Berjuang Melawan Diskriminasi
Pada suatu malam, dua lelaki datang ke rumah penampungan House of Love Huria Kristen Batak Protestan di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. P (3), anak dengan HIV/AIDS yang diasuh di House of Love, memeluk kaki mereka dengan riang sebagai ungkapan rasa senangnya atas kedatangan tetangganya tersebut.
Namun, si lelaki mengempaskan P dari kakinya. P menangis histeris. Lima anak lain yang juga diasuh di situ ikut menangis. ”Pergi kalian dari sini. Kalian pembawa sial. Pergi ke keluarga kalian saja,” kata lelaki itu.
Diakones Enni Simanjuntak dan Elisabeth Sihombing, pengasuh anak dengan HIV/AIDS atau ADHA di House of Love HKBP, menuturkan kisah itu dengan wajah sedih, Selasa (16/7/2019). Penolakan itu terjadi beberapa bulan lalu. ”Kisah ini hanya satu dari banyak diskriminasi yang dialami anak-anak,” kata Enni.
House of Love HKBP yang berdiri pada 2015 mengasuh bocah-bocah yatim piatu dengan HIV/AIDS. Enam anak berusia 3-15 tahun itu juga mendapat perawatan dari Rumah Sakit HKBP Nainggolan. ADHA dari berbagai latar belakang ini kehilangan orangtua karena HIV/AIDS.
Selasa siang itu, setelah selesai sekolah di rumah (home schooling), anak-anak asyik dengan aktivitas masing-masing. PL (12) bermain gitar plastik kecil sambil bernyanyi, A (11) dan ST (11) menonton film kartun di laptop. SS (7) beristirahat di kamarnya. Adapun B (15) giliran masak untuk makan siang. Anak paling kecil, P, tidur pulas di gendongan Enni.
Anak-anak itu lalu bersiap untuk makan siang. Mereka mengelilingi meja makan kecil, lalu berdoa bersama. Mereka meminta agar Tuhan selalu menyertai mereka dengan cinta kasih.
Sukacita ADHA itu seakan hilang di luar rumah penampungan House of Love. Anak-anak menghadapi diskriminasi di lingkungan masyarakat, sekolah, dan keluarga. Beberapa warung melarang mereka jajan. Ada warga sekitar yang melarang anaknya bermain dengan ADHA.
Di lingkungan sekolah, anak-anak itu juga mengalami diskriminasi. Tahun lalu, SS ditolak bersekolah di taman kanak-kanak. ST dan PL ditolak dari SD negeri. Mereka hanya bersekolah dua hari, lalu diminta pulang. Orangtua siswa lainnya mendesak agar sekolah mengeluarkan mereka karena takut anaknya tertular.
Jauh sebelum diskriminasi di sekolah dan di lingkungan sekitar, anak-anak dengan HIV/AIDS itu ditolak kerabat setelah ayah dan ibu mereka meninggal. House of Love pun kini menjadi keluarga sekaligus asa baru bagi mereka.
Anak-anak memanggil ”mama” kepada pengasuh. Enni dan Elisabeth juga memanggil mereka ”anak”. Enam ADHA itu sudah seperti kakak-beradik.
Teman baru
Sekitar 2.400 kilometer dari Samosir, tepatnya di Solo, Jawa Tengah, M (11) tersenyum saat tiba di rumah singgah ADHA yang dikelola Yayasan Lentera, sepulang sekolah, Kamis (18/7) siang. Raut lelah di wajah murid kelas V salah satu SDN di Solo itu seakan sirna saat melihat teman-teman sesama ADHA bermain di halaman. Ekspresi ceria terpancar di sorot matanya. Gadis kecil itu ingin bergabung main.
”Saya sekarang sudah punya 12 teman (di sekolah) yang baru,” ujarnya malu-malu. M dan 13 ADHA di Yayasan Lentera, lembaga swadaya masyarakat yang mengasuh ADHA, telah bersekolah kembali setelah pindah dari sebuah SD negeri di Solo. Mereka terpaksa pindah karena orangtua siswa lain ”menolak” anak-anak itu, Februari lalu.
Selama sekitar dua minggu tidak bersekolah, kegiatan sehari-hari di rumah singgah diisi dengan bermain dan belajar. Beberapa guru dari SD lama yang berempati datang untuk mengajar agar mereka tidak tertinggal pelajaran. Ada pula sukarelawan mahasiswa yang mendampingi anak-anak belajar.
Bukan perkara mudah bagi mereka untuk pindah sekolah dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Karena itu, anak-anak mendapatkan pendampingan dari sukarelawan dan pengasuh.
Bagi ADHA, status kesehatan mereka sejatinya bukan penghalang untuk berprestasi dan berkarya. Justru diskriminasi masyarakat yang menjadi tembok penghalang. Semua kerap dilawan dalam diam karena mereka takut dikucilkan.
A (16), salah seorang ADHA di Bandung, Jawa Barat, tidak ambil pusing dengan status kesehatannya. Tak jauh berbeda dengan anak sebayanya, dia senang berolahraga. ”Saya ingin menjadi pemain futsal profesional, bermain di tim nasional seperti Kang Andrew ’The Tractor’. Posisi saya di tim sebagai pivot, sama seperti dia,” katanya bersemangat.
”The Tractor” yang disebutkan A tak lain Andri Kustiawan. Adapun pivot merupakan posisi sentral di lini serang. Terlepas dari bakat dan kemampuannya, A belum mau mengungkap status kesehatannya. Dia khawatir mendapat perlakuan berbeda. A memilih tak membahas kondisinya ke sahabat-sahabatnya. Pihak sekolah pun tak diberi tahu.
”Kalau sudah berprestasi, baru saya ungkap bahwa saya positif HIV. Dengan begitu, orang tahu, seorang positif HIV/AIDS juga bisa membuat bangga bangsa dengan prestasi,” ujarnya. (NSA/RWN/RTG)