Solusi Transportasi Rimbang Baling dengan Jalan Interpretasi
›
Solusi Transportasi Rimbang...
Iklan
Solusi Transportasi Rimbang Baling dengan Jalan Interpretasi
Di Kampar Kiri Hulu, misi konservasi dan keterisolasian daerah menjadi dilema. Di satu sisi, hutan Kampar Kiri Hulu seluas 140.000 hektar, sejak tahun 1982 sudah ditetapkan sebagai suaka alam.
Oleh
Syahnan Rangkuti
·4 menit baca
Membincangkan nama ”Kampar Kiri Hulu” memiliki berbagai arti. Kalau ditanya pemerintah daerah Kabupaten Kampar yang menaungi wilayah administrasi kecamatan itu, Kampar Kiri Hulu berarti daerah terisolasi dan tertinggal. Status daerah tertinggal kerap memalukan daerah karena pemerintahnya dinilai gagal membangun wilayah dan meningkatkan taraf hidup warganya.
Sebaliknya bagi pegiat lingkungan, nama Kampar Kiri Hulu lebih bermakna sebagai wilayah konservasi harimau sumatera yang patut dilestarikan buat anak cucu. Di sana terdapat hutan alam yang indah dan asri yang masih tersisa di antara sejumlah hutan lain di negara ini, yang porak poranda akibat pembalakan liar dan perambahan.
Di Kampar Kiri Hulu, misi konservasi dan keterisolasian daerah menjadi dilema. Di satu sisi, hutan Kampar Kiri Hulu seluas 140.000 hektar, sejak tahun 1982 sudah ditetapkan sebagai suaka alam. Kementerian Kehutanan kemudian menaikkan statusnya menjadi Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling pada 2014.
Sesuai kodrat alaminya, konservasi alam terbaik semestinya memang terisolasi atau dijauhkan dari manusia. Semakin sedikit campur tangan manusia, semakin baik alam berkembang.
Namun di Kampar Kiri Hulu, sesuai sejarahnya, wilayah itu telah dihuni manusia sejak ratusan tahun lalu. Manusia hidup di sepanjang aliran Sungai Subayang dan Sungai Bio yang membelah suaka alam indah itu secara berdampingan memanfaatkan alam.
Warga hidup dari bercocok tanam, menangkap ikan di sungai, dan mencari penghasilan utama dari menyadap getah karet di halaman belakang.
Sebagai daerah terisolasi, memang tidak ada jalan raya terutama menuju sembilan desa di hulu Sungai Subayang. Pemerintah pusat tidak mengizinkan pemerintah daerah membangun jalan membelah suaka margasatwa.
Awalnya, warga tidak merasa berkeberatan hidup tanpa jalan raya. Sebab mereka dapat memanfaatkan aliran Sungai Subayang yang jernih airnya. Meskipun dangkal dan berbatu, perahu kayu tradisional yang dinamakan piyau, masih dapat menjadi andalan transportasi warga.
Oleh penduduk sekitar, nama piyau kerap disebut Robin atau Johnson. Robin dan Johnson merupakan penamaan berdasarkan mesin piyau yang dulunya didominasi merek Robin dan Johnson.
Robin memiliki kapasitas mesin kecil dan lebih lambat dibandingkan dengan Johnson yang bermesin lebih besar dan kencang. Sekarang hampir tidak ada lagi piyau bermesin Robin dan Johnson. Namun, sebutan Robin dan Johnson terus dipakai.
Robin biasa dipakai untuk keperluan transportasi warga sehari-hari untuk jarak pendek. Sementara Johnson dipakai jarak jauh, terutama untuk membeli bahan bangunan atau kebutuhan sehari-hari penduduk ke Gema, ibu kota Kecamatan Kampar Kiri Hulu.
Ongkos transportasi piyau terbilang mahal. Untuk angkutan orang dari Gema menuju Desa Pangkalan Serai sejauh 34 kilometer (desa terjauh di Kampar Kiri Hulu), harus ditebus Rp 100.000 per orang. Untuk ongkos angkut semen Rp 30.000 per zak.
Dahulu warga tidak terlalu berhitung dengan mahalnya ongkos piyau. Maklum, ketika itu harga karet masih di atas Rp 10.000 per kilogram.
Kini harga karet stabil bertahan di bawah Rp 5.000 per kilogram dan biaya hidup semakin tinggi. Mengatasi tingginya biaya hidup banyak warga mengambil jalan pintas, yakni mencuri kayu dari hutan Rimbang Baling.
Selain ongkos piyau mahal, Sungai Subayang pun memiliki kelemahan alamiah yang berulang setiap tahun. Di puncak musim hujan, pada Desember dan Januari, air sungai kerap meluap dan sangat deras. Kondisi itu tidak dapat diterobos oleh piyau, terutama untuk perjalanan ke hulu.
Sebaliknya di puncak musim kering, Agustus dan September, di beberapa lokasi aliran Sungai Subayang menjadi dangkal dan sangat sulit dilewati piyau. Tidak jarang warga harus turun mendorong piyau agar perjalanan dapat dilanjutkan.
Mantan Bupati Kampar (2017-2018), mendiang Azis Zainal, pernah menyampaikan kabar duka kepada Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau Suharyono, selaku pengawas SM Rimbang Baling. Azis mengatakan, seorang warganya di Kampar Kiri Hulu, yang tengah hamil tua meninggal. Penyebabnya warga tersebut tidak dapat dibawa ke ibu kota kecamatan pada saat sungai sedang banjir.
Azis meminta pemerintah pusat memberikan solusi untuk transportasi warga melewati kawasan hutan SM Rimbang Baling. Permintaan itu akhirnya dikabulkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, persyaratannya cukup ketat.
Suharyono menegaskan, mereka hanya memberikan izin pembangunan jalan setapak selebar 1 meter yang hanya boleh dilalui sepeda motor. Jalan itu tidak boleh disemen atau diaspal.
Jalur yang disebut ”jalan interpretasi” itu akan menghubungkan 10 desa dari Tanjung Belit sampai ke Pangkalan Serai, sejauh 34 kilometer. Jalan itu hanya boleh dipakai untuk transportasi dan angkutan kebutuhan warga sekaligus untuk wisatawan yang mengunjungi lokasi pariwisata.
Rimbang Baling memiliki banyak potensi pariwisata yang dapat dikembangkan dengan keberadaan jalan interpretasi.
Sebelum dibangun, saya meminta setiap desa memiliki polisi adat yang bertanggung jawab terhadap penggunaan jalan interpretasi. (Suharyono)
Beberapa kalangan di Riau justru berkeberatan terhadap rencana pembukaan jalan interpretasi yang membelah SM Rimbang Baling. Kepala Dinas Pariwisata Riau Fahmizal Usman, misalnya, terang-terangan mengatakan tidak setuju.
Ia khawatir, jalan interpretasi akan dipakai warga tidak bertanggung jawab merusak hutan yang masih asri itu. Jangankan ada jalan interpretasi, tanpa jalan pun kayu hutan sudah dicuri.
Apabila hutan rusak, pariwisata yang baru mulai dikembangkan di sana akan meredup. (Fahmizal)
Namun, apa pun keberatannya, izin pembukaan jalan itu sudah disetujui negara. Menurut Camat Kampar Kiri Hulu Dasril, Pemerintah Kabupaten Kampar sudah menganggarkan dana Rp 6,6 miliar pada APBD 2019.
Tidak lama lagi, jalan yang didamba masyarakat di sepanjang Sungai Subayang itu akan terwujud. Dengan dibangunnya jalan interpretasi ini, desa-desa di Kampar Kiri Hulu tidak lagi terisolasi seperti dahulu. (Dasril)
Semoga saja jalan itu dapat dimanfaatkan untuk tujuan positif oleh masyarakat setempat. Jangan sampai jalan interpretasi yang bertujuan memudahkan transportasi warga kelak akan menghancurkan hutan terindah di Riau itu.