JAKARTA, KOMPAS — Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri dinilai kurang agresif dalam hal penghapusan penggunaan merkuri pada pertambangan emas skala kecil pada tahun 2025. Setiap tahun berjalan akan meninggalkan persoalan yang kian berat terkait kontaminasi logam berat pada air dan tanah setempat ataupun penurunan kualitas kesehatan masyarakat.
Pemerintah diminta bertindak lebih cepat untuk memastikan perdagangan merkuri yang terindikasi masih terjadi secara ilegal bisa dihentikan. Selain itu, sumber ekstraksi merkuri dari pertambangan batu sinabar agar ditutup.
”Dampak Hg (merkuri/raksa) pada penambangan emas skala kecil (PESK) akan berat dan jadi beban negara sampai enam tahun mendatang. Kalau pemerintah pusat dan daerah tidak benar-benar serius membasmi sumber Hg, sampai kapan juga tidak akan kelar,” kata Yuyun Ismawati, senior advisor pada Yayasan Balifokus/Nexus3, Rabu (24/7/2019), di Jakarta.
Pada Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM) yang ditetapkan pada 24 April 2019, pemerintah menargetkan pengurangan 30 persen penggunaan merkuri pada manufaktur, pengurangan 33,2 persen pelepasan emisi dari sektor energi (pembangkit listrik tenaga uap), serta penghapusan penggunaan merkuri pada PESK pada 2025 dan alat kesehatan pada 2020.
Yuyun mengatakan, penghapusan penggunaan merkuri pada penambangan emas tradisional atau PESK agar dipercepat menjadi tahun 2020. Lokasi penambangan yang legal salah satu syaratnya harus berada dalam peta wilayah pertambangan rakyat (WPR) yang disusun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. ”WPR harus diperjelas segera agar tidak ada kegiatan yang liar-liar lagi,” katanya.
Penghapusan penggunaan merkuri pada penambangan emas tradisional atau PESK agar dipercepat menjadi tahun 2020.
Pertimbangan mempercepat itu, dari studi Yayasan Balifokus tahun 2012-2015, kehilangan ekonomi akibat pencemaran merkuri dalam bentuk peluang hidup yang layak dan peluang perekonomian/pendapatan yang lebih baik dari data dua lokasi PESK saja (Poboya di Palu Sulawesi Tengah dan Sekotong di Lombok NTB) nilainya antara 960.000 dollar AS dan 1,6 juta dollar AS per tahun. Apabila penghapusan tertunda hingga 2025, kerugian negara dan masyarakat akan membesar.
Yuyun mengatakan, salah satu kunci penghapusan penggunaan merkuri pada PESK adalah larangan keras disertai penegakan hukum tegas terhadap pertambangan batu sinabar dan pengolahannya menjadi merkuri. Berdasarkan data KLHK, pertambangan sinabar ini terdapat di Seram Barat (Maluku) serta potensial terdapat di Aceh dan Kapuas (Kalteng).
Pertambangan sinabar ini terdapat di Seram Barat, Maluku, serta potensial terdapat di Aceh dan Kapuas, Kalimantan Tengah.
Lebih lanjut, ia juga menilai target rehabilitasi lahan tambang yang terkontaminasi merkuri dalam RAN PPM sejumlah 4 lokasi hingga 2025 terlalu kecil. Dalam RAN disebutkan terdapat 180-220 lokasi (data Kementerian ESDM).
”Kalau pakai laju RAN yang sekarang akan butuh waktu 225 tahun untuk rehabilitasi 180 hotspots PESK,” katanya. Data tersebut minimalis karena menurut data Balifokus terdapat sekitar 800 hotspots PESK yang masih menggunakan merkuri.
Pengawasan dan sanksi
Yuyun pun mengingatkan pelaksanaan RAN PPM juga membutuhkan pengawasan dan sanksi bagi oknum ataupun backing dari aparat pemerintah dan aparat keamanan. Ini didasarkan pengalamannya mengadvokasi dan meneliti sejumlah lokasi PESK di Indonesia.
”Ada backing yang melindungi dan diuntungkan dari bisnis jual merkuri, sianida, dan tambang emas. Emasnya terbang entah ke mana, negara kehilangan pemasukan, lingkungan rusak, anak-anak lahir cacat, biayanya mahal banget,” kata Yuyun.
Dalam sosialisasi Rapat Kerja Teknis RAN PPM di Jakarta, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, merkuri masih beredar secara ilegal karena terdapat pertambangan batu sinabar. Penambangan batu sinabar dilarang sejak tahun 2018. Ia mengatakan telah berkoordinasi dengan Ditjen Penegakan Hukum KLHK serta kepolisian dan kejaksaan untuk memproses hukum kasus penambangan dan pengolahan batu sinabar serta distribusi merkuri secara ilegal tersebut.
Mengutip data Kementerian Perdagangan, impor merkuri pada tahun 2014 sejumlah 499,68 kilogram untuk keperluan industri baterai dan lampu. Terkait ekspor merkuri, data Ditjen Bea dan Cukai menunjukkan 350.000 kilogram merkuri (HS Code 2805.40.00.00) dikirim ke luar negeri pada tahun 2016.
Pada paparan sebagai narasumber dalam pembukaan Festival Gakkum di KLHK, 23 Juli 2019, Direktur Tindak Pidana Tertentu Brigjen (Pol) M Fadil Imran mempresentasikan Indonesia mengekspor 567 ton merkuri senilai 5,2 juta dollar AS pada tahun 2015, dan 1.360 ton senilai 8,2 juta dollar AS pada tahun 2016. Sejak tahun 2017, polisi menerima 122 laporan penggunaan merkuri dan sianida yang 48 kasus telah dilimpahkan ke kejaksaan (P21).
Direktur Teknik dan Lingkungan Dirjen Minerba Kementerian ESDM Sri Rahardjo mengatakan, PESK yang tidak berada dalam WPR dinyatakan ilegal. Terdapat 3.329 blok WPR seluas 407.882 ha yang tersebar di 25 provinsi di Indonesia.
Lokasi ini tidak bisa mendapatkan pembinaan dari kementerian dalam penggunaan teknologi pengolahan emas tanpa merkuri. KLHK baru memberikan pendampingan pengolahan emas tanpa merkuri Kabupaten Lebak, Kabupaten Luwu, Kabupaten Lombok Barat, dan Kabupaten Kotawaringin Barat.