Tambang Emas Rakyat Picu Pencemaran Merkuri di Sekotong
›
Tambang Emas Rakyat Picu...
Iklan
Tambang Emas Rakyat Picu Pencemaran Merkuri di Sekotong
Kandungan merkuri di udara wilayah Kecamatan Sekotong, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, melebihi ambang batas normal. Maraknya aktivitas penambangan emas skala kecil jadi penyumbang terbesar tingginya kandungan merkuri di wilayah tersebut.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Kandungan merkuri di udara wilayah Kecamatan Sekotong, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, melebihi ambang batas normal. Maraknya aktivitas penambangan emas skala kecil menjadi penyumbang terbesar tingginya kandungan merkuri di wilayah tersebut.
”Tingginya kandungan merkuri di udara di kecamatan itu akibat PESK (penambangan emas skala kecil) yang kian marak,” ujar Yuyun Ismawati Drwiega, Senior Advisor Nexus3 Foundation, Selasa (23/7/2019) sore, dalam pertemuan dengan sejumlah media di Mataram.
Berdasarkan survei Nexus3 pada Maret 2017 di Kecamatan Sekotong, kandungan merkuri di udara mencapai 10.000 nanogram per meter. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, ambang batas kandungan merkuri di udara hingga 1.000 nanogram per meter sudah dikategorikan mengkhawatirkan.
Tingginya kandungan limbah merkuri itu diambil dari sampel rambut, ikan laut, dan beras. Bahkan, efeknya terindikasi dari adanya anak lahir cacat di Desa Pelangan, Kecamatan Sekotong, yang kandungan merkurinya berkisar 40-50 kali ambang batas normal.
Bahkan, efeknya terindikasi dari adanya anak lahir cacat di Desa Pelangan, Kecamatan Sekotong, yang kandungan merkurinya berkisar 40-50 kali ambang batas normal.
Merkuri marak digunakan untuk mendapatkan unsur emas dari batuan dan material tanah. Bahkan, di sentra kerajinan kawasan Sekarbela, Kota Mataram, proses mendapatkan emas menggunakan mesin gelondong. Pengolahan material tanah itu digiling dengan alat dan dipanasi dalam wadah terbuka.
Akibatnya, uap yang mengandung merkuri menguap ke atmosfer. Ketika hujan, uap tersebut akan jatuh ke suatu tempat. Manusia yang mengalami kontak dengan merkuri dapat menderita berbagai penyakit yang membahayakan.
”Jangan heran, aktivitas PESK berkontribusi terhadap kesehatan di Sekotong,” ujar Yuyun.
Buktinya adalah Egi (8), warga Dusun Ketapang, Desa Sekotong Tengah. ”Waktu usia dua tahun, betis kiri Egi bengkok, tidak tumbuh normal,” kata Sumarni, ibu Egi.
Sumarni bertetangga dengan warga yang memiliki mesin gelondong. Dengan kaki yang bengkok, Egi tidak bisa berjalan, bahkan sempat jatuh. Lewat bantuan Nexus3, Egi bisa menjalani operasi dan betisnya masih digips meski harus memakai alat bantu tongkat untuk berjalan.
Rido malah lebih parah karena sejak lahir tidak memiliki anus, yang faktanya diperkuat dengan foto rontgen. ”Dua hari setelah lahir, saya tahu dia tidak punya anus,” ujar Mahani, ibunda Rido, warga Dusun Madak Belek, Desa Sekotong Tengah.
Rido sudah menjalani operasi di Rumah Sakit Umum NTB dan akan menjalani operasi satu kali lagi agar saluran pencernaannya normal.
Sebelumnya, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Mataram Hamsu Kadryan membenarkan, jika zat merkuri kontak dengan tubuh manusia, akan timbul masalah kesehatan. Masalah itu mulai dari gangguan pendengaran hingga gangguan pertumbuhan janin. Itu dibuktikan dengan ditemukannya bayi tanpa anus di Sumbawa Barat. Di kabupaten itu terdapat sedikitnya lima sentra PESK, yang lokasinya dekat permukiman penduduk.
Aktivitas PESK di Lombok dan Sumbawa Barat telah berkembang menjadi industri rumahan. Akibatnya, walau harga merkuri relatif mahal, sekitar Rp 1,5 juta per botol, pasti tetap dibeli. Padahal, dampak penggunaannya tidak bisa hilang seketika. ”Peristiwa Minamata, Jepang, misalnya, butuh waktu 14 tahun agar terbebas dari dampak merkuri yang kontak dengan tubuh,” kata Yuyun.