usaha untuk saling berdialog dan berdamai relatif belum dilakukan,” katanya.
Pengendalian diri dalam mengelola konflik seharusnya tidak hanya dilakukan melalui cara-cara konvensional. Pemuda juga diharapkan bisa menjadi juru damai dalam dunia digital dan daring. Di dunia digital, selama ini hanya dipenuhi oleh pelaku yang menjatuhkan diri satu sama lain.
“Akhirnya, jalan yang ditempuh dengan menggunakan Undang-Undang ITE atau membatasi akses media sosial,” katanya.
Memahami budaya
Sementara itu, budayawan, Radhar Panca Dahana, menilai para pemuda telah kehilangan rasa cinta kepada kebudayaan daerahnya. Padahal, dengan memahami budaya daerah, pemuda akan lebih beradab satu sama lainnya.
“Kita semua tidak hidup dalam adab kita sendiri, tapi masuk dalam adab dan budaya baru yang tidak bisa kita jelaskan. Budaya palsu,” ujarnya.
Menurut Radhar, tidak ada konflik di Indonesia yang berbasis etnik atau ras. Jika ada konflik yang menyangkut soal ras, hal itu karena adanya oknum yang bermain untuk kepentingan tertentu. Kepentingan yang dimaksud sebagian besar menyangkut kepentingan ekonomi.
“Peradaban kita sudah bertahun-tahun mengajarkan kita hidup bersama. Jadi kalau tiba-tiba ada konflik, itu karena ada yang menggunakannya sebagi senjata,” katanya.
Direktur Politik dan Komunikasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Wariki Sutikno menyatakan, konflik bisa datang dari lingkungan birokrasi yang tidak adil, korupsi atau memicu ketimpangan sosial. Hal itu perlu dihilangkan demi menghindari preferensi antarkelompok.
“Konflik-konflik di tiap daerah punya karakteristik yang berbeda. Untuk menyikapi itu, kini setiap provinsi membentuk Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial,” katanya.