Persoalan Utama Properti Ada di Segmen Menengah
JAKARTA, KOMPAS -- Proyek baru hunian segmen atas berpotensi tumbuh seiring kebijakan relaksasi pajak untuk properti hunian mewah. Namun, dampaknya kurang berpengaruh untuk menggerakkan pasar properti karena hanya menargetkan rumah mewah yang porsinya kecil terhadap total properti.
Apalagi, persoalan utama terkait properti adalah kesulitan segmen konsumen kelas menengah untuk memiliki properti dengan harga terjangkau. Segmen ini merupakan kelompok konsumen terbesar dengan harga hunian yang disasar Rp 500 juta-Rp 2 miliar per unit.
Sampai dengan 2022, diperkirakan ada pasokan 248.790 unit apartemen di Jakarta. Dari jumlah itu, pasokan baru apartemen mewah dengan harga Rp 10 miliar-Rp 30 miliar untuk segmen menengah ke atas hanya sebanyak 999 unit atau 0,4 persen dari jumlah pasokan.
”Dampak dari insentif fiskal tidak luas. Komsumen properti mewah tidak banyak dan suplai hunian juga tidak banyak. Kebijakan itu sulit berdampak luas terhadap sektor properti,” kata Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto di Jakarta, Senin (22/7/2019).
Ferry menyampaikan, insentif fiskal diharapkan membangkitkan pasar hunian. Kendati dampaknya kecil, namun insentif fiskal bisa memberi sentimen positif bahwa pemerintah mendorong sektor properti untuk berkinerja lebih baik.
Menengah
Director Advisory Services Colliers International Indonesia Monika Koesnovagril menyatakan, insentif fiskal belum menyentuh akar persoalan properti. Permintaan properti terbesar saat ini dari konsumen segmen menengah dengan harga berkisar Rp 500 juta-Rp 2 miliar per unit. Segmen pasar terbesar ini masih sulit menjangkau hunian karena terkendala suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) yang dinilai masih tinggi.
“Segmen kelas menengah properti selama ini paling terkendala dalam menjangkau hunian. Padahal, pasar segmen menengah memiliki persentase paling besar," ujarnya.
Ia menambahkan, perlu kemudahan dalam pembebasan lahan dan harga tanah untuk menjangkau kelas menengah. Disamping itu, suku bunga KPR mesti dilonggarkan.
Pemerintah memangkas tarif Pajak Penghasilan (PPh 22) hunian sangat mewah dari 5 persen menjadi 1 persen. Batasan nilai apartemen sangat mewah yang kena PPh 22 dinaikkan, dari semula di atas Rp 5 miliar menjadi lebih dari Rp 30 miliar atau luas bangunan lebih dari 150 meter persegi (m2), sedangkan untuk rumah tapak ditetapkan di atas Rp 30 miliar atau dengan luas lebih dari 400 m2.
Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.03/2019.
Selain itu, insentif juga diberikan dengan menaikkan batasan nilai hunian mewah kena Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) dari Rp 10 miliar menjadi Rp 30 miliar. Ketentuan itu diatur dalam PMK No 86/PMK.010/2019.
Berdasarkan kebijakan itu, pembelian properti mewah untuk harga Rp 10 miliar hingga di bawah Rp 30 miliar per unit dibebaskan dari PPnBM dan PPh 22, sehingga pajak pembelian hunian mewah seharga Rp 10 miliar-Rp 30 miliar yang semula 40 persen dari harga properti menjadi 12,5 persen.
Head of Research JLL James Taylor menyampaikan, aktivitas proyek pembangunan properti mewah tetap tumbuh meskipun pasarnya sangat terbatas. Beberapa pengembang lokal dan internasional saat ini sedang menggarap proyek kondominium mewah di Jakarta.
Pengembang asal Hongkong, Singapura dan Jepang, misalnya, dalam 2-3 tahun terakhir gencar menggarap proyek properti baru, meskipun pasar properti sedang melemah. Beberapa pengembang asing menggandeng pengembang lokal sebagai mitra.
Taylor berpendapat, revisi aturan pajak bagi properti mewah dan sangat mewah yang diterbitkan pemerintah akan menumbuhkan permintaan. Akan tetapi, kebijakan itu belum berdampak luas terhadap seluruh pasar properti.
Pasar apartemen mewah yang dipasarkan saat ini terdiri dari apartemen primer atau masih dalam tahap konstruksi serta apartemen yang sudah tersedia. PPnBM dan PPh22 hanya berlaku untuk apartemen primer. Adapun apartemen yang sudah ada atau tersedia masuk dalam kategori hunian sekunder.
Belum Optimal
Sementara itu, pasar sekunder hunian mewah diprediksi belum akan tumbuh dalam beberapa tahun mendatang. Suplai hunian segmen atas di pasar sekunder sangat terbatas, sedangkan pembeli masih cenderung menahan diri.
Dewan Kehormatan Asosiasi Real Estat Broker Indonesia (Arebi) Hartono Sarwono mengemukakan, pasar sekunder hunian mewah diprediksi masih akan minim karena permintaan yang sangat rendah. Pemilik juga cenderung menahan penjualan hunian mewah di tengah kondisi harga properti yang melemah dalam beberapa tahun terakhir.
“Dalam beberapa tahun mendatang, pasar sekunder hunian mewah diperkirakan belum akan naik. Harga properti segmen atas hampir tidak ada kenaikan, sehingga investor tidak tertarik,” ujarnya.
Dari sisi investasi, investor cenderung hanya akan membeli rumah mewah di pasar sekunder yang harganya sedang terkoreksi turun. Saat ini, sangat sulit menjual hunian mewah dengan harga pasar. Sementara, pemilik yang melepas hunian mewah di bawah harga pasar sangat sedikit.
Ia menambahkan, pola pembelian properti telah bergeser, dari yang semula investasi sekarang lebih banyak untuk ditinggali.
Suplai pasar sekunder rumah mewah di lokasi premium di Jakarta antara lain di Menteng, Pondok indah, Kelapa Gading, dan Kebayoran. Harga jual pasar sekunder di Menteng, misalnya, sudah melebihi Rp 100 juta per m2. Saat ini, pasar sekunder di segmen atas didominasi untuk hunian ketimbang untuk investasi.
“Kalau butuh, baru beli. Pembeli hunian untuk ditinggali cenderung memilih di lokasi sangat premium yang strategis,” ujarnya.
Meski demikian, Hartono memperkirakan, dalam jangka panjang, pasar sekunder hunian mewah berpotensi tumbuh sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. (LKT)