Panen Raya, Harga Kopi di Tingkat Petani Anjlok Tajam
›
Panen Raya, Harga Kopi di...
Iklan
Panen Raya, Harga Kopi di Tingkat Petani Anjlok Tajam
Harga komoditas kopi anjlok di beberapa daerah di Sumatera Selatan. Penurunan ini diduga karena ada permainan di pasar, terutama ulah spekulan. Sejumlah upaya dilakukan, salah satunya segera menerapkan sistem resi gudang sehingga petani memperoleh harga yang lebih baik.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PAGAR ALAM, KOMPAS — Harga komoditas kopi anjlok di beberapa daerah di Sumatera Selatan. Penurunan ini diduga karena ada permainan di pasar, terutama ulah spekulan. Sejumlah upaya dilakukan, salah satunya segera menerapkan sistem resi gudang sehingga petani memperoleh harga yang lebih baik.
Petani kopi di wilayah Dempo Selatan, Kota Pagar Alam Sumsel, Dedi Stanza, Senin (22/7/2019), menerangkan, harga kopi saat ini anjlok pada angka Rp 18.000 per kilogram, lebih rendah dibandingkan dengan harga pada masa panen tahun lalu pada kisaran Rp 20.000-Rp 22.000 per kilogram.
Rendahnya harga kopi di Sumsel dinilai janggal. Mengacu pada harga di Lampung yang masih pada kisaran Rp 24.000 per kg, harga di Sumsel tidak akan jauh berbeda. ”Biasanya selisih harga kopi Lampung dan Sumsel hanya Rp 3.000 per kilogram. Itu tentu untuk biaya transportasi ke arah Lampung,” katanya.
Dedi mengungkapkan, rendahnya harga kopi kerap terjadi di beberapa momen, seperti pada hari raya Idul Fitri dan tahun ajaran baru. ”Kejadian ini selalu terulang setiap tahun, tetapi tidak ada tindakan signifikan,” katanya.
Biasanya selisih harga kopi Lampung dan Sumsel hanya Rp 3.000 per kilogram. Itu tentu untuk biaya transportasi ke arah Lampung.
Untuk itu, Dedi memutuskan tidak menjual kopinya hingga harga membaik. ”Saya baru akan menjual kopi tersebut saat harga kopi di atas Rp 20.000 per kg,” katanya.
Hal serupa terjadi di Empat Lawang, harga kopi di kawasan tersebut berkisar Rp 17.000-Rp 18.000 per kg. ”Harga kopi terpuruk sekali, tetapi saya harus jual karena kebutuhan,” kata Wawan (50), petani kopi di Empat Lawang.
Menurut dia, harga tersebut sangatlah tidak ideal karena biasanya harga 1 kilogram kopi bisa mencapai 2 kg beras.
Selain harga kopi yang rendah, lanjut Wawan, produksi lahan kopi juga kurang baik karena permasalahan cuaca. ”Biasanya 1 hektar lahan bisa sampai 800 kilogram. Sekarang, karena masalah cuaca, produksi kopi hanya 600 kg per hektar,” katanya.
Ketua Dewan Kopi Sumatera Selatan Zain Ismed mengatakan, rendahnya harga kopi disebabkan saat ini sedang memasuki masa panen raya yang akan mencapai puncaknya pada Agustus.
”Peluang ini dimanfaatkan oleh spekulan untuk mengambil keuntungan besar,” katanya. Mereka mematok harga rendah, dengan alasan pasokan kopi masih tinggi. Petani pun terpaksa menjual hasil panen karena terbentur kebutuhan.
Kondisi pasar global
Zain menerangkan, harga kopi Sumsel juga sangat bergantung pada kondisi pasar global. Di beberapa negara sentra produksi kopi, seperti Vietnam dan Brasil, kemungkinan juga panen, kemungkinan kebutuhan pasar tercukupi.
Berbeda dengan tahun lalu, produksi kopi di Brasil kurang baik sehingga kopi dari Indonesia jadi sasaran sejumlah negara penyerap kopi.
Menurut dia, harga akan kembali membaik tiga bulan setelah panen raya, yakni pada November. Untuk itu, petani hendaknya menahan untuk menjual hasil panen kopi sampai harga membaik.
Meski demikian, hal itu cukup sulit dilakukan karena sebagian besar petani terbentur dengan kebutuhan hidup sehari-hari. ”Petani biasanya menjual kopinya segera untuk mendapatkan uang segera,” katanya.
Untuk itu, sejumlah upaya telah dilakukan, salah satunya dengan sistem resi gudang. Sistem ini adalah dengan menyimpan komoditas di gudang sampai harga komoditas membaik.
”Sebenarnya di Kota Pagar Alam sudah ada fasilitas resi gudang, tetapi belum ada pengelolaannya. Ini membutuhkan peran dari semua pihak, terutama pemerintah daerah,” katanya.
Dengan penyimpanan tersebut, petani bisa mendapatkan surat berupa sertifikat bukti penyimpanan dan itu bisa diagunkan ke bank jika diperlukan. ”Kerja sama dengan perbankan juga sudah terjalin,” katanya.
Sebenarnya di Kota Pagar Alam sudah ada fasilitas resi gudang, tetapi belum ada pengelolaannya. Ini membutuhkan peran dari semua pihak, terutama pemerintah daerah.
Namun, ungkap Zain, memang dibutuhkan sosialisasi lebih intensif untuk membangun kesadaran kepada petani mengenai keuntungan sistem resi gudang.
Selain itu, ujar Zain, pihaknya juga berupaya mencari pasar ekspor lain untuk memperbaiki harga di tingkat petani.
Beberapa negara yang diincar adalah Korea Selatan, Maroko, dan Inggris. ”Namun, sebelum mengisi celah pasar global, kualitas kopi Sumsel harus diperbaiki terlebih dulu,” katanya.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian mengungkapkan, pemerintah sebenarnya mendorong pelaksanaan sistem resi gudang. Rudi menyarankan agar segera dibentuk koperasi yang di dalamnya diperkuat oleh orang-orang yang mengerti pelaksanaan resi gudang, termasuk sistem pemasaran. ”Kami siap untuk memberikan rekomendasi,” ucapnya.
Kami siap untuk memberikan rekomendasi.
Di sisi lain, Rudi berharap agar penyerapan kopi untuk keperluan domestik diperkuat agar tidak terlalu bergantung pada pasar ekspor. Mengutip buku Sumatera Selatan Dalam Angka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, produksi kopi pada tahun 2017 mencapai 144.576 ton dari luas lahan 250.923 hektar.
”Saat ini penyerapan kopi untuk kebutuhan domestik hanya 30 persen. Perlu ditingkatkan menjadi 50 persen sehingga petani memiliki posisi tawar yang lebih kuat,” katanya.