Dulu, pemerintah Orde Baru setiap bulan memberikan jatah 20 kilogram beras untuk setiap rumah tangga pegawai negeri sipil. Kebijakan ini yang sering dituding membuat rakyat Indonesia mengalami ketergantungan terhadap beras, termasuk mereka yang tinggal di wilayah timur, yang sebelumnya mengonsumsi sagu, ubi jalar, atau jagung, sebagai makanan pokok.
Era pemerintahan berganti, ketergantungan akan beras tidak bergeser. Pemerintah membagikan beras untuk orang miskin dengan harga yang sangat murah. Akibatnya, beras tetap menjadi pilihan sebagai makanan pokok ketimbang pangan sumber karbohidrat lain yang juga murah.
Di sisi lain, pemerintah mendorong masyarakat agar mengurangi makan nasi. Selain untuk mewujudkan ketahanan pangan, pengurangan konsumsi nasi melalui perubahan pola makan diyakini juga akan mendorong pola hidup lebih sehat dan meningkatnya konsumsi pangan lokal.
Ironisnya, pemerintah masih mengimpor beras, padahal potensi pangan lokal berlimpah. Tahun 1978 saja, Indonesia memiliki 200.000 hektar tanaman sagu (Metroxylon sagu) yang siap dipanen, tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Menurut penghitungan Fakultas Teknologi dan Mekanisasi Pertanian Institut Pertanian Bogor, setiap pohon sagu menghasilkan tepung basah sekitar 300 kilogram. Dalam setiap hektar rata-rata terdapat 500 pohon, maka potensi sagu saat itu sekitar 30 juta ton (Kompas, 20 Juli 1978).
Sekarang pun potensi sagu Indonesia masih sangat besar. Hutan alam Papua dan Papua Barat memiliki pohon sagu seluas 1,2 juta hektar dan Maluku punya 50.000 hektar. Jumlah itu belum termasuk areal tanaman sagu yang dibudidayakan. Juga belum mencakup yang tersebar di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.
Hidangan dan kudapan berbahan sagu masih ada meski tidak lagi disebut sebagai makanan pokok. Masih ada papeda di Papua dan Maluku, juga kapurung dan sinonggi di Sulawesi. (LAM)