Aspek Profesionalitas Jadi Isu Utama
JAKARTA, KOMPAS — Aspek profesionalitas penyelenggara pemilu menjadi persoalan utama Pemilu 2019. Mekanisme perekrutan penyelenggara pemilu hingga ke tingkat kabupaten/kota yang secara sentralistik dilakukan KPU RI diduga menjadi akarnya.
Berdasarkan data Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu per tanggal 24 Juli 2019, diketahui terdapat 374 pengaduan, di mana 190 di antaranya naik ke dalam persidangan. Dari jumlah tersebut, 86 perkara telah diputus dan 104 perkara lain tengah diperiksa.
Adapun dari 86 perkara yang sudah diputus, secara total sudah ada 278 teradu yang diputus. Hal ini disebabkan dalam satu perkara, jumlah penyelenggara pemilu yang diadukan bisa lebih dari satu orang.
Dari jumlah tersebut, amar putusan terhadap 127 orang di antaranya berupa teguran tertulis. Sementara 21 orang diputus berhenti tetap, 5 orang berhenti dari jabatan ketua, 2 orang berhenti sementara, dan 123 orang direhabilitasi. Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Ida Budhiati, Rabu (24/7/2019), mengatakan bahwa terhadap 127 orang yang diputus dengan teguran tertulis terkait dengan persoalan profesionalitas penyelenggaraan pemilu.
Termasuk ke dalam ranah profesionalitas itu di antaranya aspek pengelolaan logistik, cara kerja penyelenggara, kepemimpinan, dan cara menyelesaikan masalah. Sementara putusan berhenti tetap, berkaitan dengan pemihakan yang dilakukan sebagian penyelenggara pemilu dengan tuduhan kesengajaan memindahkan perolehan suara.
Aspek profesionalitas dengan sanksi teguran tertulis itu juga relatif dominan pada putusan DKPP sepanjang tahun 2018. Pada saat itu ada 521 laporan, di mana 319 perkara diputusan naik sidang setelah memenuhi syarat formal dan materiil. Dari jumlah itu sebanyak 632 penyelenggara pemilu diberikan teguran tertulis dan 101 orang diputus berhenti tetap.
Sementara pada 2017, yang menjadi tahun awal masa kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode ini, ada 302 laporan yang masuk. Dari jumlah itu, 140 perkara naik sidang. Putusan berupa teguran tertulis diberikan kepada 135 penyelenggara pemilu dan berhenti tetap kepada 50 orang.
Jadi kalau membaca data ini, mestinya tidak ada alasan untuk tidak percaya dengan institusinya. Karena (yang terkait dengan persoalan) netralitas (penyelenggara pemilu) itu langsung kita pecat. Supaya tidak menyebarkan ’virus’, kita keluarkan dari lembaga KPU.
Ida menambahkan, saat ini jumlah pengaduan terkait Pemilu 2019 masih terus bertambah. Tidak ada batasan waktu untuk mengadukan dugaan pelanggaran etik penyelenggara pemilu kepada DKPP, selama masa jabatan komisioner KPU di periode bersangkutan tetap berlangsung.
Menurut dia, jika merujuk pada Pemilu 2014, perkara terkait pileg pada saat itu bahkan masih terus diadukan hingga tahun 2015. Karena itulah, imbuh Ida, dalam kaitan itu masih harus ditunggu pula putusan sejumlah perkara di Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum akhirnya mungkin diadukan ke DKPP.
Profesionalisme
Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, Erik Kurniawan, pada hari yang sama mengatakan isu profesionalitas penyelenggara pemilu yang jadi persoalan dalam Pemilu 2019 merupakan problem struktural dalam perekrutan penyelenggara tingkat daerah. Salah satunya terkait dengan aspek perekrutan anggota KPU di kabupaten/kota yang dilakukan secara sentralistik oleh KPU RI.
”Sebenarnya (perekrutan anggota KPU kabupaten/kota oleh KPU RI) tujuannya baik untuk menjaga standar kualitas penyelenggara (agar) tidak terlalu timpang antar daerah dan memutus potensi nepotisme. Tapi praktiknya ternyata tidak juga,” ujar Erik.
Ia menambahkan, ada kemungkinan pertimbangan kompetensi tidak jadi hal utama dalam proses perekrutan. Hal ini, imbuh Erik, menyusul sebagian sosok dengan pengalaman cukup lama di bidang kepemiluan yang tidak lolos.
Banyak profil penyelenggara di daerah, (mereka) benar-benar baru di dunia kepemiluan. Maka, penyelenggaraan Pemilu 2019 menjadi ajang pembelajaran buat mereka.
Komisioner KPU Wahyu Setiawan saat dihubungi pada hari yang sama mengatakan, KPU menghormati dan melaksanakan putusan DKPP terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan penyelenggara pemilu. Ia memastikan bahwa supervisi, pengawasan, dan evaluasi akan dilakukan di sejumlah daerah terkait untuk memastikan kesalahan tidak berulang di Pilkada serentak 2020.
Terkait dengan aspek profesionalitas penyelenggara pemilu yang mendominasi perkara di DKPP dan kaitannya dengan model rekrutmen anggota KPU hingga tingkat kabupaten/kota yang sentralistik karena dilakukan KPU RI, Wahyu mengatakan pihaknya dapat memahami bila ada analisis yang menyebutkan demikian. Hal ini, imbuh Wahyu, karena memang faktanya demikian.
Namun Wahyu juga menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan amanah UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Menurutnya, hal itu berbeda dengan penyelenggaraan Pemilu 2014 dimana KPU RI hanya membentuk KPU Provinsi, dan pembentukan KPU kabupaten/kota dilakukan KPU provinsi.
Saat ini, imbuh Wahyu, KPU RI membentuk KPU provinsi dan sekaligus juga membentuk KPU kabupaten/kota. ”Itu disebabkan peraturan perundang-undangan yang berbeda antara Pemilu 2019 dan 2014,” sebut Wahyu.