Museum Negeri Sulteng Jadi Pusat Informasi Kebencanaan
›
Museum Negeri Sulteng Jadi...
Iklan
Museum Negeri Sulteng Jadi Pusat Informasi Kebencanaan
Museum Negeri Sulawesi Tengah akan menjadi pusat informasi dan edukasi kebencanaan. Bekerjasama dengan UNESCO, artefak gempa akan dipamerkan di museum untuk merawat ingatan tentang bencana.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·2 menit baca
PALU, KOMPAS - Museum Negeri Sulawesi Tengah akan menjadi pusat informasi dan edukasi kebencanaan. Ini untuk memelihara dan merawat ingatan kolektif akan bencana agar menjadi pengetahuan bagi warga sehingga memperkuat mitigasi.
Wakil Kepala Museum Negeri Sulteng Ikhsam menyatakan bersama dengan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) pihaknya akan menampilkan artefak bekas gempa, tsunami dan likuefaksi, yang terjadi pada 28 September tahun lalu. "Artefak itu informasi tentang bencana yang harus dipelihara. Artefak menjaga ingatan kita semua tentang bencana," kata Iksham dalam diskusi kebencanaan di Palu, Sulteng, Sabtu (20/7/2019).
Rencananya artefak yang akan dikoleksi itu beragam bentuknya, mulai dari perabot rumah tangga hingga alat kerja. Artefak akan diberi keterangan lokasi temuan atau pengambilannya dan jenis bencananya entahkah gempa, tsunami atau likuefaksi.
Selain penyajian artefak, lanjut Iksham, museum juga akan menerbitkan buku-buku koleksi yang sudah rusak dan secara tersirat mengandung informasi atau pengetahuan bencana dari perspektif lokal. Banyak karya sastra dan upacara adat secara tak langsung menyampaikan pesan tentang kebencanaan. "Sumber-sumber informasi itu perlu direvitalisasi," ujarnya.
Dalam masyarakat Kaili, salah suku yang mendiami Lembah Palu, dikenal istilah "nosipara" yang berarti saling mengingatkan. Bencana harus membuat kita saling mengingatkan. (Ikhsam)
Koleksi Museum Negeri Sulteng banyak yang hancur karena gempa 10 bulan lalu. Kehancuran terutama pada koleksi yang berbahan dasar keramik. Dari sekitar 9.000 koleksi, 840 koleksinya berbahan dasar keramik. Sebanyak 60 persen di antaranya hancur.
Bersama UNESCO yang diwakili ahli konservasi barang seni dari Jepang Isamu Sakamoto, restorasi masih terus dilakukan. Restorasi sudah dimulai sejak awal 2019.
Menurut Iksham, merawat ingatan kolektif atas bencana tak kalah penting dari upaya pembangunan kembali suatu daerah pascabencana dalam bentuk infrastruktur. Namun, sering ingatan kolektif terputus seiring berjalannya waktu dan tak adanya medium penyampaian.
Dalam masyarakat Kaili, salah suku yang mendiami Lembah Palu, dikenal istilah "nosipara" yang berarti saling mengingatkan. "Bencana harus membuat kita saling mengingatkan. Tetangga mengingatkan tetangganya yang lain. Masyarakat mengingatkan pemerintah atau sebaliknya. Pusat informasi konteksnya untuk menjadi medium agar kita saling mengingatkan," katanya.
Sakamoto mengingatkan sering cerita tentang bencana tak dijadikan hal penting setelah bencana. Padahal, narasi tentang bencana perlu dipelihara agar menciptakan kewaspadaan sehingga memperkuat mitigasi bencana.
Narasi tentang bencana perlu terus dihidupkan di tingkat komunitas, terutama generasi muda sebagai bahan edukasi. Berbagi pengalaman kebencanaan bahkan bisa dilakukan antarkomunitas atau kelompok profesional antarnegara. Guru-guru sekolah menengah di Jepang, misalnya, bisa berbagi pengalaman terkait kurikulum kebencanaan dengan guru-guru di Sulteng.