Polisi meminta masyarakat memverifikasi informasi yang diterima. Modus kriminal untuk menipu korban semakin beragam dan dapat melibatkan orang terdekat. Jika tidak, korban mudah tertipu karena menganggap informasi yang diterimanya benar.
Oleh
Ayu Pratiwi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polisi meminta masyarakat memverifikasi informasi yang diterima. Modus kriminal untuk menipu korban semakin beragam dan dapat melibatkan orang terdekat. Jika tidak, korban mudah tertipu karena menganggap informasi yang diterimanya benar.
Pada kasus ini, Polda Metro Jaya mengungkap kasus penipuan dengan mencatut nama keluarga. Tersangka mengelabui korban dengan mengatakan bahwa anaknya mengalami luka dan sedang dirawat di rumah sakit. Agar pengobatan dapat dilanjutkan, korban harus mentransfer puluhan juta rupiah sebelum rumah demi pengobatan si anak.
”Kami imbau masyarakat, kalau ada telepon yang mengatasnamakan seseorang yang berupaya membantu anaknya akibat sakit atau kecelakaan, tolong di cross check kebenarannya,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono, Jumat.
Ia menjelaskan, kelompok kriminal yang terdiri dari tiga orang itu mengawali aksi mereka dengan mencari identitas orangtua melalui sekolah. Mereka mengaku dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.
Salah satu di antara mereka, M (27) yang merupakan kapten kelompok, memiliki keahlian untuk mengubah suara sebagai laki-laki atau perempuan. Dengan cara itu, tersangka mampu berperan sebagai orang yang berbeda setiap saat.
M menelepon orangtua siswa, berpura-pura sebagai guru sekolah dan mengatakan bahwa anak mengalami kecelakaan dan dirawat di rumah sakit. Padahal anaknya baik-baik saja di sekolah. Orangtua diberikan nomor telepon rumah sakit yang sebenarnya merupakan nomor lain M.
Kali ini M berubah peran, ia berpura-pura sebagai dokter dengan mengubah suaranya. Dia meyakinkan orangtua bahwa anaknya dirawat di rumah sakit. M kemudian memberikan nomor telepon apotek, tempat orangtua dapat mengurus obat yang diperlukan.
Nomor telepon apotek itu menghubungi orangtua kepada M lagi, di mana ia mengubah suaranya lagi dan pura-pura menjadi petugas apotek. M meminta orangtua untuk mentransfer uang ke rekeningnya sehingga rumah sakit dapat melanjutkan pengobatan.
Argo mengatakan, jumlah biaya yang diminta per korban antara Rp 17 juta-Rp 40 juta. ”Tergantung korbannya. Harganya kalau bisa yang agak wajar sehingga korban tidak terlalu curiga,” tambahnya.
Selain M, ada juga AZ (38), yang bertugas mengecek dan mengingatkan korban untuk mentransfer uangnya. Ada pula A (27) yang bertugas mencari data identitas orangtua dan murid serta nomor telepon orangtua.
Kelompok kriminal itu tinggal di sebuah apartemen di Jakarta Utara dan mengaku melakukan tindakan seperti dijelaskan di atas sejak 2009. ”Mereka hampir 10 tahun melakukan penipuan. Seminggu sekali atau dua minggu sekali. Kalau dapat hasilnya, langsung bersenang-senanglah,” tutur Argo.