JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah mendata ribuan kapal penangkap ikan yang tergolong ilegal. Padahal, pendataan kapal yang sesuai aturan menjadi ujung tombak akurasi data produksi perikanan nasional.
Pendataan kapal perikanan menjadi salah satu basis data produksi. "Pendataan kapal berdasarkan perizinan yang tepat dan disertai monitoring ketat menghasilkan data produksi perikanan yang tepat pula," kata Ketua Umum Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI) Yanti Djuari saat dihubungi, Rabu (24/7/2019).
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merilis, Rabu, terdapat ribuan kapal ikan yang tergolong ilegal saat ini. Ada tiga macam kapal yang dikategorikan ilegal yakni, kapal yang belum memperpanjang izinnya, kapal yang dibangun tanpa rekomendasi teknis dari KKP, dan kapal yang menyertakan kapasitas kapalnya lebih rendah daripada yang sebenarnya (mark down).
Menurut Yanti, pemerintah mestinya turut mendalami akar permasalahan dari maraknya kapal-kapal ilegal tersebut. Misalnya untuk kasus mark down. Jika akar masalahnya ialah sulitnya perizinan, pemerintah harus juga membenahinya.
Dari 7.897 kapal yang melaut, KKP mendata, ada 2.183 kapal yang belum memperpanjang izinnya. Jumlah kapal terbanyak berada di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Utara. Sebanyak 894 kapal di antaranya mengantongi perizinan yang sudah kadaluarsa lebih dari dua tahun.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zulficar Mochtar mengatakan, kapal yang perizinannya tidak diperpanjang itu berdampak pada pengendalian jumlah kapal yang beroperasi dan penerbitan izin bagi kapal baru. Perizinan merupakan sarana kontrol pemerintah untuk menjaga keberlanjutan ketersedian sumber daya perikanan di laut.
Adapun secara nasional, kapal-kapal yang tidak memperpanjang izinnya itu menimbulkan potensi kehilangan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 137,876 miliar. Potensi kehilangan berdasarkan asumsi total kapasitas kapal sebesar 156.050 GT.
Berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Nomor 24/PER-DJPT/2017 tentang Mekanisme dan Prosedur Penerapan Sanksi Administratif Usaha Perikanan Tangkap di WPP-NRI dan/atau Laut Lepas, kapal yang belum memperpanjang izinnya lebih dari dua tahun akan dikurangi alokasi perizinannya. "Kami akan cabut izinnya. Hingga Agustus ini kami usahakan untuk membereskannya," kata Zulficar.
Selain itu, KKP juga menemukan ada 10.000 kapal yang menyertakan nilai kapasitasnya di bawah realita atau mark down. Misalnya, kapasitas kapal seharusnya tercantum 100 GT namun tertulis 30 GT.
Zulficar menduga, mark down tersebut disebabkan oleh adanya fasilitas subsidi bagi kapal dengan kapasitas 30 GT ke bawah. Oleh sebab itu, kasus mark down ini berpotensi merugikan negara dari sisi subsidi yang tak tepat sasaran serta pelaporan hasil ikan tangkapan yang tak sesuai yang berimbas pada data produksi.
Dalam temuan lapangan, KKP mendata terdapat 2.000 unit kapal baru yang dibangun tanpa persetujuan pembangunan. Zulficar mengatakan, pembangunan kapal seharusnya mengantongi rekomendasi teknis dari KKP.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Agus Suherman mengatakan, kapal-kapal yang dibangun tanpa persetujuan tersebut akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 650 juta. Secara umum, dia berkomitmen, pihaknya akan mendalami data-data kapal ilegal temuan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP tersebut.