Sudahkah Hak Anak atas ASI Terpenuhi?
Anak adalah titipan Tuhan kepada orangtuanya. Kalimat itu begitu mengena terutama di masa awal kehidupan anak. Apakah seorang anak bisa mendapatkan ASI membutuhkan komitmen kedua orangtuanya. Mempertanyakan pemenuhan salah satu hak anak ini tepat saat bangsa ini akan menyambut peringatan Hari Anak Nasional esok hari, 23 Juli 2019. Apalagi, tahun ini dipilih tema ”Peran Keluarga dalam Perlindungan Anak”.
Optimalisasi pemberian air susu ibu (ASI) sebagai hak anak mendapatkan perlindungan utama dan paling awal dalam masa kehidupannya menjadi semangat yang kembali didengungkan di berbagai belahan dunia. Sejumlah kesepakatan global mendukung hak anak memperoleh ASI termasuk memastikan fasilitas umum memungkinkan ibu untuk menyusui dan memerah ASI. Namun, kenyataannya pemenuhan hak anak yang sangat penting bagi kesehatan di masa depan ini belum tercapai.
Pemberian ASI pada bayi mempunyai banyak manfaat. Pemberian ASI dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi, mengoptimalkan pertumbuhan, serta membantu perkembangan kecerdasan anak. Bagi ibu, usahanya memberikan ASI membantu memperpanjang jarak kehamilan, mengurangi potensi kanker payudara dan ovarium, serta meningkatkan ikatan ibu dan bayi.
Di seluruh dunia, sekitar 7,6 juta bayi setiap tahun tidak disusui.
Namun, menurut laporan Unicef tahun 2018, bayi yang kehilangan haknya memperoleh ASI masih tinggi, terutama di negara-negara terkaya di dunia. Di seluruh dunia, sekitar 7,6 juta bayi setiap tahun tidak disusui. Di negara-negara berpenghasilan tinggi ada sekitar 21 persen bayi yang tidak pernah disusui.
Dari 2,6 juta bayi yang tidak pernah disusui di kelompok negara kaya itu, lebih dari sepertiga di antaranya disumbang oleh Amerika Serikat. Sebaliknya, angka bayi yang tidak disusui di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah hanya 4 persen.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut data Profil Anak Indonesia 2018, yang merupakan laporan hasil kerja sama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Badan Pusat Statistis, kondisinya lebih baik. Pada bayi kelompok usia di bawah dua tahun (baduta), sekitar 95 persen bayi pernah diberi ASI dengan rata-rata selama 10,41 bulan.
Angka-angka itu menjadi lebih tinggi di perdesaan daripada perkotaan. Perbandingannya 95,64 persen (perdesaan) dengan 93,60 persen (perkotaan) untuk bayi yang pernah diberi ASI sementara lama pemberiannya 10,57 bulan (perdesaan) dan 10,26 bulan (perkotaan).
Namun, masih ada persoalan besar terkait dengan pemberian ASI eksklusif yang angkanya baru sekitar 55,96 persen. Eksklusivitas ASI mensyaratkan bayi hanya mengonsumsi ASI tanpa makanan dan minuman tambahan selama enam bulan pertama sejak lahir.
Pada kelompok bayi baduta saja rata-rata bayi memperolah ASI eksklusif adalah selama 4,32 bulan. Sementara rata-rata lama pemberian ASI dengan makanan pendamping relatif lebih tinggi di daerah perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, yaitu 6,28 bulan berbanding 5,92 bulan.
Namun, masih ada persoalan besar terkait dengan pemberian ASI eksklusif yang angkanya baru sekitar 55,96 persen.
Data itu tidak berbeda jauh dengan pengakuan responden jajak pendapat Litbang Kompas yang tinggal di perkotaan. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 10-11 Juli 2019 pun menunjukkan responden yang memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama sejak bayi dilahirkan mencapai 63 persen. Sebanyak 9 persen mengaku hanya memberikan ASI eksklusif di usia 3 bulan pertama. Adapun 7,6 persen memberikan ASI eksklusif hingga 5 bulan pertama.
Gaya hidup perkotaan yang serba menuntut kemudahan dan kepraktisan ditengarai sebagai salah satu penyebab lebih rendahnya jumlah bayi yang mendapatkan ASI eksklusif di perkotaan. Selain membangun kesadaran terhadap para ibu akan hak anak untuk memperoleh ASI di masa awal kehidupannya, dukungan legislasi dari pemerintah, keluarga, perusahaan tempat bekerja, dan pihak lainnya menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kesuksesan pemberian ASI.
Legislasi pendukung
Berbagai pengakuan atau kesepakatan baik yang bersifat global maupun nasional yang bertujuan melindungi, mempromosikan, dan mendukung pemberian ASI eksklusif supaya bayi di seluruh dunia mendapatkan haknya sejak dilahirkan telah lama hadir, tetapi belum diterapkan secara optimal.
Terbukti sebanyak 57 persen responden dalam jajak pendapat Kompas menegaskan fasilitas ruang menyusui atau memerah ASI juga belum memadai. Hanya 32 persen responden yang menilai fasilitas ruang menyusui dan atau memerah ASI di berbagai fasilitas umum sudah memadai.
Salah satu konvensi dunia terkait dengan pemberian ASI, yakni Convention on the Rights of the Child atau Konvensi Hak Anak yang melibatkan 19 negara, menyatakan bahwa hak anak untuk mendapat standar kesehatan tertinggi dapat terpenuhi jika pemerintah memastikan penyediaan makanan bergizi dan orangtua serta anak memperoleh informasi yang cukup tentang nutrisi dan manfaat pemberian ASI.
Konvensi ini diratifikasi Pemerintah Indonesia pada 1990 dan menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalamnya tercantum kewajiban serta tanggung jawab negara dan pemerintah untuk memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak, salah satunya ruang menyusui. Khusus untuk ibu menyusui yang kembali bekerja, melalui UU No 13/2003 Pasal 83, negara menjamin adanya kesempatan untuk menyusui anak termasuk selama waktu kerja.
Hak anak mendapatkan ASI ditegaskan dalam UU No 36/2009 Pasal 128 yang menyatakan setiap bayi berhak mendapatkan ASI eksklusif. ASI eksklusif diberikan sejak dilahirkan selama 6 bulan diwajibkannya untuk seluruh lapisan masyarakat kecuali atas indikasi medis. Pihak keluarga, pemerintah pusat dan daerah, serta publik disebut wajib mendukung ibu menyusui secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus menyusui di tempat kerja dan tempat sarana umum.
Terbukti sebanyak 57 persen responden dalam jajak pendapat Kompas menegaskan fasilitas ruang menyusui atau memerah ASI juga belum memadai.
Namun, dukungan berupa legislasi ternyata tidak cukup. UU No 36/2009 juga mengatur sanksi bagi setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian ASI eksklusif dipidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta. Bahkan, jika pelakunya adalah korporasi ditambah ancaman sanksi pencabutan izin usaha dan atau pencabutan status badan hukum. Meski demikian, kendala masih dihadapi para ibu ini.
Pada kenyataannya, para ibu masih menemui kendala di lingkungan pekerjaannya, seperti cuti bersalin hanya dimungkinkan bagi pekerja formal atau tenaga kontrak. Sebagian ibu tidak mengambil cuti bersalinnya karena khawatir upah yang diterima akan dikurangi atau kehilangan pekerjaannya selama menjalankan cuti. Tempat penitipan anak di lingkungan tempat bekerja juga belum banyak tersedia. Kalaupun ada, belum didukung biaya yang terjangkau dan ketersediaan moda transportasi yang aman dan nyaman untuk membawa bayinya.
Dukungan lingkungan
Selain jaminan perlindungan dari negara yang tetap harus ditegakkan dan disosialisasikan kepada semua pihak, keberhasilan pemenuhan hak anak atas ASI juga ditentukan oleh dukungan pada sosok ibu. Menurut responden jajak pendapat Kompas, sejumlah penyebab membuat pemberian ASI eksklusif gagal.
Sebanyak 39 persen responden menilai kesibukan membuat ibu menjadi kurang waktu untuk menyusui. Sementara 26 persen responden menilai kurangnya gizi dari makanan yang dikonsumsi ibu menjadi penyebab kegagalan memberikan ASI eksklusif. Sementara 18 persen responden menilai produksi ASI yang memang sangat sedikit atau tidak keluar sama sekali menjadi penyebab.
Padahal, dengan pendampingan terhadap ibu yang baru melahirkan, berbagai masalah terkait dengan manajemen waktu memberikan ASI, gizi ibu saat menyusui, dan produksi ASI yang sedikit dapat diatasi. Hampir setiap ibu dapat menyusui asal mendapatkan informasi yang akurat, dukungan dari keluarga terutama suami, sistem perawatan kesehatan, dan dukungan masyarakat.
Pendampingan terhadap ibu yang baru melahirkan juga menjadi sangat penting agar terhindar dari masalah yang memengaruhi produksi ASI seperti baby blues. Baby blues merupakan kondisi di saat ibu mengalami postpartum blues atau postpartum distress syndrome.
Pada kondisi ini seorang ibu mengalami instabilitas emosional. Perasaan mudah menangis, mudah tersinggung, sedikit tertekan, dan mudah lelah menjadi beberapa gejala kecenderungan baby blues. Kondisi ini tidak saja mengganggu produksi ASI, tetapi juga kesehatan ibu dan bayi.
Seharusnya kita semua mendukung pemenuhan hak ini. Apalagi karena anak belum mampu memastikan haknya mendapat ASI terpenuhi.
Di tengah berbagai kendala itu, paparan dari pemasaran susu formula juga harus dapat ditolak ibu, tentu saja dengan dukungan keluarga dan tenaga medis. Tanpa dukungan itu, ibu akan mudah goyah sehingga beralih dari upaya memberikan ASI ke pemberian susu formula.
Apabila menyadari bahwa ASI adalah hak anak untuk kesehatannya di masa depannya, seharusnya kita semua mendukung pemenuhan hak ini. Apalagi karena anak belum mampu memastikan haknya mendapat ASI terpenuhi. (Susanti Agustina S/Litbang Kompas)