Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan perlu mengkaji ulang pengelolaan Register 45, Kabupaten Mesuji, Lampung. Rentetan bentrok antarmasyarakat yang terjadi di kawasan itu menjadi indikasi bahwa pola kemitraan tidak berjalan dengan baik.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan perlu mengkaji ulang pengelolaan Register 45, Kabupaten Mesuji, Lampung. Rentetan bentrok antarmasyarakat yang terjadi di kawasan itu menjadi indikasi bahwa pola kemitraan tidak berjalan dengan baik.
“Pemerintah pusat semestinya segera mengkaji ulang pengelolaan Register 45 oleh perusahaan. Pemerintah pusat semestinya dapat mengambil alih pengelolaan hutan dan memberi akses pada masyarakat untuk mengelola kawasan itu melalui skema perhutanan sosial tanpa melibatkan perusahaan,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Lampung Ifran Tri Musri, Senin (22/7/2019), di Bandar Lampung.
Kawasan Register 45 merupakan hutan tanaman industri di bawah pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan. Saat ini, izin Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) dipegang PT Silva Inhutani Lampung (SIL) seluas 42.762 hektar. Kawasan Register 45 yang semestinya ditanami kayu lebih didominasi kebun singkong.
Sebelumnya diberitakan, bentrokan terjadi antar dua kelompok di Register 45 membuat 3 orang meninggal dan 10 orang lainnya terluka, pada Rabu (17/7/2019). Bentrok dipicu perebutan lahan.
Irfan menilai, bentrok yang terus berulang menjadi indikasi bahwa kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat di Register 45 tidak berjalan dengan baik. Dari hasil kajian, perusahaan hanya mampu mengelola sekitar 12.000 – 17.000 hektar lahan. Artinya, ada lebih dari 25.000 hektar kawasan hutan yang belum dikelola dengan baik.
Pemerintah pusat semestinya dapat mengambil alih pengelolaan hutan dan memberi akses pada masyarakat untuk mengelola kawasan itu melalui skema perhutanan sosial tanpa melibatkan perusahaan. (Irfan Tri Musri)
Selain itu, rekam jejak PT SIL dalam mengelola Register 45 tidak mulus. Pemerintah pusat pernah mencabut izin HPHTI PT SIL pada 2002. Perusahaan itu dinilai tidak layak melaksanakan kegiatan pembangunan hutan tanaman industri dan tidak pernah menyerahkan rencana kerja. Sayangnya, dua tahun kemudian, pemerintah justru kembali memberi izin HPHTI pada PT SIL untuk mengelola Register 45 seluas 42.762 ha.
Catatan Kompas, selama kurun waktu 2015-2019, konflik di Register 45 menimbulkan enam korban meninggal. Jika ditelusuri lebih jauh, sangat mungkin jumlah korban meninggal lebih banyak karena ada beberapa peristiwa bentrok yang tidak muncul ke permukaan.
Evaluasi
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK Bambang Hendroyono, saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu, menjelaskan, selama ini pihaknya telah berupaya memfasilitasi kerja sama antara perusahaan dan masyarakat melalui program kemitraan. Hingga 2017, sedikitnya ada tujuh kelompok mitra yang terbentuk dengan anggota 2.523 keluarga dan luas 9.049 hektar yang dikelola.
Pascainsiden bentrok, pihaknya segera mengevaluasi pola kemitraan kehutanan antara perusahaan dan masyarakat. “Ini tentu menjadi catatan bagi kami untuk melakukan pengawasan,” ujar Bambang.
Ditanya terkait kewajiban perusahaan, Bambang menjelaskan, PT SIL sebagai pemegang izin HPHTI memiliki tiga aspek kewajiban, yakni produksi, lingkungan, dan sosial. Berdasarkan hasil kajian KLHK, kata Bambang, PT SIL telah melaksanakan konservasi di kawasan lindung minimal sepuluh persen dari luas kawasan. Tanaman kayu yang ditanam, antara lain albasia dan karet.
Saat ini, memang belum seluruh masyarakat sepakat bermitra. Pemerintah akan terus mendorong agar masyarakat memahami skema kemitraan tersebut.
Sebelumnya, Tisnanta, pengamat hukum Universitas Lampung yang juga anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Mesuji, menilai, pola kemitraan yang tidak berjalan baik bisa memicu konflik di Register 45. Tidak adanya batas areal yang jelas memicu perebutan lahan antarkelompok. Kelompok paling kuat yang akan menguasai lahan paling luas.
Menurut dia, ada pembiaran pemerintah terhadap nasib puluhan ribu petani di Register 45. Akar permasalahan terkait tata kelola kehutanan tidak dibenahi. Akibatnya, konflik berdarah dipicu aksi premanisme selalu berulang.
Untuk itu, diperlukan kebijakan tegas pemerintah, pemda, dan kepolisian untuk menyudahi konflik itu. Perusahaan pemegang izin juga harus bertanggung jawab.