PUISI
Boy Riza Utama
Kronik Tuan Besar Guntur
1
Ia tatap pantai utara Jawa sekali itu
Dan ia saksikan kelemahannya
Memang ada jalan membentang di belakangnya
Bagai pipa aorta pada bilik jantungnya
Tapi ia gusar:
Perjalanan panjang dari Kepulauan Canaria
Telah mengaduk kepala dan perasaannya
Dan Batavia, yang kini ia jajaki,
Berabad-abad mengutuk leluhurnya
Dari pantai itu baru ia lihat galangan kapal
Hancur bersama Pulau Onrust pada tahun 1800
Dan ia membayangkan kekalahannya
Meski teringat para pribumi:
Ia surukkan mereka ke tangsi
Setengah merutuk kemudian ia hancurkan kastil
Batavia dan di Meester Cornelis itu kini sebuah benteng
Berdiri dan seakan-akan menanti serbuan Inggris
Dan berharap peperangan terjadi lebih kejam lagi
2
Sekali waktu itu, sembari menunggu jalan-jalan kebanggaannya
Dirajut dan menghubungkan Jawa, ia tatap pantai:
Bau amis bangkai manusia dua abad dari sana
Akan dikenang sebagai korban kerja paksa
Dan ia tak tahu
Ia hanya tahu penguasa laut sebentar lagi tiba
Dari atas kuda sekali itu ia raba juga lukanya:
Pada 1780 dan 1787 ia adalah pemberontak
Yang kemudian mencintai Revolusi Perancis
Tapi 33 tahun kemudian ia telah berhenti
Dari itu semua dan ingin menua di Heerde
Bukankah ia menggilai Napoleon Bonaparte
Bahkan sebelum itu semua terjadi, sedangkan Hindia
Hanyalah pengalihan bagi semua rasa sakitnya?
Ia tak tahu
Ia hanya tahu kini ia tak perlu lagi duduk
Atau membungkuk kepada raja-raja
Dan diam-diam ia pun tahu jalan itu bakal berguna
Bagi keturunan mereka yang pernah menentangnya
3
Namun, ia jelas tak tahu:
Pada 1818 malaria akan menghajarnya di Ghana
Sebagaimana yang dulu mengintai para pekerjanya
Menjelang jalan kelar hingga Panarukan
Sebab sekali itu ia memang cuma iseng
Memandangi pantai utara Jawa
Dan menyaksikan kekalahannya
Untuk sesaat kemudian melupakannya
(2019)
Kapitein Yonker
– untuk Van der Chijs
Hari-hari berombak di Pauh, pada 1666
Mungkin sudah ia lipat dalam ingatan – ia lupakan
Serupa kelewang yang kini bersandar pada dinding
Pada sebuah bilik dari rumah besar di Cilincing
Ini 1689, usianya cukup separuh abad,
Tapi ia mengenang juga, tanpa galat:
”Dari 200 serdadu Belanda, 130 di antaranya
Bersurai jiwanya ke udara – Jacob Gruys mampus”
April 1666, hari itu,
Pemberontakan rakyat gagal dilenyapkan
Dan orang Minang melepek wajah Raja Belanda
Empat bulan kemudian ia bergerak
Bersama 100 serdadu – juga Aru Palaka
Dan anak buahnya – sementara martir kompeni
Bersembunyi di bawah perisai mereka
”Abraham Verspreet,” desisnya, ”jangan lagi Tuan
Kehilangan muka sebab 500 anak Padang
Ikut membalas kekalahan saudara Anda”
Ketika tiga tombak menusuk, ia seakan-akan
Melihat Ambon: pohon kelapa itu, di belakang rumah,
Tampak kurus, bergoyang-goyang, karena angjn
Basah dan pulau-pulau lain, yang tercecer,
Seperti membangkai dalam pandangannya
(Saat itu ia menebas satu kepala lagi
Dan kehilangan 10 serdadu Belanda)
Sebulan setelah hari itu, ia seperti melihat Manipa
Di Ulakan dan saat masuk ke Pariaman, ia merasa
Mahkota jatuh ke kepalanya – tapi kursi dan takhta
Begitu jauh: Ambon, rasa-rasanya, bukan lagi tujuan
Dua bulan kemudian: ini Batavia, dan ia kembali
Dengan kemenangan, emas dan pakaian,
Serta 20 ringgit untuk setiap tawanan
”Aku mengepalai seluruh Ambon,” bisiknya,
”Dan Jenderal Speelman menyayangiku”
Telah ia serahkan juga Trunojoyo
Kepada Susuhunan Mataram,
Membuat orang Palembang dan Jambi
Berhenti menggeram, dan enam tahun
Sebelum hari ini sampai,
Sultan Abdul Fatah ia redam
Ia mengenang lagi dan mendesah,
”Sampai bila pengkhianatan?
Sampai di mana kecewa?
Sampai kapan dihina?”
Sebelum 130 orang pengikutnya mangkat
Ajal menemukan alamat: tubuhnya ditembak
Dan kepalanya jadi tontonan di Nieuwpoort
– Kepala yang sebelumnya sempat mengira
Gurauan itu akan berbalas rangkulan mesra
(2019)
Menuju Rumah Singgah Tuan Kadi, 2015
Kulupakan ketenangan sebuah muara di Sungai Apit
Saat mendapati kapal-kapal di Sungai Siak saling bergamit
Saat aku menujumu
Dan menyaksikan:
Kepak burung
Tersamar dalam gelap
: Sebuah kepulangan
Dengan jejak yang lindap
Dan kulihat tubuhmu:
Senapelan sebelum api bergayut
Pada kayu dan rumbai rambut hutan
Sudah lama langit tak menyimpan gelembung
Yang biasanya akan berguguran sebagai hujan
– Tangis yang cukup sekaligus berlebihan
Kusadari: tahun begitu kering
Bersama kutukan orang-orang
Menggelinding sepanjang jalan
Udara beserbuk – kusut
Saat kusulut rokokku
Dan menyaksikan taman ditinggalkan
Di Jalan Panglima Undan
Kuterobos rasa pedihku
Dari lengkung jembatan ini
Meski lagi-lagi yang kutemukan
Pemandangan senjakala
Abu-abu belaka
Maka kuingat lagi muara sungai terdalam di sisi tubuhmu:
Kapal-kapal merapat dan memuntahkan sejarah mereka
Tembok dermaga dengan amis ikan bertaut sebagai napas purba
Angin yang menidurkan pulau sekaligus membangunkan riak
Adalah komposisi gerak waktu yang sabar dan berirama
Dari jembatan ini kulontarkan serapahku
Atas kenyataan yang terhampar di hadapan kebisuan itu
Sementara seseorang berlekas menutup jendela di tubuhmu
Mengancingkan masa lalu
(2019)
Boy Riza Utama, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 4 Mei 1993. Ia bergiat
di Komunitas Paragraf, Pekanbaru.