Investasi besar-besaran dalam berbagai bidang sebagian besar rentan memberi beban dan masalah tambahan bagi perempuan. Investasi diikuti berbagai konflik, seperti perampasan tanah hingga hilangnya sumber penghasilan di pesisir, berpotensi membuat beban peran perempuan semakin besar.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Investasi besar-besaran dalam berbagai bidang sebagian besar rentan memberi beban dan masalah tambahan bagi perempuan. Investasi diikuti berbagai konflik, seperti perampasan tanah hingga hilangnya sumber penghasilan di pesisir, berpotensi membuat beban peran perempuan semakin besar. Terkait hal itu, pemerintah diharapkan memberi perlindungan lebih kepada perempuan.
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Puspa Dewi menyampaikan, kasus pelanggaran hak terhadap perempuan terus meningkat beberapa tahun terakhir. Konflik sumber daya alam yang melibatkan perempuan terus terjadi dan membuat beban mereka terus bertambah.
“Sejauh ini, kami menangani 23 kasus pelanggaran hak terhadap perempuan akibat investasi. Dari kasus perkebunan, konflik agraria, pertambangan, hingga reklamasi di pesisir. Dari Aceh hingga timur Indonesia. Ini membuat perempuan semakin terbebani,” ucap Dewi, dalam konferensi pers persiapan Rembug Nasional Gerakan Perempuan oleh Salidaritas Perempuan, di Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (20/7/2019).
Perempuan semakin sulit mendapatkan penghasilan atau berperan dalam kegiatan ekonomi. Di satu sisi, mereka juga harus terus memastikan terjaminnya pangan dalam keluarga.
Rembug gerakan perempuan itu akan berlangsung selama dua hari yaitu pada Senin dan Selasa (22-23/7), yang dilanjutkan dengan kongres. Kebijakan pemerintah, utamanya investasi, menjadi salah satu bahasan utama dalam rembug dan kongres ke depannya.
Dalam berbagai kasus yang ditangani itu, lanjut Dewi, perempuan adalah pihak yang menanggung konsekuensi paling besar. Perempuan semakin sulit mendapatkan penghasilan atau berperan dalam kegiatan ekonomi. Di satu sisi, mereka juga harus terus memastikan terjaminnya pangan dalam keluarga. Dalam beberapa kasus, perempuan bisa bekerja hingga 17 jam dalam sehari.
Selain itu, lanjut Dewi, hal ini juga berimbas pada terputusnya ruang sosial pada perempuan dan terjadinya ketidakadilan dalam keluarga. Imbas terbesar adalah perempuan menjadi pihak yang terus termarginalkan.
Risma Umar, Panitia Pengarah Kongres VIII Solidaritas Perempuan, menjabarkan, investasi terus menjadi pilihan pemerintah saat ini, juga ke depannya. Pemerintah meneguhkan investasi sebagai prioritas, dari hulu ke hilir, dari hutan ke laut.
“Akan tetapi, potensi pelanggaran HAM akan terus meningkat kalau pemerintah tidak mempunyai proteksi dan perlindungan terhadap perempuan. Misalnya hadirnya investasi, sistem yang ada membatasi perempuan. Makanya standing point kami adalah kontrol yang kuat terhadap pemerintah,” tutur Risma.
Tema kongres Solidaritas Perempuan ke-VIII ini adalah "Meneguhkan Posisi Politik Gerakan Solidaritas Perempuan untuk Merebut Kedaulatan Perempuan". Untuk pertama kali, kongres Solidaritas Perempuan akan berlangsung di Kendari.
Melalui rembug nasional dan kongres ini, tambah Risma, pihaknya ingin meneguhkan posisi politik gerakan perempuan ke depannya. Sekaligus juga menghadapi kemungkinan dari skenario kebijakan ke depan terhadap perempuan.
“Kami ingin menegaskan posisi rakyat, khususnya perempuan dalam berbagai kebijakan ke depan. Kami mengontrol dan memperluas gerakan. Investasi adalah salah satu isu besar yang akan kita kaji. Terkait lokasi, ini memang keputusan dari kongres sebelumnya, dan Sultra juga menjadi target investasi,” tambahnya.
Ketua Pelaksana Kongres Solidaritas Perempuan ke-VIII, Wa Ode Surtiningsih menuturkan, di Sultra sendiri ada banyak persoalan terhadap perempuan yang terus terjadi dengan kasus yang meningkat. Kasus konflik sumber daya alam, hingga kasus buruh migran terus terjadi.
Investasi yang terjadi, tambah Ningsih, belum memberikan dampak ekonomi kepada perempuan. Sebab, sebagian masih memilih untuk menjadi buruh migran di berbagai negara. Di satu sisi, perlindungan terhadap buruh migran , khususnya perempuan masih sangat lemah.
“Mereka mengalami diskriminasi bahkan sejak sebelum berangkat. Banyak yang ditipu, diterlantarkan. Di negara tujuan mereka mendapat kekerasan, disekap, bahkan ada yang pulang dalam kondisi meninggal,” ucap Ningsih.
Oleh karena itu, tambahnya, isu buruh migran dan investasi akan menjadi salah satu bahasan yang diusulkan pada rembug dan kongres ke depan. Pihaknya ingin memastikan agar perempuan mendapat perlindungan yang pasti dari pemerintah.