JAKARTA, KOMPAS— Kemungkinan penambahan partai politik dalam koalisi pendukung calon presiden-calon wakil presiden terpilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin masih akan dibahas oleh para ketua umum partai dalam koalisi itu. Di sisi lain, potensi akan terlalu dominannya kekuatan parpol pendukung pemerintah di parlemen bisa jadi tak baik bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Sebelumnya, Partai Gerindra menyatakan akan menawarkan konsep dan program partainya kepada Jokowi-Amin, utamanya di bidang kemandirian pangan dan ketahanan energi. Namun, Gerindra belum menyatakan arah politiknya seusai Pemilu 2019. Sementara itu, Partai Demokrat juga akan menawarkan 14 program prioritasnya kepada Jokowi-Amin (Kompas, 20/7/2019).
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, dihubungi dari Jakarta, Sabtu (20/7/2019), mengatakan, para ketua umum parpol dalam Koalisi Indonesia Kerja yang mendukung Jokowi-Amin belum duduk bersama membicarakan kemungkinan penambahan anggota baru koalisi.
Arsul mengatakan, biasanya setelah para ketua umum parpol dalam koalisi bertemu, sikap mengenai sejumlah hal menjadi mengerucut. Sampai kemarin, kata Arsul, belum ada rencana pertemuan itu. Namun, dia memperkirakan, pertemuan ketua umum parpol pendukung Jokowi-Amin, akan berlangsung Juli ini.
Menurut Arsul, PPP menyerahkan mengenai soal itu kepada Presiden Jokowi. Namun, juga akan meminta penjelasan dari Jokowi, apakah dibutuhkan perluasan koalisi.
Sementara itu, anggota Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Maman Imanulhaq, juga menegaskan bahwa belum ada pembicaraan resmi soal potensi penambahan anggota koalisi di internal koalisi Jokowi-Amin. Namun, dia menilai, posisi parpol pendukung Jokowi-Amin di parlemen sudah mencukupi.
Lima parpol pendukung Jokowi-Amin di parlemen, yakni PDI-P, Partai Golkar, Partai Nasdem, PKB, dan PPP, pun telah menguasai 60,8 persen dari total 575 kursi DPR. Sementara itu, parpol pendukung Prabowo-Sandiaga, yakni Gerindra, PKS, PAN, dan Partai Demokrat, menguasai 39,2 persen kursi parlemen.
Maman menilai, Gerindra bersama parpol lain pendukung Prabowo-Sandiaga dibutuhkan untuk membangun oposisi guna menjadi mitra pengontrol pemerintah. ”Pertemuan Pak Jokowi dan Pak Prabowo di MRT Lebak Bulus berarti sudah dalam satu rel (memperkuat Indonesia), tetapi bukan berarti harus satu gerbong,” katanya.
Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya mengingatkan, partai di barisan oposisi dibutuhkan agar pemerintah dapat bekerja maksimal dalam menjalankan program.
Terkait kemungkinan bergabungnya Gerindra dalam koalisi Jokowi-Amin, Wakil Sekjen Partai Gerindra Andre Rosiade mengatakan, masih menunggu komunikasi lanjutan dari pihak Jokowi-Amin terkait tawaran konsep dan gagasan kemandirian pangan dan ketahanan energi. Jika Jokowi-Amin menerimanya, maka ada pembicaraan lanjutan.
Namun, jika konsep dan gagasan tersebut tak bisa diterima, Gerindra akan membantu dari luar pemerintahan. Filosofi ini, menurut dia, penting karena Gerindra tidak bertujuan asal kebagian kursi dalam pemerintahan.
Bisa tak terawasi
Posisi pendukung pemerintahan yang terlalu dominan di parlemen dapat bermakna tidak baik dalam penguatan konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor khawatir, pemerintahan Jokowi-Amin tidak cukup terawasi jika makin banyak parpol yang terserap dalam kekuasaan. Sebab, watak orang yang sudah berada di dalam kekuasaan cenderung tidak setajam tatkala yang bersangkutan berada di luar pemerintahan.
Menurut dia, belum ada jaminan untuk memastikan adanya kekuatan kritis ketika komposisi kekuatan di lingkar kekuasaan terlalu dominan. Parlemen bisa menjadi begitu ”sepi” jika hanya ada sedikit parpol yang mengambil posisi di luar pemerintahan.
Salah satu solusi, kata Firman, bisa saja ada oposisi yang bermain di dua wilayah. Di satu sisi memberikan kader terbaik yang profesional untuk membantu presiden menyelesaikan sejumlah persoalan, tetapi di sisi lain tidak menggugurkan semangat sebagai oposisi di parlemen.
Namun, Firman tidak yakin hal itu benar-benar dapat diterapkan di Indonesia. Sebab, parpol yang memainkan peran itu dapat dianggap tidak loyal atau berkoalisi setengah hati. (INK/GAL)