Pemerintah memerlukan ide dan gagasan dari generasi muda untuk menyusun strategi kebijakan jangka panjang. Pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia yang saat ini digalakkan harus bisa menjawab tantangan teknologi digital masa depan.
Oleh
karina isna irawan
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memerlukan ide dan gagasan dari generasi muda untuk menyusun strategi kebijakan jangka panjang. Pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia yang saat ini digalakkan harus bisa menjawab tantangan teknologi digital masa depan.
”Selama ini perencanaan disusun dari atas ke bawah. Kami ingin mendapatkan ide-ide dari generasi muda untuk menentukan apa sebaiknya untuk masa depan,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pembukaan Indonesia Development Forum 2019 di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Senin (22/7/2019).
Kalla mengatakan, pemerintah sudah menyusun rencana pendek, menengah, dan panjang untuk pembangunan nasional. Sebagian rencana sudah dieksekusi dalam program pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia. Berbagai pembangunan nasional ini harus sesuai dengan kebutuhan masa depan.
Ide-ide dari generasi muda akan mendukung rencana pembangunan nasional pada era teknologi digital. Kehadiran teknologi digital akan mengubah kehidupan dan perilaku masyarakat. Namun, arah kebijakan tetap mendukung program pembangunan berkelanjutan (SDGs), seperti kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan.
Ide-ide dari generasi muda akan mendukung rencana pembangunan nasional di era teknologi digital.
”Pemerintah ingin mendengarkan ide-ide untuk masa depan, bagaimana menyatukan apa yang dikerjakan hari ini dan juga baik untuk masa depan,” kata Kalla.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, rencana pembangunan ke depan difokuskan pada penciptaan kesempatan kerja berkualitas. Tujuannya, agar angka pengangguran tidak meningkat akibat teknologi digital yang berkembang pesat.
Studi McKinsey Global Institute di 46 negara tahun 2017 memprediksi, sekitar 50 persen aktivitas kerja yang secara total membuahkan upah hampir 15 triliun dollar AS berpotensi mengalami otomatisasi.
”Meskipun terjadi otomatisasi, beberapa jenis pekerjaan yang memiliki interaksi langsung dengan manusia tetap diperlukan. Indonesia akan memanfaatkan peluang itu,” kata Bambang.
Meskipun terjadi otomatisasi, beberapa jenis pekerjaan yang memiliki interaksi langsung dengan manusia tetap diperlukan.
Menurut Bambang, tantang terbesar Indonesia saat ini salah satunya pekerja sektor formal minim. Sekitar 60 persen penduduk bekerja di sektor informal dengan upah minim dan produktivitas rendah. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir hanya pada kisaran 5 persen.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, jumlah angkatan kerja pada Februari 2019 sebanyak 136,18 juta orang, sementara yang bekerja 129,36 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 74,08 juta orang bekerja di sektor informal serta sebagian besar berpendidikan SMP dan SD ke bawah.