Mengurai Sistem Zonasi PPDB
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
(Pasal 31 UUD 1945)
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang dijamin dengan Undang-Undang. Jaminan tersebut dibuat bagi kemajuan bangsa karena pendidikan memiliki peranan penting bagi perkembangan dan kehidupan suatu bangsa.
Di tingkat dasar dan menengah, pendidikan di Indonesia diatur melalui UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 6 Ayat 1 menyebutkan bahwa setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Berdasarkan aturan tersebut diketahui bahwa kewajiban itu sekaligus memberikan hak bagi setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan pelayanan pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Pelayanan pendidikan dimulai dengan penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Saat ini, PPDB pendidikan tingkat dasar-menengah diatur oleh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui aturan tersebut, diatur jalur pendaftaran peserta didik baru yang terdiri dari jalur zonasi, jalur prestasi, atau jalur perpindahan orangtua/wali. Aturan tersebut dibuat dengan tujuan untuk mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Bagaimana pelaksanaannya hingga saat ini?
PPDB Zonasi
Permendikbud yang mengatur PPDB sistem zonasi dimulai setelah dikeluarkannya Permendikbud No.17/2017 pada 8 Mei 2017. Dalam aturan tersebut, pelaksanaan PPDB dilakukan pada bulan Juni hingga Juli tiap tahun. Untuk jenjang SMP, misalnya, kriteria penerimaan siswa baru memiliki urutan prioritas sebagai berikut: jarak tempat tinggal ke sekolah, usia anak maksimal 15 tahun, nilai hasil ujian SD, serta prestasi bidang akademik dan non-akademik.
Sementara, kuota siswa baru ditentukan berdasarkan dua jalur, yaitu radius zona terdekat dan jalur prestasi/pindah domisili. Siswa yang diterima dari jalur radius zona terdekat paling sedikit 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.
Jarak tersebut diukur berdasarkan alamat pada Kartu Keluarga yang diterbitkan paling lambat 6 bulan sebelum pelaksanaan PPDB. Jalur prestasi dan jalur pindah domisili memiliki porsi masing-masing 5 persen.
Berdasarkan pelaksanaan PPDB untuk tahun ajaran 2017/2018, masih ditemukan banyak kelemahan. Oleh sebab itu, Permendikbud No.17/2017 dicabut dan diganti Permendikbud No.14/2018 yang diundangkan pada 7 Mei 2018.
Pengesahan aturan baru ini terlihat tergesa-gesa, karena pelaksanaan PPDB maju menjadi bulan Mei tiap tahun. Artinya, sesaat setelah disahkan, pemerintah daerah harus segera membuat petunjuk teknis.
Perubahan juga terlihat di kriteria yang diprioritaskan. Aturan sebelumnya, batasan usia dijadikan parameter penilaian, akan tetapi, diubah menjadi syarat siswa untuk mendaftar saja.
Artinya, jika ada kesamaan jarak, nilai, atau prestasi, parameter usia tidak dapat digunakan untuk menentukan kelulusan seorang siswa. Tiga parameter yang digunakan adalah jarak tempat tinggal ke sekolah, nilai hasil ujian SD, dan prestasi akademik/non-akademik.
Sedangkan, proporsi jumlah siswa yang diterima berdasarkan zona terdekat, jalur prestasi, dan jalur pindah domisili tidak berubah. Hanya saja penetuan radius zona harus dirumuskan melalui dua pertimbangan, yaitu ketersediaan anak usia sekolah dan daya tampung tiap sekolah.
Ternyata masih banyak masalah yang didapati saat pelaksanaan sistem zonasi tahun ajaran 2018/2019. Banyak kasus pelanggaran yang ditemukan, seperti manipulasi Surat Keterangan Tidak Mampu. Oleh karena itu, aturan ini kembali dicabut dan diganti dengan Permendikbud N0.51/2018 yang diundangkan pada 31 Desember 2018.
Diperketat
Pengesahan aturan baru tersebut ditujukan agar pelaksanaan PPDB tahun ajaran 2019/2020 berjalan dengan lancar. Hal tersebut terbukti dengan ditegaskannya dasar-dasar pelaksanaan PPDB yang meliputi nondiskriminatif, objektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Selain itu, aturan baru ini menegaskan bahwa PPDB berfungsi untuk mendorong peningkatan akses layanan pendidikan.
Periode pelaksaanaan pendaftaran peserta didik baru dalam regulasi tersebut masih sama, yaitu pada bulan Mei. Sementara dari sisi usia maksimal, yang sebelumnya hanya tertulis 15 tahun, batasannya sudah lebih spesifik, yaitu per tanggal 1 Juli pada tahun berjalan. Aturan ini juga menegaskan adanya tiga jalur pendaftaran PPDB, yaitu jalur zonasi, prestasi, dan perpindahan tugas orang tua/wali.
Jalur zonasi memiliki kuota paling sedikit 90 persen dari daya tampung sekolah, termasuk peserta didik tidak mampu dan penyandang disabilitas. Bagi peserta didik tidak mampu, SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) sudah tidak digunakan lagi, diganti bukti keikutsertaan dalam program penanganan keluarga tidak mampu dari pemerintah pusat atau daerah.
Sistem zonasi mengharuskan sekolah memprioritaskan peserta didik yang memiliki kartu keluarga atau surat keterangan domisili dalam satu wilayah kabupaten/kota yang sama dengan sekolah asal. Alamat rumah yang digunakan harus berdasar pada Kartu Keluarga yang diterbitkan paling singkat 1 tahun sebelum PPDB.
Sementara pendaftaran jalur prestasi dan perpindahan tugas orang tua/wali memiliki kesamaan persentase peserta didik yang diterima, yaitu sebesar lima persen dari daya tampung sekolah. Kedua jalur ini lebih diprioritaskan bagi peserta didik yang berdomisili di luar zonasi sekolah yang bersangkutan.
Implementasi aturan sistem zonasi dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 51/2018 ternyata menuai banyak protes dari banyak wilayah di Indonesia. Beberapa daerah belum siap menggunakan sistem zonasi untuk penerimaan calon peserta didik baru.
Berdasarkan perkembangan di lapangan, pemerintah mengambil kebijakan dengan melakukan perubahan jumlah kuota zonasi tahun 2019. Perubahan tersebut disampaikan melalui Surat Edaran No. 3/2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru.
Kuota jalur zonasi (paling dekat dengan sekolah) yang semula mencapai 90 persen, turun menjadi 80 persen. Sementara jalur prestasi penerimaan peserta didik baru naik sebanyak 10 persen, menjadi 15 persen. Untuk jalur perpindahan tugas orang tua/wali tidak mengalami perubahan, tetap lima persen. Penjelasan lebih detail dituangkan dalam Permendikbud No. 20/2019 agar pemerintah daerah mampu melakukan penyesuaian dalam penyusunan petunjuk teknis.
Tujuan
Sebagai sebuah kebijakan, sistem zonasi memiliki banyak kelemahan dan kelebihan. Revisi regulasi menggambarkan adanya perbaikan dari sebuah kebijakan penerimaan peserta didik. Di luar perbaikan yang dilakukan, pelaksanaan PPDB sistem zonasi juga memberikan beberapa manfaat.
Setidaknya ada tujuh poin manfaat pendidikan dari kebijakan baru berbasis zonasi. Pertama, memudahkan upaya peningkatan kapasitas guru, dilanjutkan mendekatkan siswa dengan lingkungan sekolah. Berikutnya, mengoptimalkan tripusat pendidikan dalam penguatan pendidikan karakter.
Manfaat selanjutnya adalah pemerataan akses pendidikan, menghilangkan praktik jual beli kursi dan pungli. Dua poin manfaat terakhir adalah memberikan data valid sebagai dasar intervensi pemerintah pusat dan daerah terhadap proses belajar mengajar, serta kondisi kelas yang heterogen mampu mendorong siswa untuk bekerja sama.
Kekuatan sistem zonasi adalah sesuai dengan visi pembangunan berkelanjutan, yaitu kota ramah anak, serta program sosial yang telah dirancang memiliki daya serap merata di seluruh sekolah negeri. Banyak kebijakan dan program-program sosial akan dilakukan berbasis zona sekolah.
Anak-anak yang bersekolah tidak jauh dari rumah memiliki jaminan keamanan yang lebih kuat dibandingkan harus menempuh jarak tertentu. Masyarakat sekitar juga lebih peduli terhadap sekolah, karena putra-putrinya bersekolah tak jauh dari rumah. Peserta didik akan merasa aman karena berkegiatan tak jauh dari lingkungan keluarga.
Sementara bagi pemerintah daerah, sistem zonasi memberikan keleluasaan untuk dilakukan penyesuaian kebijakan dengan karakteristik daerah. Sistem zonasi juga memastikan adanya peningkatan kualitas guru dalam mengajar, termasuk karakter di kelas.
Kebijakan yang baru diterapkan ini mampu mendorong banyak perbaikan di beberapa sektor publik. Setidaknya ada empat hal, yaitu jaminan keamanan dan keselamatan bagi siswa, penyempurnaan sistem transportasi umum yang ramah anak, pengembangan metode belajar-mengajar yang tepat, hingga pembinaan olimpiade.
Sistem zonasi yang mulai berjalan pada tahun ajaran 2016/2017, menggantikan sistem rayonisasi yang telah lama digunakan untuk penerimaan siswa baru. Zonasi berbeda dengan sistem rayon yang bersifat administratif sehingga penerapannya sangat kaku serta menggunakan nilai hasil ujian nasional.
Blankspot
Sebagai suatu kebijakan, sistem zonasi pun masih menyisakan banyak persoalan hingga saat ini. Setidaknya ada dua pokok permasalahan, yakni sinkronisasi sistem zonasi dari pusat hingga daerah serta sebaran sekolah negeri yang tidak merata.
Ketidakjelasan sistem zonasi dari pusat hingga daerah berdampak pada pelaksanaannya yang tidak seragam dan rawan tindakan curang. Migrasi kartu keluarga yang memunculkan kasus jual-beli KK, manipulasi surat keterangan tidak mampu, hingga jual-beli bangku oleh aparat daerah (RT hingga Camat) marak terjadi.
Para orang tua ingin anaknya mendapatkan sekolah yang layak. Contohnya, saat terjadi migrasi KK ke lokasi lebih dekat sekolah, hal ini merugikan warga setempat. Penduduk yang sudah berdomisili lama dengan nilai akhir sekolah baik akan kalah dengan warga pindahan (KK baru) yang belum tentu nilai akhirnya baik, tetapi lebih dekat dengan sekolah.
Sinkronisasi teknis pelaksanaan sistem zonasi dan sebaran sekolah menimbulkan satu kejadian yang cukup pelik, yakni munculnya blankspot di banyak daerah. Blankspot merupakan wilayah yang jauh dari sekolah negeri manapun sehingga kalah bersaing dengan mareka yang tinggal di lebih dekat. Artinya, apa pun model zonasi yang diterapkan tetap tidak mampu menjangkau seluruh wilayah, khususnya lokasi tempat tinggal calon siswa.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 51/2018 tentang Penerimaa Peserta Didik Baru menjelaskan bahwa penentuan zona berdasarkan aksesibilitas layanan pendidikan ke setiap rumah calon peserta didik. Aksesibilitas layanan pendidikan bergantung pada arah dan desain pembangunan wilayah tersebut.
Hanya saja, desain pembangunan wilayah belum memenuhi ekspektasi dari sistem zonasi. Pola pengembangan wilayah menempatkan sebagian besar sekolah di pusat kota dan tempatnya saling berdekatan.
Pemusatan wilayah pendidikan sering kali tidak memperhatikan keterjangkauan masyarakat, khususnya jarak permukiman dengan sekolah. Hal ini ditambah dengan laju perkembangan wilayah yang pesat, tetapi tidak diimbangi laju pertumbuhan sekolah. Hasilnya, muncul ketidakadilan.
Radius zona terdekat secara umum adalah sebagai berikut. Sekolah Dasar maksimum radius 3 kilometer, Sekolah Menengah Pertama maksimum radius 5-7 kilometer, sedangkan Sekolah Menengah Atas maksimum radius 9 kilometer.
Asumsi jarak-jarak tersebut adalah jarak datar. Penerapan jarak datar masih memungkinkan diberlakukan di wilayah yang relatif datar. Namun, berbeda saat diterapkan di wilayah yang berbukit atau bergunung.
Hingga 2018, pemerintah pusat hingga daerah hanya fokus pada menentukan sistem zonasi sesuai jarak, tanpa memperhitungkan konsekuensi selanjutnya, seperti kemacetan, kemudahan akses, dan jalur angkutan umum. Zona yang telah ditetapkan tidak mampu memperhitungkan kemudahan siswa menjangkau sekolah dengan aman dan nyaman.
Penerapan sistem zonasi yang mengalami banyak kendala seperti jumlah sekolah terbatas, sedangkan peminatnya terus meningkat. Catatan lain adalah kesesuaian sistem zonasi dengan tata ruang wilayah. Contoh konkret penerapan PPDB sistem zonasi dengan kesesuaian tata ruang dapat dilihat di Kota Bogor, wilayah yang dekat dengan ibukota.
Pemilihan Kota Bogor sebagai salah satu contoh semata diambil karena Bogor berada di luar wilayah administrasi DKI dan masih dekat dengan ibukota. Penelitian pelaksanaan kebijakan PPDB zonasi di wilayah yang termasuk kategori kota di luar wilayah DKI ini dapat digunakan sebagai gambaran pentingnya memperhatikan tata ruang wilayah.
Kota Bogor
Riset evaluasi pelaksanaan kebijakan PPDB zonasi yang dilakukan di Kota Bogor berhasil menemukan beberapa fenomena kendala penerapan zonasi. Secara umum, sebaran bangunan SMP di Kota Bogor belum merata. Fasilitas pendidikan berupa bangunan sekolah SMP di Kota Bogor terkonsentrasi di Kecamatan Bogor Tengah.
Secara geografis, kecamatan ini terletak di pusat kota dan dekat dengan pusat-pusat kegiatan masyarakat. Beberapa fasilitas layanan publik lainnya yang ada di Bogor Tengah adalah Kebun Raya Bogor, Stasiun Kereta Api Bogor, dan beberapa museum ilmu pengetahuan.
Akumulasi bangunan sekolah tidak dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Kecamatan Bogor Barat memiliki ketersediaan fasilitas hanya 10 persen, padahal jumlah penduduknya tertinggi di Kota Bogor. Sedangkan Kecamatan Bogor Tengah yang memiliki penduduk paling kecil, ketersediaan fasilitasnya tertinggi, mencapai 35 persen. Selain itu, hanya terpaut sekitar 2.000 jiwa dari Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Timur hanya memiliki satu bangunan SMP.
Dari sisi tata ruang, Kota Bogor memiliki kondisi topografi fluktuatif dan rencana tata ruang wilayah yang menekankan pada bidang jasa. Pengembangan wilayah tidak luput dari rancangan akses dan jalur angkutan umum. Kawasan pusat pendidikan tersebar tidak merata dan cenderung terpusat di wilayah administratif Kota Bogor.
Tata Ruang
Dari penelitian terhadap situasi di Kota Bogor, dapat dilihat bahwa penelitian akan tata ruang wilayah perlu menjadi perhatian dalam pelaksanaan PPDB sistem zonasi. Alasannya jelas, kebijakan PPDB sistem zonasi menggunakan wilayah sebagai dasar penerimaan siswa baru. Akan tetapi, selama ini pembangunan sekolah belum sepenuhnya mengacu pada perkembangan demografi dan topografi di sebuah wilayah.
Berdasarkan permasalahan yang terjadi hingga tahun 2018, data jumlah sekolah di setiap daerah yang sesuai dengan kondisi lokal adalah amunisi utama saat pelaksanaan sistem zonasi PPDB. Penentuan jumlah sekolah terintegrasi dengan radius zona yang mempertimbangkan topografi, akses, jalur angkutan umum, dan dokumen rencana tata ruang. Selain itu, evaluasi rencana tata ruang wilayah mampu memberikan pendekatan yang komprehensif ke depannya. Bila memang persoalan wilayah ini sangat khas di tiap daerah, bukan tidak mungkin bahwa PPDB sistem zonasi ini diserahkan pelaksanaan praktisnya di tingkat daerah.
Polemik penyelenggaran sistem zonasi untuk penerimaan peserta didik baru tidaklah mudah diselesaikan. Pendekatan tata ruang suatu wilayah hanyalah salah satu hal yang perlu diperhatikan untuk evaluasi pelaksaan PPDB sistem zonasi. Beberapa pihak telah mengusulkan untuk mengadakan evaluasi menyeluruh terhadap PPDB sistem zonasi. Kita tunggu proses mencari rumusan terbaik yang mampu menjadi jawaban pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia. (YOESEP BUDIANTO/LITBANG KOMPAS)
Baca Selanjutnya: Untung dan Buntung Bersama Zonasi