Mereka Terancam Manusia
Stasiun Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Batu Mbelin menyimpan cerita kelam perjalanan orangutan sumatera. Di sana hidup orangutan yang ditembak 74 kali hingga buta karena mempertahankan anaknya.
Ada pula bayi orangutan yatim piatu yang diselamatkan dari dalam kardus dalam perjalanan penyelundupan dari Kota Dumai, Riau, ke Malaysia. Juga ada orangutan yang cacat otot karena dikurung selama puluhan tahun di kandang sempit. Kondisi mereka yang menyedihkan adalah akibat dari perusakan habitat, perdagangan satwa, dan keegoisan manusia.
Stasiun Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Batu Mbelin di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (11/7/2019), terasa sejuk. Stasiun di lereng bukit itu tampak asri, penuh pepohonan rindang. Di satu kandang karantina, orangutan bernama Hope duduk termenung.
Manajer Stasiun Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Batu Mbelin Arista Ketaren mengingatkan agar tidak berbicara ketika mendekati kandang Hope. Namun, Hope yang kini hanya mengandalkan pendengaran tetap merasakan langkah kami.
Hope langsung berputar-putar mengelilingi kandangnya. ”Hope masih sangat trauma dengan kehadiran manusia. Ia melihat langsung manusia menembaki tubuh dan matanya. Ia kehilangan anaknya karena kekejaman manusia,” kata Arista.
Hope, yang berusia sekitar 25 tahun, adalah potret penderitaan orangutan akibat alih fungsi hutan. Ia dan bayinya, yang berusia satu bulan, ditemukan kritis di kebun sawit bekas alih fungsi hutan di Desa Bunga Tanjung, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh, 10 Maret 2019. Hope selamat. Namun, bayinya mati akibat malnutrisi.
Tim dokter dari Yayasan Ekosistem Lestari–Program Konservasi Orangutan Sumatera (YEL-SOCP), yang mengelola Stasiun Batu Mbelin, berupaya keras menyelamatkan Hope. Melalui pemeriksaan foto rontgen terlihat citra 74 peluru senapan angin di dalam tubuhnya. Tulang bahu Hope patah, parunya koyak dan terinfeksi. Tangan dan kakinya luka, diduga akibat dihantam alat dodos sawit.
Tim dokter memasang pen di tulang bahunya. Sepuluh peluru berhasil diambil dari tubuhnya, sisanya dibiarkan karena tidak terlalu mengganggu. Risiko pembedahan dinilai terlalu besar. Setelah dirawat empat bulan, kondisi fisik Hope membaik. ”Namun, trauma psikisnya belum bisa diobati. Ia stres ketika mendengar tangis bayi orangutan. Ia juga tertekan kalau merasakan kehadiran manusia,” kata Arista.
Trauma Hope karena teringat bayinya. Induk orangutan adalah individu yang sangat mencintai anaknya. Primata ini merawat, mengajari, membesarkan, dan hampir selalu memeluk anaknya hingga delapan tahun. Satwa ini juga tidak mau kawin sampai anaknya bisa mandiri di alam liar pada usia sekitar delapan tahun. ”Hope mempertahankan bayinya meski dihujani puluhan peluru,” ujar Arista.
Bayi orangutan
Di stasiun rehabilitasi itu, sejumlah bayi orangutan yang seharusnya masih dalam pelukan induknya harus hidup sendiri. Digo, orangutan berusia dua bulan, sedang tidur pulas di sebuah keranjang di kamar tidur seorang perawat.
Digo bersama dua anak orangutan lain, Duma (1) dan Dupa (1,5), diselamatkan tim TNI serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai saat hendak diselundupkan dari Kota Dumai, Riau, ke Malaysia, 25 Juni 2019. ”Bayi orangutan ini disekap dalam kardus penuh kain. Kondisinya lemas dan badannya kotor. Sebuah kapal cepat sudah menunggu di pelabuhan tikus untuk mengangkut mereka ke Malaysia,” kata dokter hewan di YEL-SOCP, Meuthya.
Penanganan bayi orangutan tidak mudah. Dokter dan perawat harus mengganti peran induknya. Digo tidur di keranjang di samping tempat tidur perawat agar bisa diberi susu setiap dua jam, termasuk pada malam hari.
Selain Digo, ada juga Brenda (7 bulan). Brenda adalah korban pembukaan lahan di Kecamatan Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya. Brenda diduga sedang diburu saat ditemukan warga. Saat diserahkan ke stasiun rehabilitasi, salah satu lengannya patah sehingga harus dipasang pen. Kondisi Brenda kini membaik. Giginya mulai tumbuh.
Supervisor Rehabilitasi dan Reintroduksi YEL-SOCP Citra Kasih Nente mengatakan, orangutan hingga kini masih menghadapi tekanan hebat dari kerusakan habitat akibat alih fungsi, perambahan, dan kebakaran hutan. Perburuan dan perdagangan gelap orangutan masih terjadi karena tingginya permintaan dari masyarakat serta perdagangan internasional.
”Saat ini, ada 54 individu orangutan yang sedang direhabilitasi di sini. Mereka dari berbagai latar belakang. Ada korban perdagangan, perburuan, kerusakan habitat, dan ada yang disita dari warga yang memelihara,” kata Citra.
Citra menuturkan, Stasiun Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Batu Mbelin sejak 2001 hingga 2019 telah merehabilitasi 382 individu orangutan. Di stasiun itu, orangutan menjalani rehabilitasi mulai dari proses karantina, pemeriksaan kesehatan, perawatan, masa sosialisasi dengan orangutan lain, sekolah hutan, habituasi, hingga pelepasliaran. Mereka telah melepasliarkan 282 individu orangutan ke hutan di Jambi dan Aceh.
Di alam liar, kata Citra, orangutan sumatera hanya tersisa di Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh dan Sumatera Utara. Diperkirakan, populasinya terus berkurang dan kini tersisa sekitar 13.700 ekor.
Sementara itu, sejak 2017, orangutan tapanuli yang hidup di Ekosistem Batang Toru di Tapanuli dinyatakan sebagai spesies yang berbeda dari orangutan sumatera. Orangutan tapanuli dinyatakan terancam punah dengan populasi diperkirakan tinggal 800 ekor.
Di sekolah orangutan di stasiun rehabilitasi, beberapa individu orangutan sedang belajar hidup di alam liar. Mereka belajar memanjat, bergelantungan, dan berpindah dari satu pohon ke pohon lain agar nantinya bisa bertahan hidup di alam liar. Namun, satu hal yang barangkali sulit mereka jalani, yakni bertahan dari ancaman manusia....