SURABAYA, KOMPAS –- Investasi syariah yang mengutamakan pembangunan berkelanjutan, yakni sukuk hijau, bergeliat dalam dua kali penerbitan pada 2018 dan 2019. Penerbitan instrumen investasi itu perlu diteruskan untuk mengembangkan potensi keuangan syairah sekaligus membantu pertumbuhan investasi berdampak.
Sukuk hijau (green sukuk) merupakan instrumen investasi yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan. Investasi syariah itu bertujuan membiayai proyek berbasis lingkungan yang berkelanjutan untuk mengatasi perubahan iklim.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, dalam 4th Annual Islamic Finance Conference (AIFC), Rabu (24/7/2019), di Surabaya, Jawa Timur, mengatakan, instrumen keuangan syariah berpotensi besar untuk membiayai tujuan pembangunan keberlanjutan (SDGs). Salah satu yang sudah berjalan adalah melalui sukuk hijau.
Pemerintah sudah dua kali menerbitkan sukuk hijau, pada 2018 sebesar 1,25 miliar dollar AS dan pada 2019 sebesar 750 juta dollar AS. Dua proyek itu dipakai membiayai 23 pembangunan berkelanjutan nasional, di antaranya 727 kilometer jalur kereta jalur ganda, 121 pembangkit listrik tenaga matahari, dan manfaat pengelolaan sampah bagi 3,4 juta rumah tangga.
“Green sukuk merupakan investasi yang bermanfaat dan tidak merusak. Jadi kita sudah harus memikirkan bagaimana tentang enviromental, supaya bisa berkelanjutan,” kata Mardiasmo.
Dwi Irianti Hadiningdyah, Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, mengatakan, penerimaan dari sukuk hijau memang jauh dari selisih kebutuhan mengatasi dampak perubahan iklim yang mencapai 26 miliar dollar AS. Namun, hal itu meningkatkan kesadaran para investor.
Terbukti pada saat pertama sukuk hijau diterbitkan, baru 146 investor yang terlibat. Jumlah itu meningkat menjadi 183 investor pada penerbitan sukuk hijau kedua, Februari 2019. Investasi ini juga inklusif karena mayoritas investor atau hampir 70 persen berasal dari pasar konvensional, seperti benua Eropa dan Amerika.
"Banyak filantropis dari Eropa yang ingin memberikan kontribusi untuk pembangunan hijau. Hal itu sebagai balasan mereka karena investasi pembangunan sebelumnya turut ambil bagian dalam merusak lingkungan," sebut Dwi.
Semakin banyak investor akan membuat korporasi meningkatkan dana khusus ke instrumen hijau. Hal itu memacu penerbitan sukuk hijau. "Sejauh ini selain pemerintah baru beberapa yang menerbitkan sukuk hijau. Jika banyak pemainnya, itu akan semakin memperbaiki yield (imbal hasil) kita,” jelas Dwi.
Geliat sukuk hijau bisa membantu pertumbuhan keuangan syariah yang saat ini baru mencapai 8,55 persen dibandingkan keuangan konvensional. Lebih dari itu, kehadiran sukuk hijau juga akan membantu kekurangan dana dari SDGs.
Dalam forum AIFC, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) sebagai inisiator SDGs menyebutkan, setiap tahun biaya untuk pembangunan kekurangan 3 triliun dollar AS. Program itu baru ditargetkan selesai pada 2030 mendatang.
SDGs merupakan kesepakatan pada 2015 oleh 193 negara untuk kemajuan ekonomi yang mencegah kerusakan lingkungan dan memperhatikan isu sosial. Investasi berdampak itu sebagai wujud kepedulian terhadap semakin banyaknya dampak dari pembangunan.
Christophe Bahuet, UNDP Indonesia Resident Representative, mengatakan, pembiayaan adalah bagian penting untuk pencapaian agenda SDGs pada tahun 2030. “Kami harap konferensi ini akan mendorong pemanfaatan potensi pembiayaan syariah sepenuhnya untuk pencapaian SDGs di Indonesia," ujarnya.
Adapun pemerintah masih belum memutuskan akan menerbitkan sukuk hijau pada 2020. Keputusan itu masih menunggu jadwal penerbitan investasi lain seperti global bond, euro bond, hingga samurai bond.
AIFC merupakan acara tahunan yang menghadirkan para pembuat kebijakan, ekonom, akademisi, dan pelaku industri, baik dari dalam negeri maupun dari internasional, untuk mendiskusikan berbagai isu ekonomi dan keuangan syariah. Dalam penyelenggaraan keempat kalinya ini, AIFC membawa topik penggabungan keuangan syariah dan investasi berdampak untuk SDGs.