JAKARTA, KOMPAS — Perempuan pekerja rumahan belum mendapatkan pengakuan sebagai tenaga kerja. Mereka bahkan belum terlindungi oleh regulasi ketenagakerjaan.
Akibatnya, para perempuan pekerja rumahan sulit mendapatkan hak-hak yang seharusnya didapatkan. Hak-hak itu antara lain upah lembur, hak cuti, jaminan sosial, serta tunjangan lainnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, pekerja rumahan seharunya masuk dalam kategori tenaga kerja. Dari definisi hubungan kerja pun pekerja rumahan memenuhi kriteria yang dituliskan, yaitu mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Untuk itu, pekerja rumahan harus mendapatkan hak atas upah layak dan jaminan sosial.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Gerakan Pekerja Perempuan: Tantangan Kerja Layak dan Perlindungan Sosial” di Jakarta, Selasa (23/7/2019). Narasumber dalam diskusi itu Peneliti Sumber Daya Manusia-Ketenagakerjaan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Andy Ahmad Zaelany dan Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo.
Andy mengatakan, kondisi pekerja rumahan yang mayoritas dijalankan oleh perempuan justru jauh dari pemenuhan hak yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Persoalan itu antara lain tidak ada perjanjian kerja secara tertulis, upah di bawah upah minimum kabupaten (UMK), serta tidak ada jaminan pekerjaan dan jaminan sosial.
Apabila perlindungan atas hak dasar belum tercapai, perlindungan lain yang bersifat personal dipastikan tidak terpenuhi. Hal itu seperti masalah pelecehan, pendidikan anak, dan masalah reproduksi.
”Sebagian besar perempuan pekerja rumahan pendapatannya tidak menentu karena dibayar per produk yang diselesaikan. Misalnya, pekerja rumahan pembordir baju, ia hanya dibayar Rp 300 per potong. Kalau sebulan hanya bisa menyelesaikan 1.000 bordir, berarti penghasilannya Rp 300.000 per bulan,” tutur Andy.
Persoalan lain yang sering dihadapi oleh pekerja rumahan antara lain perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja serta perlindungan maternal, seperti kehamilan, melahirkan, dan menyusui. Perempuan pekerja rumahan juga tidak jarang memiliki beban ganda karena harus mengasuh anak dan orangtua.
Wahyu Susilo berpendapat, isu pekerja rumahan belum mendapat pengakuan dari para pengambil kebijakan, pengusaha, serikat pekerja, dan masyarakat umum. Mereka seolah tidak tampak baik dalam hal representasi, kebijakan, ataupun program dari pemangku kepentingan.
Perempuan pekerja rumahan belum dapat perhatian khusus. Untuk itu, perlu adanya pengakuan atau rekognisi sebagai pekerja.
”Selama ini masih banyak persepsi bahwa pekerja rumahan adalah pekerja sambilan. Padahal, pekerjaan ini banyak yang menjadi pekerjaan utama mereka,” ucapnya.
Selama ini masih banyak persepsi bahwa pekerja rumahan adalah pekerja sambilan. Padahal, pekerjaan ini banyak yang menjadi pekerjaan utama mereka.
Selain itu, lanjut Wahyu, pendataan serta informasi tentang kondisi kerja mereka juga belum ada. Data ini dinilai penting untuk memperlihatkan besarnya jumlah perempuan pekerja rumahan sehingga intervensi yang diberikan pun bisa tepat sasaran.
Pekerja rumahan di Indonesia tersebar dan tidak terorganisasi. Kesadaran dan kemampuan untuk menegakkan hak-hak mereka pun masih kurang.
”Sementara lembaga swadaya masyarakat belum menjadikan pekerja rumahan sebagai prioritas yang perlu didukung.
Menurut Wahyu, pendataan menjadi kendala lain yang harus diatasi. Pemerintah harus segera melakukan pendataan sehingga bantuan dan perlindungan bisa lebih didorong.
”Mereka (perempuan pekerja rumahan) juga bisa diakui. Pekerja rumahan ini, kan, masuk dalam rantai pasok perusahaan sehingga berhak mendapatkan jaminan dan tunjangan sesuai perlindungan dalam undang-undang,” ujarnya.