Polisi kembali mencokok terduga teroris di Sumatera Barat. Rangkaian aksi penangkapan terduga teroris di Ranah Minang ini dinilai sebagai bentuk eksistensi aliran agama garis keras yang masih eksis. Selain dengan meluaskan pemahaman agama inklusif, dibutuhkan ekosistem budaya untuk membentuk Minangkabau yang bebas dari radikalisme.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Polisi kembali menangkap terduga teroris di Sumatera Barat. Penangkapan terduga teroris di Ranah Minang ini dinilai sebagai eksistensi aliran agama garis keras. Selain dengan meluaskan pemahaman agama inklusif, dibutuhkan ekosistem budaya untuk membentuk Minangkabau yang bebas dari radikalisme.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo, Rabu (24/7/2019), di Jakarta, menyatakan, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menangkap N, terduga teroris yang merupakan bagian dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Kamis (18/7/2019), di Kota Padang. N pernah membuat bom rakitan di belakang rumahnya, namun gagal. N yang satu kelompok dengan May Yusral alias Umar, pernah berencana untuk melakukan teror di sejumlah kantor polisi. Umar sudah terlebih ditahan polisi pada Agustus 2018.
Data presisi tentang jumlah terduga teroris di Sumatera Barat (Sumbar) hanya dimiliki oleh Densus 88. Disigi dari dokumentasi media, penangkapan terduga teroris di provinsi itu cukup ramai sepanjang 2018. Pada Agustus 2018, misalnya, lima terduga teroris diamankan di Sumbar (Kompas.com, 13/8/2018).
“Meski intensitasnya tidak sekuat di Lampung, Sumatera Utara, dan Aceh, Sumbar termasuk wilayah yang juga kami pantau terkait terorisme,” kata Dedi.
Pengamat terorisme, Al Chaidar berpendapat, paparan radikalisme di Sumbar cukup serius. Ada beberapa kelompok yang terafiliasi dengan jaringan teroris. Kelompok ini dibela oleh organisasi kemasyarakatan (ormas), yang secara tidak langsung berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
“Mereka hanya mencoba membela tanpa mengetahui bahwa yang dibelanya adalah kelompok khawarij,” katanya.
Menurut Chaidar, profil JAD Sumbar adalah warga biasa yang terpapar melalui media sosial, pengajian tatap muka, dan pengajian tersembunyi. “Banyak kelompok wahabi di Sumbar dan mendapatkan pembelaan yang serius,” katanya.
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama M Kholid Syeirazi dalam Anatomi Radikalisme di Indonesia menjelaskan, Wahabisme digagas oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhab (1701-1793 M), yang merevolusionerkan ajaran Salafisme Ibn Taimiyah (1263-1328 M). Ibn Taimiyah adalah seorang pemuka puritanisme Islam, paham absolut yang tak kenal kompromi dalam beragama dan cenderung memandang realitas beragam sebagai kontaminasi atas kebenaran sejati.
Di Indonesia, kata Kholid, Wahabisme dibawa oleh tiga orang haji, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Dalam perkembangannya, aliran ini memicu perang saudara yang dikenal dengan Perang Padri awal Abad Ke-19.
Ekosistem Budaya
Budayawan Minangkabau S Metron menyatakan, pandangan yang mengaitkan penangkapan terduga teroris dengan ekses dari Wahabisme merupakan kesimpulan yang pincang dan tidak adil. Hanya karena segelintir orang ditangkap, bukan berarti Ranah Minang menjadi tanah yang subur bagi tumbuhnya bibit terorisme.
Meyakinkan orang Minang bahwa mereka punya sesuatu untuk dijadikan narasi bagi dunia luar.
Dalam praktiknya, kata Metron, gerakan Wahabisme juga berdialektika dengan kaum adat dan menghasilkan kompromi. Memang, katanya, selalu ada dinamika antara Islam dan adat. Tetapi cara pandang yang keliru dalam melihat dinamika ini justru akan memantik bara api yang tak kunjung padam.
Dalam diskusi Seniman Bicara Akhir Pekan yang digelar di Ladang Tari Nan Jombang, Padang, lanjutnya, sejumlah budayawan membahas tentang strategi kebudayaan Minangkabau dalam seratus tahun ke depan. Poin dari perbincangan itu adalah meyakinkan orang Minang bahwa mereka punya sesuatu untuk dijadikan narasi bagi dunia luar.
Namun, semua ikhtiar itu terbentur karena belum terbentuknya ekosistem kebudayaan yang mapan. Formulasi dari negara, kata Metron, kurang pas dalam mewadahi aktivitas budaya itu. Misalnya saja dengan membina kesenian Randai, tetapi sekadar sebagai penyampai pesan kampanye keluarga berencana (KB). “Dengan sendirinya, Randai menjadi tereduksi,” katanya.
Intelektual muda Minangkabau, Heru Joni Putra menambahkan, strategi untuk meredam paham radikal di Sumbar bisa dengan memberikan ruang yang lebih besar bagi komunitas tarekat, seperti Syattariyah dan Naqsyabandiyah. Imam Khatib Abdul Manaf dalam Kitab Mizal Al-Qalb yang ditulis tahun 1989 M mengkritik tajam fundamentalisme agama.
“Nah, kitab-kitab yang berisi narasi seperti itu banyak di Sumbar. Tetapi, tidak disebar, hanya menjadi referensi kelompok kecil saja. Semestinya kitab seperti itu bisa menjadi bacaan untuk publik yang lebih luas,” kata Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Cultural Studies Universitas Indonesia ini.