Runtuhkan Stigma, Mereka Tak Hanya Butuh Obat
JAKARTA, KOMPAS – Stigma masih menjadi beban besar bagi anak-anak dengan HIV/AIDS. Ketakutan akan mendapatkan perlakuan diskriminatif membuat anak-anak, bahkan orangtua memilih untuk tidak mengungkapkan status kesehatan yang dimilikinya kepada masyarakat. Untuk itu, edukasi dan sosialisasi perlu masif dilakukan, baik oleh pemerintah, lingkungan sosial, serta tenaga pendidik dan kesehatan.
Diskriminasi yang dirasakan oleh anak dengan HIV/AIDS (ADHA) bisa mengorbankan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Hal ini terlihat dari dua kasus yang ditemukan pada setahun terakhir, yakni pada 14 ADHA di Solo, Jawa Tengah serta 6 ADHA di Samosir, Sumatera Utara yang mendapat penolakan di suatu sekolah. Akhirnya, sejumlah anak harus pindah ke sekolah lain dan lainnya mendapatkan pendidikan di rumah dengan bantuan mentor (home schooling).
Ketakutan akan penolakan itu dirasakan oleh A (32), seorang ibu dari ADHA yang juga memiliki HIV. Ia dan anaknya, M (12) terdiagosis pada 2010. Sejak saat itu, ia tidak pernah berani mengungkapkan status kesehatan anaknya pada masyarakat sekitar, terutama lingkungan sekolah.
“Meskipun saya akan lakukan apapun kalau anak saya diapa-apain sama orang, saya tetap takut anak saya dijelek-jelekin, dihina orang, dan dikucilkan. Saya takut anak saya tidak diberikan ruang yang sama dengan anak-anak lain. Siapa yang bisa memastikan perlindungan dan keamanan itu bisa didapatkan anak saya kalau status kesehatannya diketahui?” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (20/7/2019).
Menjadi orangtua bagi ADHA bukan perkara mudah. A menuturkan, memberi pengertian bagi anaknya butuh ketelatenan dan kesabaran yang penuh. Ia harus bisa memastikan anaknya mengonsumsi obat rutin tiga kali sehari setiap hari dengan jadwal tetap. Ia harus bisa menjaga kondisi tubuh anaknya agar tetap sehat karena daya tahan tubuh ADHA memang mudah menurun. Selain itu, ia juga harus siap menjelaskan penyakit apa yang ada di dalam tubuh anaknya.
Baca juga : Hentikan Diskriminasi terhadap ADHA
Data dari Kementerian Kesehatan menyebutkan, jumlah anak dengan HIV/AIDS usia 0-19 tahun pada 2018 sebanyak 2.881 orang. Dari data itu, lima provinsi dengan jumlah anak dengan HIV paling tinggi adalah Provinsi Papua (536), Jawa Timur (421), Jawa Barat (320), Jawa Tengah (308), dan DKI Jakarta (304).
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek yang ditemui beberapa hari lalu menuturkan, penemuan kasus HIV pada anak masih perlu ditingkatkan. Adanya stigma dan diskriminasi diakui menjadi penghambat dalam proses pendataan jumlah penderita HIV di Indonesia.
“HIV ini fenomena gunung es, yang ditemukan hanya sebagian, dasarnya lebih banyak. Kita masih punya tugas mencari jumlah yang lebih besar. Harapannya dengan mengetahui status mereka, pengobatan bisa diberikan secara optimal. Harapan hidup yang dimiliki pun bisa meningkat. Apalagi anak-anak, mereka masih punya masa depan yang panjang,” katanya.
Nila mengatakan, pemerintah terus berupaya meningkatkan akses layanan kesehatan bagi ADHA. Obat antiretroviral (ARV) dengan sediaan khusus untuk anak sudah disediakan, yakni berupa sediaan sirup dan larutan sehingga lebih mudah dikonsumsi. Sebelumnya, sediaan ARV yang diberikan kepada anak masih berupa tablet yang dosisnya disesuaikan dengan berat badan anak. Selain itu, akses untuk mendapatkan obat ini juga sudah baik.
Obat ARV merupakan terapi yang berguna untuk menekan laju perkembangan virus human immunodeficiency virus (HIV). Obat ini bisa bekerja optimal jika dikonsumsi dengan rutin setiap hari sesuai dosis. Jika terindikasi memiliki virus HIV, seseorang harus mengonsumsinya seumur hidup, termasuk mulai dari usia anak.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono menyampaikan, Kementerian Kesehatan telah menyiapkan rencana akselerasi untuk HIV pada 2019-2020. Terdapat tiga strategi makro yang direncanakan, yakni perluasan fasilitas dan akses kesehatan, konsolidasi dengan semu apemangku kepentingan yang memiliki fokus terhadap HIV/AIDS, serta menyempurnakan pencatatan dan pelaporan HIV/AIDS dalam sistem informasi HIV/AIDS (SIHA).
Untuk strategi mikro yang dirancang pemerintah dalam upaya perluasan fasilitas dan akses kesehatan dengan cara meningkatkan kapasitas pelayanan berobat. Rencananya, 7.093 puskesmas yang saat ini menerima pelayanan tes HIV akan diperkuat dengan layanan obat . Sampai 2018, layanan puskesmas dan rumah sakit yang memberikan layanan obat ARV baru 993 layanan di seluruh Indonesia.
“Kami juga akan memperkuat layanan melalui strategi test and treat yakni dengan melakukan tes HIV dan jika terindikasi langsung mendapatkan pengobatan dan monitoring yang ketat. Selain itu, testing juga akan dilakukan pada nonpopulasi kunci, bukan hanya populasi yang dinilai rentan. Targetnya, Agustus nanti sudah bisa dijalankan,” tutur Anung.
Baca juga : Edukasi untuk Akhiri Diskriminasi terhadap ADHA dan ODHA
Setidaknya, Kementerian Kesehatan telah menganggarkan sekitar Rp 2,5 triliun untuk penanganan HIV/AIDS pada 2019. Dari jumlah itu, sekitar Rp 1,1 triliun dialokasikan untuk pengadaan obat.
Tidak hanya obat
Ketua Kumpulan dengan Segala Aksi Kemanusiaan (Kuldesak) Hages Budiman menilai, dukungan pemerintah dalam pengadaan obat dan layananan kesehatan bagi orang dengan HIV/AIDS, termasuk untuk ADHA kini lebih baik. Keluhan stok obat yang kosong serta layanan pemeriksaan yang sulit sudah tidak terjadi. Hanya saja, pengadaan obat di sejumlah daerah masih menemui kendala.
Meski begitu, Hages mengatakan, kebutuhan ADHA tidak hanya sekadar obat. Mereka juga memerlukan kepastian dalam perlindungan, akses pendidikan yang layak, jaminan memperoleh hiburan, serta kesempatan untuk mengembangkan diri. Untuk bisa mendapatkan itu semua, ADHA butuh orangtua atau kelompok dukungan yang terampil.
“Menjadi orangtua atau pengasuh bagi ADHA tidak mudah. Komunikasi yang terjalin pada anak harus baik sehingga pengertian dalam menangani penyakit yang dimiliki bisa berjalan baik. Tidak semua orangtua bisa dengan mudah menjawab pertanyaan anak, ‘kenapa aku harus minum obat setiap hari’ atau ‘aku sakit apa’. Sementara dirinya sendiri juga perlu perawatan,” ucapnya.
Menurutnya, pelatihan keterampilan serta pemahaman menjadi orangtua dan pengasuh bagi ADHA lebih banyak dilakukan oleh komunitas atau lembaga swadaya masyarakat. Sementara, jumlah komunitas atau lembaga ini masih terbatas di sedikit daerah, seperti kota besar. Untuk itu, jika pelatihan bisa diberikan secara masif oleh pemerintah akan sangat membantu edukasi dan sosialisasi dalam pengasuhan anak dengan HIV/AIDS.
Dihubungi terpisah, Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial, Kanya Eka Santi menyampaikan, kebijakan baru telah dicanangkan untuk anak yang memerlukan perlindungan khusus, termasuk ADHA. Saat ini, Kementerian Sosial masih menyusun pedoman terkait kebijakan tersebut.
Sejumlah mitra, seperti komunitas dan lembaga yang menangani ADHA diminta untuk mengidentifikasi dan memasukkan data anak yang perlu penanganan khusus ke dalam data terpadu. Data tersebut nantinya akan menjadi dasar bantuan yang akan diberikan oleh pemerintah. Bantuan ini bisa digunakan untuk mendukung penambahan gizi anak, kebutuhan rekreasi, peningkatan kapasitas dan keterampilan anak, serta kemampuan pengasuhan bagi orangtua.
“Untuk sementara, dana yang tersedia sekitar Rp 1 juta per anak per tahun. Agustus nanti rencana akan mulai diluncurkan. Memang tidak banyak, namun jika data terpadu sudah tercatat dengan baik, bantuan lain bisa dberikan lebih mudah, seperti pemberian dana bantuan PKH (program keluarga harapan),” tutur Kanya.
Selain itu, pendampingan lain juga diberikan melalui lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA). Bantuan yang diberkan nantinya akan dilakukan melalui pendekatan LKSA. Bantuan ini nantinya akan dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, termasuk pendampingan dan edukasi bagi orangtua ADHA. Pemanfaatan bantuan ini akan diawasi serta dimonitoring oleh Kementerian Sosial agar pemanfaatannya bisa efektif dan maksimal.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nahar menambahkan, perlindungan khusus untuk anak dengan HIV/AIDS telah diatur dalam pasal 59 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 35/2014 tentangn Perlindungan Anak. “Dalam aturan itu perlindungan khusus untuk anak dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, pengobatan, perawatan dan rehabilitasi,” ucapnya.
Selain itu, tertulis pula perlindungan diberikan melalui bantuan sosial dan pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan. KPPPA sendiri turut terlibat untuk mengefektifkan upaya perlindungan anak melalui kegiatan pemantauan, evaluasi, serta pelaporan.
Baca juga : Berjuang Melawan Diskriminasi
Ia menjelaskan, setelah fungsi Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dicabut oleh pemerintah pada 2017, wewenang penanganan HIV/AIDS kembali ke masing-masing kementerian/ lembaga yang terkait. Fungsi pengawasan bisa dilakukan KPAI dan KPPPA. Sementara itu, fungsi pencegahan oleh KPPPA, Kemkes, dan Kemsos; fungsi pengobatan oleh Kemkes dan Dinas Kesehatan; serta fungsi perawatan dan rehabilitasi oleh Kemkes dan Kemsos.
Komisioner Bidang Kesehatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty mengimbau, meskipun KPAN telah dibubarkan, pemerintah perlu memastikan hak-hak anak dengan HIV/AIDS tetap terpenuhi. Semua pihak perlu bekerjasama dan berkoordinasi secara intensif agar perlindungan pada ADHA bisa berlanjut.
“Setidaknya, pastikan 10 hak anak yang disepakati dalam konvensi hak-hak anak oleh negara PBB terpenuhi. Hak ini antara lain, hak untuk bermain, hak mendapat pendidikan, hak mendapatkan perlindungan, hak atas akses kesehatan, hak atas rekreasi, serta hak mendapatkan kesamaan. Negara wajib hadir memenuhi hak tersebut,” katanya.