Merangkum Moskwa
Dengan luas hampir empat kali lipat DKI Jakarta, Moskwa tidak cukup dijelajahi dalam waktu kurang dari sepekan. Untungnya, bagi para pelancong yang minim waktu pelesiran, ada satu sungai yang merangkum pemandangan kota Moskwa dalam dua setengah jam.
Yacht melaju tanpa terburu-buru mengarungi air Sungai Moskwa yang tenang, Rabu (22/5/2019) malam. Embusan angin pada suhu sekitar 17 derajat celsius membuat jaket perlu dikenakan. Yang lupa membawa jaket meminjam selimut sebagai penggantinya.
Melawan rasa dingin, Nattachar Kijmoke dan Nigar Seyda Yilmaz asyik berpindah-pindah posisi duduk dan asyik berpose di atas kapal kecil pengangkut wisatawan itu. Kedua perempuan jurnalis ini tidak ingin melewatkan kesempatan berswafoto sekaligus mengabadikan bangunan-bangunan klasik di tepi Sungai Moskwa.
Saat itu sudah pukul 20.30, tetapi langit Moskwa masih seperti langit ketika petang menjelang pukul 17.30 di Jakarta. Nattachar—panggilannya Minnie—dan Nigar pun punya peluang mendapatkan foto-foto cantik saat angkasa setengah gelap diselingi lampu-lampu yang baru dinyalakan.
Apa penanda Moskwa yang paling ingin disaksikan secara langsung? Kemegahan kompleks Kremlin? Warna-warni kubah Katedral Santo Basil? Hijau Taman Gorky yang dipopulerkan oleh lagu ”Winds of Change” dari band Scorpions?
Ambillah paket wisata menyusuri Sungai Moskwa, seperti Minnie dan Nigar. Semua tempat pemberi identitas Moskwa tersebut bisa dinikmati mata sembari duduk menyusuri sungai tanpa perlu lelah melangkahkan kaki.
Minnie asal Thailand serta Nigar dari Turki merupakan bagian dari 19 wartawan berbagai negara yang diundang mengikuti pelatihan jurnalistik oleh media pemerintah, Sputnik. Program ini diinisiasi oleh The Federal Agency for the Commonwealth of Independent States, Compatriots Living Abroad and International Humanitarian Cooperation atau Rossotrudnichestvo. Kompas ikut pula mewakili Indonesia. Sebagai penutup program itu, panitia mengajak kami menikmati kota Moskwa dengan menyusuri sungai.
Kapal yang dioperasikan Radisson Royal itu melaju mulai pukul 20.00 dari dekat Hotel Radisson Collection. Hotel ini dulu bernama Hotel Ukraina dan masuk dalam jajaran ”Tujuh Saudari”. Itu julukan bagi tujuh gedung pencakar langit bersejarah yang dibangun pada era kepemimpinan Joseph Stalin. Tujuannya agar Rusia tidak terlihat kalah maju dari negara-negara Barat. Gedung pertama selesai dibangun tahun 1949.
Ada gedung bersejarah lain di seberang Hotel Ukraina. Nama resminya Gedung Pemerintah Federasi Rusia, tetapi juga dijuluki Gedung Putih. Bangunan ini jadi saksi krisis konstitusional tahun 1993 antara presiden kala itu, Boris Yeltsin, dan parlemen. Dewan parlemen dulu berkantor di sana.
Menembus waktu
Ketika yacht Radisson Royal mulai melaju, imaji masa lalu yang berbeda-beda berkelebatan setiap melihat obyek yang berlainan di sepanjang tepi sungai. Melihat tempat Presiden Vladimir Putin berkantor di Kremlin, waktu pun seolah berputar ke masa ketika kompleks benteng itu di abad-abad lampau jadi tempat tinggal sejumlah generasi Tsar, penguasa sewaktu Rusia berbentuk monarki.
Perjalanan makin asyik dengan cerita lucu yang dibawakan Ivan Mosin, pemandu wisata di yacht. Sewaktu kami melewati monumen Pyotr yang Agung, Ivan mengisahkan, patung setinggi 98 meter itu pada awalnya bukanlah patung Pyotr.
Rumor beredar, pencipta patung ini, seniman kelahiran Georgia bernama Zurab Tsereteli, sebenarnya membuat patung Christopher Columbus dan berniat menjualnya ke negara yang terkait dengan sang penjelajah dan pengklaim penemu Benua Amerika itu. Sebutlah Amerika Serikat, Kanada, serta negara-negara Eropa hingga Amerika Selatan.
”Semua negara tersebut menolak karena patung itu mahal. Apalagi, ukurannya yang besar membuat ongkos pengangkutannya dari Moskwa melintasi Samudra Atlantik akan menambah beban biaya,” kata Ivan. Akhirnya, Tsereteli memutuskan memberikan patung berbahan logam ini untuk kota Moskwa.
Masalahnya, patung ini patung Columbus. Agar sesuai dengan nilai-nilai ke-Rusia-an, jalan pintas diambil. Kepala Columbus dipotong dan diganti kepala Pyotr yang Agung, penguasa monarki Rusia tahun 1696-1725. Julukan yang Agung tersemat ke namanya, selain karena tinggi badannya yang lebih dari 2 meter, juga karena ia dinilai berjasa menjadikan Rusia bangsa yang besar.
Jadilah patung ditempatkan di tepi Sungai Moskwa dan dirilis ke publik tahun 1997. Pyotr ditampilkan sedang memimpin pelayaran dengan berdiri di atas sebuah kapal. Ini untuk menggambarkan penggalan riwayat hidup Pyotr yang terkenal sebagai Tsar pertama yang melanglang ke luar negeri, dengan berlayar ke Eropa tahun 1697. Sayang, posisi Pyotr yang Agung tampaknya menghalangi pandangan wisatawan yang ingin leluasa menikmati lekuk-lekuk Sungai Moskwa.
Ah, cerita memikat Ivan membuat kami lupa bahwa makan malam sudah menanti untuk disantap. Salad yang segar dan spageti adalah beberapa di antaranya. Kapal lantas putar balik, kembali ke titik keberangkatan. Inilah penyusuran sungai yang sekaligus menembus waktu, dengan tarif lebih kurang Rp 500.000 per orang dewasa.
Kunjungan wajib
Meski Sungai Moskwa sudah merangkumkan tempat-tempat legendaris Sang Ibu Kota, berdosa rasanya jika kaki tidak melangkah ke dambaan wisatawan dari seluruh dunia: Lapangan Merah. Belum sah pula bertandang ke Moskwa jika belum berfoto dengan kubah mirip bawang milik Katedral St Basil.
Persepsi itu pula yang dianut para peserta pelatihan Sputnik. Karena padatnya agenda kegiatan, kami hanya punya waktu enam menit untuk berlari mendekati Katedral St Basil lalu cepat-cepat saling menolong mengambil potret diri bersama gereja itu. Akhirnya…. Kami sudah sah datang ke Moskwa!
”Kalau kita tidak jadi ke Lapangan Merah, oh itu sebuah kekecewaan. Namun, karena kita berhasil ke sana, rasanya menyenangkan meski harus terburu-buru,” ujar Minnie. Ia bersyukur karena Lapangan Merah tidak terlalu ramai turis. Mereka bisa leluasa mencari titik yang pas untuk berpose.
Beruntung, sehari sebelumnya, kami pun sempat menghabiskan sore dengan berjalan-jalan ke Taman Gorky, Central Park ala Moskwa. Taman ini dibangun tahun 1928 dan memakai nama penulis Soviet ataupun Rusia yang termasyhur, Maxim Gorky. Dengan luas 120 hektar, taman bisa dinikmati dengan berbagai cara. Ada yang bersepeda, bersepatu roda, ada pula yang sekadar duduk dan mengobrol dengan kawan atau kekasih.
Menyusuri Sungai Moskwa, sudah. Bersantai di Taman Gorky, sudah. Lagu ”Winds of Change” pun terdengar dalam benak, merayakan perjalanan ini.
I follow the Moskwa…
Down to Gorky Park…