Sophocles, bapak tragedi Yunani, menggambarkan bahwa puncak keagungan manusia adalah tragedi. Dalam siklus manusia, bisa jadi, puncak keagungan itu adalah kematian. Bagi empat anak dari Abdullah (34), warga yang rumah kontrakannya di Kota Batu, Jawa Timur, terbakar, tragedi itu datang sedemikian cepatnya.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
Sophocles, bapak tragedi Yunani, menggambarkan puncak keagungan manusia adalah tragedi. Dalam siklus manusia, bisa jadi, puncak keagungan itu adalah kematian. Bagi empat anak dari Abdullah (34), warga yang rumah kontrakannya di Kota Batu, Jawa Timur, terbakar, tragedi itu datang sedemikian cepatnya.
Empat bocah tersebut adalah Rahma Ramadhani (10), Na’illah Fathinah Sholihah (9), Anisa Dzahro (7), dan Naufal Nasrulloh (6). Mereka adalah empat dari enam anak pasangan Abdullah (34) dan Herlina (35), yang tinggal di Jalan Hasanudin 35 A, Junrejo, Kota Batu. Sebelum api membakar rumah, mereka bukan anak spesial, biasa saja.
Akan tetapi, kepergian mereka seakan membunyikan lonceng tragedi. Mereka jadi pengingat, anak-anak (dan perempuan) selalu paling rentan menjadi korban dalam setiap peristiwa bencana, termasuk kebakaran. Dalam tragis, mereka meniti jalan kematian bersama-sama.
Lalu bagaimana yang ditinggalkan? “Ya Allah, kenapa (kami) tidak mati semua ?,” ratap Herlina, ibu anak-anak malang itu, di hadapan Yuli Ainun (33), tetangga depan rumah sekaligus istri ketua RT 002 RW 005 Kelurahan Junrejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu.
Abdullah, si ayah, lebih tabah. Ia hanya meminta orang sekitar mendoakan keluarganya. “Mohon didoakan. Untuk sementara kami tinggal di yayasan,” kata Abdullah usai pemakaman.
Abdullah saat ini ditampung tinggal di salah satu panti asuhan di Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Ia berprofesi sebagai pedagang makanan kecil di sekolah anaknya di Ar-Rohmah. Herlina adalah seorang ibu rumah tangga.
Herlina merupakan pendatang asal Sukoharjo, Solo. Keluarga tersebut sudah mengantongi kartu keluarga (KK) sebagai warga Landungsari, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Sebagai pendatang, tak ada keluarga bisa diandalkan untuk mengurus semua keperluan akibat peristiwa itu.
Tetangga
Beruntungnya, jiwa sosial tetangga sekitar sangat besar. Mereka mengambil peran mengurus semua keperluan keluarga Abdullah. Mulai dari menyiapkan pemakaman, berkomunikasi dengan pihak berwajib, hingga melayani pertanyaan jurnalis. Bahkan, sudah siap beberapa karung beras jika sewaktu-waktu dibutuhkan, misalnya bila keluarga mengadakan acara doa tahlil.
Beruntungnya, jiwa sosial tetangga sekitar sangat besar. Mereka mengambil peran mengurus semua keperluan keluarga Abdullah. Mulai dari menyiapkan pemakaman, berkomunikasi dengan pihak berwajib, hingga melayani pertanyaan jurnalis.
“Warga memang inginnya membuat selamatan. Namun, kalau keluarganya tidak berkenan, mau bagaimana. Nanti dilihat saja seperti apa,” kata Toni, ketua RT 002 RW 005 Kelurahan Junrejo.
Tetangga sekitar ingin membuat acara doa karena setiap hari, mereka sudah berhubungan baik dengan keluarga Abdullah selama 2 tahun. Namun tampaknya tidak ada sinyal dari Abdullah untuk mengadakan tahlilan. Mungkin Abdullah terlalu sedih untuk memikirkannya.
Lihat saja, kematian empat anak itu membangkitkan rasa kemanusiaan sekitar. Mungkin, ini hikmah yang bisa dipetik dari tragedi ini.
Termasuk salah satunya, mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati. Itu sebabnya, polisi menggali informasi dan data, untuk mencari penyebab kebakaran.
Api ternyata berasal dari kamar bagian belakang, yaitu ruang belajar anak. Api merembet ke kamar tidur anak di sebelahnya, lalu melalap ruangan-ruangan lain. Tugas polisi adalah memastikan apa pemicu kebakaran. Apakah benar lilin yang dinyalakan, karena saat itu sedang mati lampu, atau sebab lainnya. Di sana, kehati-hatian semua orang seperti dikuatkan.
Pemakaman
Pada akhirnya, hikmah terbesar tampak saat jasad bocah-bocah bersaudara itu dikebumikan, di tempat pemakaman umum desa setempat. Semua kalangan berkumpul mendoakan. Mulai dari ayah keempat bocah itu, tetangga, polisi, wartawan, PNS, hingga semua orang yang simpati pada nasib Abdullah dan keluarganya.
Seorang teman Abdullah, bersarung dan berjubah dengan beberapa selendang menutup kepala dan tubuhnya, tanpa dikomando melantunkan azan saat waktunya tiba. Kenalan Abdullah lain, rela turun membantu menguruk tanah ke liang lahat hingga pemakaman usai, meski ia berbaju muslim dan bersarung rapi.
Seorang relawan perempuan, dengan tato di tangannya, menjadi sosok penuntun bagi orang-orang dalam menurunkan jenazah dari ambulans saat hendak disholatkan di masjid. Serta, mengingatkan petugas kubur dalam memegang jenazah. Tentu saja, menggotong jenazah tidak bisa sembarangan, ada aturannya.
“Pegang besi di bawahnya Pak, satu-satu, biar itu selesai dulu,” teriak si perempuan mengomando setiap gerakan.
Sebagai penghujung prosesi, nisan nama empat bocah manis itu ditanamkan ke dalam tanah. Empat nisan itu tampak bersih. Tentu saja, sebab nisan-nisan lain catnya sudah mulai pudar termakan zaman, termasuk beberapa nisan salib tak jauh dari lokasi. Berikutnya, orang-orang jongkok dan berdoa dipandu seorang modin (petugas pemimpin pemakaman), untuk kemudian menutup prosesi dengan salam.
Hidup benar-benar serasa lintasan permainan, turun dan naik. Seperti aroma, anyir dan wangi. Seperti sebuah rasa, pahit dan manis. Beberapa tetangga terdengar sesenggukan selama pemakaman tapi penggali kubur tampak terus bergurau mengusir lelah, menggali liang lahat lebar yang menampung empat jenazah bocah tadi sekaligus.
Ya, kematian empat bocah itu membunyikan lonceng tragedi. Dan, setiap tragedi pasti menyisakan hikmah, bagi mereka yang memeluk pengertian, dan menegakkan kesadaran.
kematian empat bocah itu membunyikan lonceng tragedi. Dan, setiap tragedi pasti menyisakan hikmah, bagi mereka yang memeluk pengertian, dan menegakkan kesadaran.
Bahwa manusia, ciptaan Sang Kuasa ini, sungguh tak berdaya apa-apa dibanding-Nya. Bahwa, di luar kita ada orang-orang (sesama manusia) yang siap merentangkan kemanusiannya untuk menolong kita. Dan bahwa, apapun perbedaan setiap kita, ujungnya adalah sama, kembali ke dalam bumi.
”Di antara yang benar dan salah, di sana terbentang sejengkal tanah”. (Jalaluddin Rumi)