Jatuh cinta tidak menjadikan kita tahu apakah relasi spesifik yang kita jalin dengan sosok itu benar-benar sehat dan baik untuk kita. Awal relasi dengan sosok yang kita cintai biasanya bergairah, memuaskan, disertai intensitas, bisa memblokade obyektivitas dan membaurkan kemampuan kita berpikir jernih.
Teman saya, A (29 th), perempuan, bertemu dengan H (30 th), laki-laki di suatu seminar tentang komunikasi antarmanusia. A benar-benar jatuh cinta kepada H. Karena tahu H alergi kucing, A segera memberikan kucing yang sudah di peliharanya dengan penuh kasih selama 2 tahun kepada sahabatnya sesama pencinta kucing.
Sebenarnya sikap H terhadap A kurang menunjukkan kesungguhan hatinya. Namun, A begitu yakin akan cinta H kepadanya, padahal perkenalan mereka baru berlangsung 3 minggu terakhir.
A tidak menghiraukan apa pun pendapat teman tentang hubungannya dengan H. Cinta yang menggelora memang membuat seseorang merasa berada di atas awan, tidak mampu membedakan antara rasa keintiman dan intensitas dari hubungan emosional yang terjalin antara dirinya dan kekasihnya. Kebanyakan orang tidak mampu membedakan di antara kedua perasaan itu. Padahal, keintiman dan kedekatan yang intens bukan dua hal yang punya makna sama.
Memang tidak perlu dipertanyakan apakah hal yang A rasakan itu ”cinta” atau ”kasih sayang”. Namun, yang terpenting bukan sekadar tingkat intensitas rasa cinta, melainkan sejauh mana relasi kasih antara A dan H itu benar-benar baik untuk A serta dapat dihayati A dengan cara yang utuh dan meyakinkan.
Hanyalah dengan berjalannya waktu, relasi dan percakapan yang keduanya ciptakan akan mampu mengungkap kondisi nyata relasi cinta pasangan itu, apakah cukup menjanjikan masa depan yang positif dalam kebersamaan kehidupan berkeluarga kelak.
Nah, untuk itu, ada berbagai hal yang patut dipertanyakan keduanya sebagai acuan berikut ini:
• Adakah rasa aman, nyaman, dan menyenangkan dalam interrelasi yang mereka bina yang membuat keduanya dapat mengungkap otentisitas dan memungkinkan keduanya mampu mengungkap diri mereka secara jujur dan jelas?
• Apakah orang yang A cintai itu benar-benar mampu membuat A merasa berharga, bukan membuat A merasa terlecehkan dan tidak mampu mengungkap kondisi diri secara utuh dan sepenuhnya dengan cara yang jujur?
• Apakah koneksi di antara keduanya bersifat saling mengisi dan diisi, saling mengungkap rasa hormat, empati, saling melayani, dan saling memperhatikan kebutuhan perasaan antarpasangan?
• Apakah keduanya mampu menyuarakan perbedaan yang ada, yang sering menjadi sumber konflik, tetapi selalu menemukan solusi yang bersifat kompromistis?
Hanya dengan bertahan dalam relasi sepanjang waktu, dan menilai relasi yang terjalin dengan kepala dan hati, kita dapat menilai kondisi relasi yang terjalin dengan pasangan kita. Termasuk juga dengan membicarakan berbagai hal apa pun yang tebersit dalam benak kita dengan cara terbuka, tidak saling menutupi kekurangan dan kelebihan yang kita miliki.
Dengan mendiskusikan perbedaan individual antarpasangan, akan membantu keduanya menilai kemampuan dalam bernegosiasi, mempertimbangkan perasaan pasangan, dan berkompromi apabila diperlukan.
Suka atau tidak suka, pasangan akan selalu ditandai berbagai perbedaan yang tidak terelakkan oleh sebab pengalaman masa lalu, pola asuh dalam keluarga masing-masing, pendidikan, pergaulan, dan sebagainya.
Perbedaan bukanlah suatu ancaman, yang membuat terjadinya perpisahan, tetapi dengan sikap mental positif kita bisa menempatkan perbedaan dalam konstelasi peluang perolehan informasi, memperkaya wawasan, dan membuat kehidupan semakin bergairah. Apabila relasi intim hanya menjadi ajang keberadaan dua individu yang identik, kehidupan akan terhenti.
Relasi intim
Awal terjalinnya relasi intim bagi kedua pasangan yang saling jatuh cinta ditandai berbagai sikap yang terkesan sangat harmonis. Karena dorongan kasih yang menggebu, kedua pasangan cenderung mengungkap sikap dan perilaku manis, toleran, penuh maaf, dan menerima apa pun yang diungkapkan pasangannya demi menjaga keseimbangan dan kelanjutan harmoni penuh kasih di antara pasangan.
Iklim relasi seperti itu bisa berlangsung karena pasangan itu belum menjalani kehidupan bersama selama 24 jam. Pertemuan di antara dua orang berpacaran masih berada pada kisaran 1 jam hingga paling lama 12 jam sehari. Dalam kondisi itu, masing-masing masih memiliki energi yang kuat untuk menjaga perilaku manis di hadapan pasangannya, dengan tetap menyembunyikan kebiasaan-kebiasaan yang buruk.
Masa pacaran awal itu adalah masa interrelasi yang bersifat pseudoharmonis (harmoni yang palsu). Selama beberapa saat tertentu, masa pseudoharmonis itu memang seyogianya dihayati dan menjadi modal awal bagi pertumbuhan kasih. Namun, seyogianya kita tidak terlena berlama dengan kondisi pseudoharmonis (harmoni yang palsu) itu.
Untuk itu, sebagai konselor, saya menyarankan, mulailah membuka mata dengan menyadarkan diri serealistik mungkin apabila memang kita berniat menjadikan kekasih sebagai pendamping hidup kelak. Relasi intim biasanya berkembang di antara orang yang mampu berbagi keyakinan dan nilai-nilai inti kehidupan secara mendalam.