Perlu Perlindungan Sosial yang Sistematis dan Berkelanjutan
›
Perlu Perlindungan Sosial yang...
Iklan
Perlu Perlindungan Sosial yang Sistematis dan Berkelanjutan
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perlindungan sosial diperlukan untuk anak dengan HIV/AIDS. Anak-anak ini tidak hanya rentan pada kondisi kesehatan, namun juga ekonomi, kurangnya kasih sayang dan perhatian, akses pendidikan layak, stigma dan diskriminasi, serta kekerasan dan pengabaian. Untuk itu, perlindungan yang diberikan harus dipastikan berjalan secara sistematis dan berkelanjutan.
Pekerja kemanusiaan bidang penanggulangan HIV/AIDS, seksualitas, dan narkoba, Baby Jim Aditya di Jakarta, Senin (22/7/2019) menyampaikan, penanganan untuk anak dengan HIV/AIDS (ADHA) perlu dilakukan secara komprehensif. Pemenuhan kebutuhan tidak bisa diberikan secara parsial, melainkan harus menyeluruh.
“Kebutuhan ADHA kompleks. Tidak hanya butuh obat, namun juga pemenuhan gizi, layanan kesehatan, pendidikan, psikososial, serta pendampingan dan pengasuhan yang tepat. Kebutuhan itu tidak bisa diberikan terpisah, tidak bisa sendiri-sendiri. Butuh upaya perlindungan yang sistematis,” ujarnya.
Dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak tertulis, setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh bekembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Setiap anak juga berhak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Negara wajib untuk memastikan setiap anak menerima hak tersebut dengan baik, termasuk bagi anak dengan HIV/AIDS. Namun kenyataannya, masih banyak ADHA yang tidak mendapatkan hak-hak tersebut. Stigma dan diskriminasi yang tinggi di masyarakat membuat akses anak pada layanan kesehatan dan layanan pendidikan, serta kehidupan sosial lainnya terhambat.
Baby berpendapat, pemerintah perlu memperkuat perlindungan sosial bagi ADHA. Perlindungan sosial ini bisa membantu mengatasi hambatan terhadap berbagai akses terhadap layanan sosial yang dibutuhkan.
Namun, dia menambahkan, koordinasi antarpihak yang berwenang, baik oleh swasta dan pemerintah harus berjalan dengan baik. Perwujudan perlindungan sosial ini harus menjadi konsen bersama agar dapat berjalan secara berkelanjutan.
“Setelah KPAN (Komisi Penanggulangan Aids Nasional) dibubarkan, koordinasi antarkementerian dan lembaga harus dipastikan tetap berjalan. Peran koordinator sebenarnya sangat penting untuk memastikan penanggulangan HIV/AIDS optimal dilakukan,” katanya.
Ditemui terpisah, Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (Puskapa), Santi Kusumaningrum menuturkan, fokus lain yang juga harus diperhatikan dalam pemenuhan hak anak adalah penguatan kapasistas keluarga ataupun pengasuh dari ADHA. Penguatan ini bisa dilakukan dengan peningkatan keterampilan dalam mengasuh. Pemerintah pun bisa secara langsung membantu menyediakan kebutuhan ekonomi dan psikososial yang dibutuhkan oleh keluarga ADHA.
Menurut dia, penanganan HIV/AIDS tidak bisa dilakukan pada ranah kesehatan saja. Jika begitu, dukungan dari sektor nonkesehatan tidak maksimal. Pemerintah daerah pun punya peran besar untuk bisa mengalokasikan anggaran daerahnya dalam menanggulangi HIV/AIDS, termasuk memastikan pemberian jaminan bagi ADHA.
“Hal lain yang tak kalah penting adalah sosialisasi dan edukasi terkait HIV/AIDS. Stigma dan diskriminasi masih tinggi karena pemahaman masyarakat yang belum terbentuk. Edukasi ini harus diberikan secara terus menerus, bisa melalui kurikulum pendidikan ataupun penyuluhan rutin lainnya,” ucapnya.
Data
Baby mengatakan, minimnya data yang dimiliki pemangku kepentingan menjadi kendala lain yang saat ini masih ditemui dalam penanganan ADHA. Ketakutan akan diskriminasi dan stigma, bahkan oleh tenaga kesehatan, membuat orang dengan HIV/AIDS tidak berani mengungkapkan status kesehatannya. Mereka memilih untuk bungkam daripada status kesehatanya diketahui oleh orang lain.
Apabila status HIV/AIDS yang dimiliki tidak terdata, bantuan dan dukungan yang dibutuhkan tidak bisa diterima. Orang dengan HIV/AIDS terutama usia anak rentan mengalami berbagai infeksi jika kesehatan dan kondisi lingkungannya tidak mendukung. Obat antiretroviral (ARV) yang bermanfaat menekan virus HIV juga tidak bisa diperoleh. Akibatnya, usia harapan hidup yang dimiliki menurun.
“Ketakutan untuk membuka status kesehatan ini juga ditemui saat akan dilakukannya tes HIV/AIDS. Orang tidak mau melakukan tes karena takut jika dirinya terdeteksi positif HIV. Padahal, kalau status ini tidak terdeteksi dan tidak segera diobati, saat ia (perempuan) hamil, anaknya bisa tertular HIV juga,” tutur Baby.