Usaha Tiada Akhir Memeratakan Pendidikan Indonesia
Kebijakan demi pemerataan, bagaimanapun bentuknya, merupakan usaha terus-menerus yang tak akan pernah selesai.
Kebijakan pendidikan demi pemerataan di Indonesia sudah banyak ditetapkan sejak lama. Salah satu yang masih bisa dilihat jejaknya adalah program pembangunan SD Inpres pada pertengahan tahun 70-an. Saat ini, kembali muncul kebijakan yang bernafaskan pemerataan, yakni kebijakan PPDB sistem zonasi di jenjang pendidikan dasar-menengah.
Dari pelaksanaan program Inpres pada tahun 70-an, kita dapat melihat situasi pendidikan di Indonesia saat program tersebut dikeluarkan sebagai persoalan yang ingin dijawab. Selanjutnya, kita dapat melihat evaluasi serta jejak keberhasilan program tersebut dalam menjawab persoalan di dunia pendidikan yang ingin dijawab dengan program Inpres SD tersebut.
Dengan pola yang sama, PPDB sistem zonasi dapat dibandingkan dengan kebijakan program Inpres SD tahun 70-an. Apakah persoalan yang ingin dijawab oleh kebijakan PPDB sama dengan persoalan yang ingin dijawab oleh program Inpres? Pertanyaan tersebut diungkapkan terutama karena keduanya merupakan upaya untuk mewujudkan pemerataan di bidang pendidikan.
Sekolah Dasar Inpres
Upaya memeratakan pendidikan secara terstruktur dan massal di Indonesia pernah dilakukan pada masa Orde Baru untuk jejang pendidikan dasar. Pada tahun 1973, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar (Kompas, 18/12/1973).
Munculnya program Impres dapat dicari jejaknya mulai dari November 1973. Pada saat itu, pemerintah mulai mengungkapkan rencananya untuk mengangkat 57.600 guru SD dan membangun 6.000 gedung SD baru (Kompas, 21/11/1973). Rencana tersebut diungkap sebagai tanggapan atas situasi pendidikan di Indonesia yang memprihatinkan, terutama kurangnya gedung sekolah bagi anak SD.
Tajuk Rencana Kompas 21 November 1973 menuliskan, “…Jumlah anak-anak usia sekolah dasar, kini sekitar 7.578.000. Dari jumlah itu sudah tertampung baru 4.180.000. Selebihnya, 3.398.000 tidak mendapat tempat.” Artinya, 44,8 persen atau setengah anak-anak usia sekolah dasar pada zaman itu tidak dapat bersekolah karena tidak mendapat tempat. Persoalan yang muncul di awal pelaksanaan program SD Inpres terutama adalah kurangnya sarana-prasarana serta kurangnya tenaga pengajar di tingkat SD.
Situasi tersebut kemudian direspons dengan program bantuan pembangunan Sekolah Dasar yang kemudian lebih umum dikenal dengan sebutan program Inpres. Dalam praktiknya, program Inpres efektif dilaksanakan mulai Repelita II (Rencana Pembangunan Lima Tahun 1974-1979).
Program Inpres dilaksanakan dengan menyasar lima daerah dengan karakteristik tertentu. Pertama, program Inpres diarahkan ke daerah pedesaan yang terdapat banyak anak-anak berumur tujuh tahun yang belum mendapat tempat di sekolah-sekolah dasar. Kedua, program Inpres juga diarahkan ke daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah.
Selanjutnya, program Inpres ini juga mencakup daerah-daerah proyek transmigrasi, daerah-daerah yang tertimpa bencana alam nasional, daerah-daerah permukiman baru, serta daerah-daerah perkebunan inti yang memerlukan sekolah dasar. Di lima daerah tersebut, dibangun sekolah dasar sesuai dengan amanat Instruksi Presiden.
Dalam praktiknya, pemerataan pendidikan dengan pembangunan gedung sekolah dasar sesuai Instruksi Presiden ini juga diwarnai beberapa persoalan. Salah satu persoalan yang muncul adalah pengelolaan dana yang kurang efisien. Alokasi dana yang diberikan untuk pembangunan gedung sekolah seringkali hanya cukup untuk membeli tanah sehingga gedung sekolah tak bisa dibangun.
Selain inefisiensi dana, muncul juga persoalan transparansi penggunaan dana. Penggelapan dana memungkinkan terjadi karena pemborong pembangunan gedung sekolah didapatkan dari penunjukkan langsung oleh bupati sehingga dianggap tidak transparan. Karena menjadi rahasia umum, pada tahun 80-an, sebutan SD Inpres bermakna negatif, merujuk pada bangunan yang terkesan ringkih karena uang pembangunan yang ditilap.
Persoalan lain yang juga muncul adalah bangunan SD tidak jadi dibangun karena calon lokasi pembangunannya terlalu jauh untuk diakses calon siswa. Hal itu terjadi di Provinsi Kalimantan Barat pada akhir 1974.
Saat itu, tak satu pun Dati II (Daerah Tingkat) yang siap melaksanakan program Inpres SD. Faktor geografis dan demografis menjadi penghalang. Jumlah penduduk di Kalbar sangat sedikit, ditambah jarak tempuh yang jauh bahkan hingga hitungan beberapa hari perjalanan.
Jejak Hasil Inpres
Jejak hasil program pemerataan pendidikan pada era Orde Baru ini dapat dilihat salah satunya dari data-data pendidikan BPS periode 1973-1983 menyangkut jumlah siswa SD, guru SD, dan gedung sekolah SD. Kurun waktu tersebut diambil karena merupakan episode pelaksanaan Instruksi Presiden tentang pembangunan di tingkat sekolah dasar.
Dari sisi jumlah siswa SD, selama periode 1973-1983 terjadi pertumbuhan jumlah siswa SD yang sangat tinggi dari -8,6 persen menjadi 8,6 persen di akhir periode pelaksanaan Inpres.
Kenaikan pertumbuhan juga terjadi pada jumlah guru SD pada kurun waktu yang sama, dari -5,6 persen menjadi 3,5 persen pada tahun ajaran 1982/83.
Di samping jumlah murid dan guru, pertumbuhan bangunan sekolah SD naik paling signifikan selama program SD Inpres, dari -4,7 persen menjadi 19,8 persen.
Hingga akhir periode Inpres SD, 1982/83, tercatat 854.738 guru SD negeri, 24.695.288 siswa SD negeri, dan 119.484 bangunan sekolah SD negeri. Jumlah tersebut rata-rata merupakan dua kali lipat dari situasi tahun 1972/73 saat program SD Inpres mulai dicanangkan. Pada tahun ajaran 1972/73 hanya terdapat 413.413 guru SD Negeri, 13.030.548 siswa SD Negeri, dan 65.569 bangunan sekolah SD negeri.
Catatan khusus perlu diberikan pada tahun ajaran 1982/1983. Pada tahun ajaran ini bertambah lebih dari 16.000 gedung baru SD dan 168.656 guru yang direkrut atau diangkat.
Pertambahan jumlah gedung sekolah SD dan guru SD pada tahun ajaran 1982/83 didorong oleh kenaikan alokasi sektor pendidikan di APBN. Pada tahun anggaran 1982/83, alokasi sektor pendidikan di APBN sebesar 25 persen atau 1,3 triliun rupiah atau kurang lebih 1,85 miliar dollar AS pada waktu itu. Nilai ini meningkat 66 persen dari tahun anggaran sebelumnya. Hal inilah yang membuat lonjakan jumlah bangunan sekolah dan guru SD pada tahun ajaran 1982/1983.
Kebijakan Inpres SD pada tahun 1973-1983 telah menunjukkan keberhasilan dalam hal penambahan ketersediaan bangunan sekolah dasar, guru, dan murid dalam 10 tahun pelaksanaanya. Akan tetapi, hingga saat ini persoalan mendasar terkait pendidikan di Indonesia masih terus menjadi tantangan. Masih terdapat ketimpangan pendidikan antardaerah, kuantitas dan kualitas sarana-prasarana pendidikan dan tenaga pendidikan yang tidak merata, serta ketidakadilan akses layanan pendidikan.
PPDB Zonasi
Mulai tahun ajaran 2017/18, pemerintah menetapkan kebijakan PPDB dengan sistem zonasi di jenjang pendidikan dasar-menengah. Kebijakan ini memosisikan sebagai pemantik awal dengan menyasar pada persoalan ketidakadilan akses layanan pendidikan dengan mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Dengan demikian, masih terdapat minimal tiga persoalan pendidikan terkait pemerataan, yakni ketimpangan pendidikan antardaerah, kuantitas dan kualitas sarana-prasarana pendidikan, serta tenaga pendidikan yang tidak merata.
Ketiga persoalan terkait ketimpangan di dunia pendidikan tersebut dapat dipotret melalui Neraca Pendidikan Daerah (NPD). NPD merupakan gambaran profil kondisi pendidikan suatu daerah yang diluncurkan pada 2016. Melalui NPD, masyarakat dapat meninjau langsung standar sarana prasarana serta standar pendidik dan tenaga pendidikan. Selain itu, NPD juga menggambarkan alokasi APBD dan APBN di bidang pendidikan serta pemanfaatannya di setiap daerah.
Kualifikasi dan Kompetensi Guru
Di Indonesia, kualitas seorang guru diukur dari dua hal, pertama kualifikasi akademik dan kedua kompetensi. Hingga saat ini, masih banyak tenaga pendidik yang berada di bawah ukuran standar pendidik nasional. Selain itu, ketersediaan guru bersertifikasi masih sangat sedikit.
Untuk guru tingkat SD, SMP, dan SMA, kualifikasi akademik minimum yang harus dimiliki adalah lulusan diploma empat (D-IV) atau Sarjana (S-1). Kualifikasi tersebut paling banyak belum dipenuhi oleh guru di tingkat SD.
Berdasarkan data NPD tahun 2018, guru SD yang berpendidikan minimal D-IV atau S-1 baru mencapai 86,07 persen dari 1,32 juta guru SD. Sementara di tingkat SMP, sebanyak 92,88 persen dari 588,97 ribu guru SMP telah menempuh pendidikan D-IV atau S-1. Di tingkat SMA dan SMK, persentase guru yang memenuhi kualifikasi pendidikan lebih tinggi, yaitu sebanyak 97,18 persen dari 294,50 ribu guru SMA dan 94,01 persen dari 292,12 ribu guru SMK.
Selain bisa dilihat dari jenjang penempatannya, pemenuhan kualifikasi akademik seorang guru juga dapat dilihat dari sebaran wilayah penempatannya. Dari penelusuran terhadap data kualifikasi akademik guru tiap provinsi se-Indonesia, tercatat lima provinsi yang paling banyak memiliki guru dengan kualifikasi pendidikan di bawah syarat minimum. Daerah-daerah tersebut adalah Lampung, Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.
Ukuran kualitas guru yang kedua adalah kompetensi. Hal itu diatur dalam UU No 14 tahun 2005 yang menyatakan bahwa seorang guru wajib mengikuti Ujian Kompetensi Guru (UKG).
Dari 34 provinsi di Tanah Air, sebagian besar atau 21 provinsi memiliki rata-rata nilai uji kompetensi guru di bawah standar kompetensi minimal pada tahun 2018. Dari 21 provinsi tersebut, sepuluh skor UKG terendah berada di provinsi Maluku, Maluku Utara, Aceh, Papua, Papua Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, NTT, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara.
Secara umum, ujian tersebut mensyaratkan nilai 55 sebagai standar kompetensi minimal. Sementara, nilai rata-rata hasil uji kompetensi guru secara nasional pada 2018 hanya mencapai 53,02.
Nilai rata-rata di bawah standar tersebut selaras dengan banyaknya guru yang belum lolos ujian sertifikasi. Di jenjang SD, hanya 45,77 persen guru yang sudah lolos program sertifikasi. Persentase tersebut sedikit meningkat di tingkat SMP dengan jumlah 48,44 persen guru yang bersertifikasi. Sementara di tingkat SMA, guru bersertifikasi hanya mencapai 41,09 persen. Jumlah guru bersetifikasi paling kecil ada di jenjang SMK dengan hanya 28,49 persen guru yang telah bersertifikasi.
Rasio Guru-Murid
Selain kualitas guru yang masih kurang, persoalan pendidikan di Indonesia juga diwarnai oleh belum meratanya rasio jumlah guru-murid di Indonesia. Selain itu, muncul juga persoalan masih tingginya rasio murid-guru bersertifikasi.
Yang dimaksud dengan rasio murid-guru adalah perbandingan antara jumlah murid yang menjadi tanggung jawab satu orang guru. Kemendikbud dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2013 menetapkan aturan bahwa setiap 32 siswa harus diampu oleh satu orang guru. Sementara, berdasarkan PP Nomor 74 Tahun 2008, setiap guru SD, SMP, dan SMA bersertifikasi wajib idealnya mengajar 20 siswa. Sedangkan untuk guru SMK bersertifikasi wajib mengajar 15 siswa.
Penetapan jumlah tersebut berdasar pada asumsi bahwa guru akan dapat memberikan perhatian dan pembelajaran yang fokus apabila jumlah murid tidak terlalu banyak. Pemerintah menetapkan jumlah maksimum peserta didik setiap rombongan belajar adalah 28 siswa untuk tingkat SD, 32 siswa untuk tingkat SMP, dan 36 siswa untuk tingkat SMA dan SMK. Hal itu berarti, jumlah siswa yang diampu setiap guru idealnya tidak melebihi batas tersebut.
Dalam dua tiga tahun terakhir, total nilai rasio murid dengan guru cenderung menurun meskipun tidak tinggi. Penurunan paling tampak pada tingkat sekolah dasar. Istilah kenaikan dan penurunan rasio ini memang bisa mengecoh. Sederhananya, semakin besar jumlah siswa dibandingkan guru, berarti nilai rasio semakin turun. Demikian juga sebaliknya.
Berdasar data Statistik Pendidikan Indonesia, pada tahun ajaran 2015/2016, satu guru SD bertanggung jawab terhadap 14 orang siswa. Selanjutnya, jumlah siswa meningkat menjadi 16 siswa SD per satu orang guru di tahun ajaran 2016/2017. Pada tahun ajaran selanjutnya perbandingan satu guru SD dengan muridnya mencapai 1:17.
Penurunan nilai rasio guru-murid di tingkat SD terjadi karena banyak guru yang pensiun dan adanya moratorium pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) sejak tahun 2015. Selain itu, jumlah murid SD juga berkurang pada periode 2016-2018. Walaupun nilai rasio menurun, jumlah guru SD secara nasional masih mencukupi, masih lebih tinggi daripada nilai rasio guru bersertifikasi dan murid sebesar 1:20, bahkan lebih tinggi dari rasio guru-murid SD standar pemerintah, 1:28.
Di tingkat selanjutnya, SMP, SMA, dan SMK, rasio murid-guru cenderung stabil. Penurunan nilai rasio terjadi pada tahun ajaran 2016/2017, sedangkan pada tahun selanjutnya nilai rasio tetap. Rasio murid-guru SMP dan SMA menurun dari satu guru untuk 15 siswa menjadi satu guru untuk 16 siswa. Sedangkan di tingkat SMK, rasio murid-guru menurun dari satu guru per 16 siswa menjadi satu guru per 17 siswa.
Rasio guru juga dapat dilihat per provinsi untuk melihat ketimbangan rasio guru-murid di tiap provinsi di Indonesia. Pada tahun ajaran 2017/2018, rasio murid-guru tingkat SD terbesar ada di provinsi Aceh dengan perbandingan 1:11 dan yang terkecil ada di Papua dengan perbandingan 1:28.
Di tingkat SMP dan SMA, Provinsi Aceh memiliki rasio guru dan murid yang paling tinggi, yaitu 1:9 dan 1:10. Sementara, nilai rasio guru-murid terendah berada di Jawa Barat dan Banten. Di Jawa Barat dan Banten, satu guru SMP menghadapi 22 murid dan 21 murid, sedangkan satu guru SMA mengajar rata-rata 19 murid.
Rasio murid-guru di atas, walaupun tidak menggambarkan keadaan di tiap kelas, tetapi secara nasional menunjukkan bahwa jumlah guru lebih dari cukup. Akan tetapi, gambaran rasio guru-murid ini akan problematis ketika rasio yang digunakan adalah rasio murid-guru bersertifikasi.
Saat ini, rasio murid-guru bersertifikasi di tingkat SD adalah 1:33. Artinya, setiap satu orang guru bersertifikasi melayani 33 murid. Di tingkat SMP, rasio sedikit membesar dengan nilai 1:32. Di tingkat SMA, rasio kembali naik dengan perbandingan 1:40. Nilai rasio paling kecil dialami SMK dengan perbandingan 1 guru bersertifikasi untuk melayani 64 siswa.
Dengan membandingkan rasio guru bersertifikasi-siswa di tiap provinsi, tampak daerah-daerah dengan ketimbangan guru bersertifikasi yang tinggi. Di tingkat SD di Papua, satu guru bersertifikasi harus melayani 149 murid. Di tingkat SMP, daerah paling timpang adalah NTT dengan perbandingan guru-murid bersertifikasi 1:65.
Sarana dan Prasarana
Selain kualitas dan jumlah guru, pendidikan di Indonesia juga dapat dipotret dari sisi ketersediaan sarana dan prasarana penunjang kegiatan sekolah.
Selama ini, pembangunan sekolah didasarkan pada kebutuhan, yaitu jumlah dan partisipasi penduduk di suatu wilayah. Kendala yang terjadi di Indonesia adalah bahwa masih terdapat daerah berpenduduk yang tidak terjangkau akses transportasi. Selain itu, daerah-daerah tersebut dihuni oleh penduduk yang mengelompok dengan jarak antarkelompok yang jauh.
Dengan situasi demikian, pemerintah tetap berusaha menyelenggarakan pendidikan demi tercapainya pemerataan pendidikan. Melalui Permendiknas 24/2007, pemerintah mewujudkan pendidikan yang lebih merata melalui penyediaan sekolah bagi masyarakat terpencil.
Di jenjang SD atau sederajat, disediakan satu SD/MI pada satu kelompok permukiman permanen dan terpencil dengan penduduk lebih dari 1.000 jiwa.
Untuk tingkat SD, sekolah yang dibangun tidak boleh lebih dari tiga kilometer dengan berjalan kaki. Sementara itu, untuk jenjang SMP, lokasi setiap SMP harus dapat ditempuh dengan berjalan kaki maksimum enam kilometer. Sedangkan untuk tingkat SMA, setiap kecamatan harus memiliki minimal satu SMA/MA.
Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar
Kenyataannya, di tingkat SD misalnya, dalam 12 tahun terjadi penurunan jumlah sekolah dari 148,3 ribu pada tahun ajaran 2005/2006 menjadi 146,8 ribu pada 2011/2012. Namun, pada 2017/2018 jumlahnya meningkat menjadi 148,2 ribu sekolah.
Salah satu penyebab naik turunnya jumlah sekolah di tingkat pendidikan dasar ini adalah adanya kebijakan penggabungan SD negeri yang masih berlanjut. Kebijakan ini merupakan respons terhadap permasalahan kurangnya tenaga pengajar di suatu wilayah serta minimnya daya serap siswa.
Sementara di tingkat sekolah menengah, jumlah sekolah semakin bertambah. Komitmen pemerintah untuk meningkatkan SDM yang kompeten dalam bidang-bidang tertentu menjadi faktor bertambahnya jumlah SMK. Dalam dua periode tahun ajaran saja, jumlah SMK meningkat dari 13,2 ribu sekolah pada tahun ajaran 2016/2017 menjadi 13,7 ribu sekolah pada 2017/2018.
Namun, banyaknya sekolah tidak dapat dijadikan patokan keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan pemerataan pendidikan. Distribusi jumlah dan kualitas sekolah menjadi hal yang lebih penting.
Kualitas sekolah dapat dilihat dari kondisi sekolah yang layak dan aman. Namun sampai saat ini masih banyak sekolah dengan ruang kelas dengan kondisi rusak berat.
Berdasarkan data NPD 2018, saat ini masih terdapat 7,19 persen ruang kelas yang rusak berat dari 1,75 juta ruang kelas di sekolah-sekolah. Kelas yang rusak berat banyak terjadi di SD dan SMP.
Di tingkat SD, masih terdapat 8,49 persen ruang kelas rusak berat dari 1,1 juta ruang kelas yang tersedia.Meskipun jumlah ruang kelas rusak SMP tidak sebanyak di tingkat SD, tetapi masih ada 7,26 persen dari 25,96 ribu kelas yang menjadi prioritas untuk dibenahi.
Di tingkat SMA dan SMK kondisi ruang kelas rusak berat lebih sedikit. Masih terdapat 3,95 persen dari 6.400-an ruang kelas yang rusak berat di tingkat SMA. Sedangkan di tingkat SMK masih ada 1,88 persen dari 3.100-an ruang kelas SMK yang rusak berat.
Kondisi ini tidak dapat dikesampingkan sebab faktor keamanan murid menjadi hal yang paling penting. Sepanjang tahun 2014-2016, pemantauan yang dilakukan YAPPIKA menunjukkan, setidaknya terdapat 105 anak korban luka (61 siswa SD dan 44 siswa SMP) dan 4 anak meninggal (1 siswa SD dan 3 siswa SMP) akibat sekolah roboh (Kompas, 22/5/2018).
Selain itu, masih ada sekolah-sekolah di beberapa daerah yang belum mendapatkan akses listrik. Data Kemendikbud menyebutkan, masih terdapat 10 provinsi dengan cakupan layanan listrik ke SD di bawah 90 persen dari jumlah sekolah. Sedangkan di tingkat SMP, masih ada lima provinsi. Sekolah yang masih rusak berat dan belum terlayani akses listrik tersebut mayoritas berada di Indonesia Timur.
Harian Kompas mencatat, bahwa penuntasan masalah kerusakan kelas yang ditargetkan selesai pada 2019 belum terlaksana. Alokasi anggaran untuk perbaikan sekolah tidak tersedia sesuai kebutuhan. Apalagi, anggaran rehabilitasi di APBN semakin menurun sedangkan tidak semua daerah mengalokasikan dana rehabilitasi sekolah melalui APBD.
Peran Pemerintah Daerah
Potret pendidikan dari segi kualitas dan jumlah guru serta ketersediaan sarana dan prasarana penunjang kegiatan sekolah menunjukkan ketimpangan dari daerah satu ke daerah lain di Indonesia. Oleh karena itu, peran pemerintah daerah perlu lebih ditingkatkan untuk berbagi tugas dalam hal pengelolaan pendidikan.
Sejak awal tahun 2001, pemerintah daerah mendapat kewenangan untuk mengatur urusan pendidikan di wilayahnya sendiri. Bahkan, pada tahun 2007, melalui PP 38 tahun 2007 ditetapkan bahwa pendidikan menjadi urusan wajib daerah.
Oleh karena itu, pemerintah daerah kemudian wajib mengelola keuangan serta perencanaan pendidikan di daerahnya. Kewajiban tersebut diperjelas dalam UU No 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah wajib menganggarkan 20 persen APBD-nya untuk pendidikan.
Dalam kenyataannya, dukungan keuangan pemerintah daerah untuk sektor pendidikan tampak belum optimal. Berdasarkan Neraca Pendidikan Daerah (NPD) 2017, rata-rata kabupaten/kota hanya mengalokasikan kurang dari 15 persen dari APBD untuk pendidikan. Bahkan, masih ada kabupaten/kota yang memberi kurang dari lima persen APBD untuk sektor pendidikan (Kompas, 9/5/2019).
Kondisi masih berlanjut sampai tahun 2018. Dari data NPD 2018, masih terdapat 22 kabupaten/kota yang masih menyediakan anggaran pendidikan kurang dari lima persen. Daerah-daerah tersebut berada di Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Papua, Gorontalo, Papua Barat, dan Sulawesi Barat.
Selain persoalan alokasi, anggaran pendidikan yang berasal dari APBD dinilai belum tepat sasaran. Hal tersebut terungkap dalam hasil penelitian Yayasan Penguatan Partisipatif, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika)- Action Aid di di Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat), Sumba Barat (Nusa Tenggara Timur), dan Bima (Nusa Tenggara Barat) pada 2018.
Dari hasil kajian tematik pendidikan dasar Yappika-Action Aid disebutkan bahwa 54 persen anggaran pendidikan di Bima habis untuk belanja tak langsung, sedangkan di Sumba Barat 35 persen dan di Sambas 58 persen.
Mayoritas anggaran pendidikan digunakan untuk gaji pegawai negeri dan honorer. Dalam pembangunan sekolah pun, anggaran lebih diarahkan untuk keindahan sekolah, bukan peningkatan kualitas sarana dan prasarana.
Usaha Terus-Menerus
Lepas dari apa pun kebijakannya, pemerataan kuantitas dan kualitas pendidikan di Indonesia akan terus menjadi persoalan di bidang pendidikan. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa setiap daerah memiliki sumber daya alam, sumber daya keuangan, dan sumber daya manusia yang sangat beragam. Yang paling tampak, besaran anggaran pendidikan di tiap daerah akan berbeda mengingat APBD yang berbeda dari daerah satu ke daerah lain.
Keragaman potensi daerah tersebut mengakibatkan pemerataan kuantitas dan kualitas pendidikan akan sulit terwujud bila seluruh kebijakan praktis dijalankan dari pusat. Oleh karena itu, keragaman daerah menuntut juga keragaman kebijakan di tingkat praktis di daerah.
Dengan demikian, keragaman tidak menjadi penghalang untuk mewujudkan nilai yang diamanatkan oleh UUD 1945, pemerataan pendidikan, baik dari sisi akses, sarana, maupun kualitas.
Peran dan kewenangan tiap daerah untuk ikut mengelola pendidikan di daerahnya sudah diamanatkan oleh Undang Undang Pemerintah Daerah. Alat monitor kondisi pendidikan di tiap daerah pun sudah terwujud dengan NPD. Ditambah lagi, terdapat kewajiban alokasi 20 persen dari APBD.
Berbagai pendukung pembagian kewenangan pusat-daerah di bidang pendidikan ini mengarahkan agar pemerintah daerah ikut mewujudkan ide besar pemerataan menjadi kenyataan.
Akhirnya, komitmen pemerintah daerah untuk berkontribusi lebih besar di sektor pendidikan, baik dari sisi peningkatan jumlah dan kualitas guru serta sarana dan prasarana pendidikan perlu terus dikawal. (LITBANG KOMPAS)