Badan Pusat Statistik pada pertengahan Juli 2019 merilis data tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia. Rasio gini, sebagai ukuran ketimpangan pengeluaran, sebesar 0,382 per Maret 2019.
Rasio gini memiliki ukuran 0-1. Semakin besar angkanya, atau mendekati 1, maka ketimpangan semakin dalam.
Rasio gini per Maret 2019 ini turun 0,002 dibandingkan dengan September 2018 yang sebesar 0,384. Jika dibandingkan secara tahunan, maka rasio gini tersebut turun 0,007 dibandingkan dengan Maret 2018 yang sebesar 0,389.
Dalam sesi tanya-jawab di Kantor BPS pada saat rilis data ketimpangan pengeluaran itu, muncul pertanyaan mengenai pengukuran ketimpangan di Indonesia yang selama ini berdasarkan data pengeluaran. Apakah mungkin mengukur ketimpangan di Indonesia dari sisi pendapatan?
Apalagi, ada asumsi, penduduk yang memiliki pendapatan Rp 20 juta per bulan bisa saja memiliki pengeluaran yang sama dengan penduduk dengan pendapatan Rp 5 juta per bulan. Hal itu bisa terjadi, karena penduduk yang berpenghasilan Rp 20 juta tersebut "terpaksa" mengurangi pengeluaran karena berbagai sebab. Atau, justru memiliki dan membatasi pengeluarannya pada daftar tertentu.
Menjawab pertanyaan itu, Kepala BPS Suhariyanto menekankan, idealnya rasio gini dihitung berdasarkan pendapatan. Akan tetapi, di BPS tidak memiliki data pendapatan yang pasti di Indonesia.
BPS sudah beberapa kali mencoba mengumpulkan data pendapatan di Indonesia. Namun, upaya itu ternyata tidak gampang. Hal ini, antara lain, karena masyarakat Indonesia risih saat ditanya mengenai pendapatannya. Orang akan berusaha menghindar, bahkan biasanya menjawab jumlah pendapatan berdasarkan nilai perkiraan. Untuk hal ini, BPS sudah membuat studinya.
Kondisi berbeda terjadi saat orang ditanya mengenai pengeluaran atau peruntukan pengeluarannya. Masyarakat jauh lebih terbuka ketika ditanya aspek terkait pengeluaran tersebut. Berkaitan dengan hal itu, dalam menghitung rasio gini, BPS hanya mengumpulkan data pengeluaran karena ada kesulitan mendapatkan data pendapatan.
Penurunan rasio gini tersebut, di satu sisi, menunjukkan ketimpangan pengeluaran yang semakin berkurang. Meskipun, di sisi lain, jika dibandingkan antara perkotaan dan perdesaan, masih ada kesenjangan lain terkait ketimpangan itu. Per Maret 2019, ketimpangan di perkotaan yang sebesar 0,392 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan yang sebesar 0,317.
Pengurangan ketimpangan perlu penanganan jangka panjang dan berkelanjutan. Segenap pemangku kepentingan mutlak bersinergi mengambil peran dalam mengikis kesenjangan. (C Anto Saptowalyono)