Penanganan kesehatan bagi anak dengan HIV/AIDS tidak cukup hanya dengan memberikan obat dan layanan kesehatan. Mereka juga perlu pendampingan.
JAKARTA, KOMPAS —Pengobatan bagi anak dengan HIV/AIDS atau ADHA perlu disertai pendampingan dalam aspek psikososial serta lingkungan yang mendukung. Sinergi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat diperlukan agar ADHA dapat tumbuh berkembang secara optimal.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, pemerintah terus berupaya meningkatkan akses layanan kesehatan bagi ADHA. Obat antiretroviral (ARV) khusus anak, berupa sirup dan larutan, telah tersedia. Sebelumnya, ADHA diberi ARV berupa tablet yang dosisnya disesuaikan dengan berat badan anak.
Obat ARV merupakan terapi yang berguna untuk menekan laju perkembangan human immunodeficiency virus (HIV). Obat ini bisa bekerja optimal jika dikonsumsi dengan rutin setiap hari sesuai dosis. Jika terindikasi memiliki HIV, seseorang harus mengonsumsinya seumur hidup, termasuk mulai dari usia anak.
”Akses untuk mendapatkan obat ini juga sudah baik,” kata Nila, pekan lalu.
Kementerian Kesehatan mencatat, jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018 sebanyak 301.959 jiwa. Sejumlah 2.881 di antaranya ADHA.
Pada 2019, Kemenkes menganggarkan Rp 2,5 triliun untuk penanganan HIV/AIDS. Dari jumlah itu, sekitar Rp 1,1 triliun untuk pengadaan obat.
Kemenkes juga berupaya memperluas fasilitas dan akses kesehatan untuk penanganan HIV/AIDS. Sejumlah 7.093 puskesmas yang saat ini menerima pelayanan tes HIV akan diperkuat dengan layanan obat. Sampai 2018, puskesmas dan rumah sakit yang memberikan layanan obat ARV baru 993 unit di seluruh Indonesia.
Perlindungan
Ketua Kumpulan dengan Segala Aksi Kemanusiaan (Kuldesak) Hages Budiman menilai, dukungan pemerintah dalam pengadaan obat dan layanan kesehatan bagi orang dengan HIV/AIDS, termasuk untuk ADHA, kini lebih baik. Keluhan stok obat kosong dan kesulitan mengakses layanan pemeriksaan sudah tidak terjadi. Hanya, pengadaan obat di sejumlah daerah masih terkendala.
Secara terpisah, pekerja kemanusiaan bidang penanggulangan HIV/AIDS dan narkoba, Baby Jim Aditya, menyampaikan, penanganan untuk ADHA perlu dilakukan secara komprehensif. ”Kebutuhan ADHA kompleks. Tidak hanya butuh obat, tapi juga pemenuhan gizi, layanan kesehatan, pendidikan, psikososial, serta pendampingan dan pengasuhan yang tepat,” ujarnya, Senin (22/7/2019).
Penanganan ADHA juga membutuhkan peran aktif pemerintah daerah. Komitmen dan keberpihakan pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran bagi ADHA turut menentukan keberhasilan penanganan ADHA.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, misalnya, menerbitkan Peraturan Wali Kota Surabaya No 29/2015 tentang Penanggulangan HIV/AIDS. Berdasarkan peraturan itu, orang dengan HIV/AIDS atau ODHA diberikan sejumlah perlakuan khusus untuk meningkatkan kualitas hidup. ODHA usia produktif direkrut sebagai tenaga honorer dan diberi tempat tinggal. Selain memberikan bantuan Rp 1 juta per bulan, ADHA juga diberikan pendidikan dan keterampilan di Kampung Anak Negeri Kalijudan.
Di Papua, minimnya anggaran daerah berdampak pada kegiatan sosialisasi dan perawatan ODHA yang belum optimal. Kepala Seksi AIDS, TBC, dan Malaria Dinas Kesehatan Provinsi Papua Beri Wopari mengungkapkan, anggaran untuk sosialisasi HIV/AIDS dan pendistribusian obat ARV ke semua wilayah di Papua tahun ini hanya Rp 190 juta. Jumlah itu tidak mencukupi untuk penanganan bagi 40.805 ODHA.
Isu layanan kesehatan bagi ADHA juga mengemuka menjelang pembukaan International AIDS Society (IAS) Conference on HIV Science di Mexico City, Meksiko, Minggu (21/7) malam. Wartawan Kompas, Adhitya Ramadhan, dari Mexico City melaporkan, dari target 1,6 juta anak yang mengakses terapi ARV tahun 2018, baru tercapai 940.000 anak di bawah usia 14 tahun. Diperlukan usaha yang lebih untuk memperluas layanan bagi ADHA.