Di tengah kebangkitan China, muncul kabar tercapainya kesepakatan rahasia antara negara itu dan Kamboja mengenai penggunaan pangkalan laut.
Sesungguhnya, kabar itu tidak terlalu mengejutkan. Selama beberapa tahun terakhir, saat kehadiran Beijing di Laut China Selatan semakin kuat untuk mendukung klaim teritorialnya atas perairan tersebut, kedekatan China dan Kamboja cukup terlihat. Diberitakan Khmer Times edisi 31 Maret 2018, misalnya, China mengumumkan dukungannya atas Pemerintah Kamboja, khususnya dukungan terhadap terpilihnya kembali Hun Sen. Perdana Menteri Hun Sen kembali memegang kekuasaan pemerintahan lewat pemilu Juli 2018.
Sementara itu, pada edisi 12 Januari 2018, media The Phnom Penh Post menulis mengenai penandatanganan naskah kerja sama oleh para pengusaha serta pejabat China dan Kamboja. Kerja sama meliputi berbagai bidang, yaitu pertanian, kesehatan, industri, transportasi, tenaga kerja, keuangan, dan perdagangan. Selain itu, cukup lekat di ingatan kita, beberapa tahun lalu, dalam pertemuan di Kamboja, terjadi ketidakcocokan di antara anggota ASEAN sehingga pertemuan itu gagal menghasilkan komunike terkait isu Laut China Selatan.
Seperti disampaikan harian ini pada Selasa (23/7/2019), kabar perjanjian antara Beijing dan Phnom Penh terkait penggunaan pangkalan laut Kamboja diungkap The Wall Street Journal. Berdasarkan sumber dari kalangan Pemerintah Amerika Serikat, perjanjian itu memberikan China akses eksklusif kepada Pangkalan Angkatan Laut Ream Kamboja di Teluk Thailand selama 30 tahun. Pejabat China dan Kamboja membantahnya. Menurut mereka, sama sekali tak ada perjanjian semacam itu. Hun Sen bahkan menegaskan hal itu tak mungkin terjadi karena kebijakan menyediakan pangkalan militer asing bertentangan dengan konstitusi Kamboja.
Kabar tentang kesepakatan rahasia China-Kamboja harus menjadi perhatian pemimpin negara Asia Tenggara. Gagasan ASEAN untuk membentuk wilayah Asia Tenggara yang damai dan pada intinya tidak menjadi ajang adu kepentingan pihak asing harus terus dijaga. Selama beberapa dekade terakhir, kondisi damai dan bebas dari konflik telah mengantar negara-negara Asia Tenggara menikmati pertumbuhan. Upaya mengatasi problem kemiskinan pun dapat berjalan baik walaupun masih memerlukan perbaikan.
Kabar kesepakatan rahasia, yang kemudian dibantah oleh pihak China dan Kamboja, kembali mengingatkan para pemimpin di Asia Tenggara, terutama Indonesia yang merupakan negara terbesar, bahwa dinamika mutakhir harus disikapi dengan lebih terencana. Dinamika mutakhir yang ditandai memanasnya persaingan AS-China itu akan terus memberikan pengaruh dominan terhadap perkembangan di masa mendatang. Salah satu hal paling krusial dalam situasi ini yaitu selalu menjaga keutuhan dan komitmen di antara negara ASEAN agar Asia Tenggara tidak menjadi ”medan pertarungan” pihak asing.