Kota Surabaya panas, tak ada tempat nongkrong yang bisa dipakai semua kalangan usia....” Kalimat ini dahulu kerap terdengar dari warga luar Surabaya. Bahkan, dari orang yang belum pernah menginjakkan kaki di Surabaya.
Namun, itu cerita lama. Kini, suhu udara di Surabaya di siang hari turun dari 36 derajat celsius menjadi sekitar 32 derajat celsius. Turunnya suhu udara di ”Kota Pahlawan” tak lepas dari rimbunnya peneduh di kota seluas 350 kilometer persegi ini. Ada 416 taman dengan luas 122 kilometer persegi atau 34 persen dari luas kota di sejumlah wilayah.
Kualitas udara di Surabaya pun membaik. Indeks standar pencemaran udara (ISPU) di angka 16-66. ISPU terbagi dalam lima kategori, 0-50 kategori baik, 51-100 kategori sedang, 101-199 kategori tidak sehat, dan 200-299 kategori sangat tidak sehat. Sementara lebih dari 300 termasuk kategori berbahaya.
Kategori baik (0-50) adalah tingkat kualitas udara yang tidak memberikan efek buruk bagi kesehatan manusia atau hewan dan tidak berpengaruh pada tumbuhan, bangunan, atau nilai estetika. Pada kategori sedang (51-100), kualitas udara tidak memberi efek buruk pada kesehatan manusia ataupun hewan, tetapi berdampak pada tumbuhan yang sensitif dan nilai estetika.
”Ketika berada di taman, otomatis semua yang berkegiatan saling sapa, saling peduli, dan tak ada celah diskriminasi. Di taman, segala perbedaan hilang dan yang menonjol adalah kekompakan. Kota ini seperti rumah sendiri, harus dijaga bersama-sama,” kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Kamis (30/5/2019), di Surabaya.
Tidak hanya cuaca kota yang beranjak teduh, situasi sosial dan politik di kota berpenduduk sekitar 3,1 juta jiwa itu juga selalu damai. Warga yang berbeda latar belakang bisa mendinginkan suasana dan perasaan, tak ikut-ikutan memanas meski perbedaan antarwarga tak terelakkan.
Menurut Risma, stabilitas sosial dan politik menjadi hal penting untuk menjaga perekonomian Surabaya tetap mengalir. Tanpa stabilitas, Surabaya berpotensi ditinggalkan. Padahal, perputaran uang di kota ini mencapai sekitar Rp 2 triliun per hari, disokong sektor industri dan jasa.
”Warga dari semua agama, ras, dan suku, termasuk organisasi yang lahir di tengah masyarakat, rutin saya ajak bertemu, bicara soal kesulitan dan solusi sehingga ketika muncul riak-riak pertikaian, segera dicairkan,” ujar Risma.
Menurut dia, seluruh elemen masyarakat di Surabaya memiliki tujuan sama, yakni kesejahteraan. Karena itu, mereka menjadi bagian penting dalam pembangunan. Nazrya Octora, karyawan yang tinggal di Jakarta, tetapi rutin ke Surabaya untuk urusan pekerjaan, menilai, kota ini benar-benar membuat hati damai. ”Hijau, tertata, dan tertib. Bisa dinikmati seperti kota-kota di luar negeri.
Keelokan kota ini terpancar dari suasana dan ruang publiknya yang benar-benar menjadi milik publik. Tidak ada rasa waswas sedikit pun setiap kali berkunjung ke kota ini,” ucap perempuan yang setiap ke Surabaya rutin menyusuri kota dengan jalan kaki dan menikmati berbagai taman kota.
Wakil Kepala Kepolisian Daerah Lampung yang awal Mei lalu masih menjabat Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya Brigadir Jenderal (Pol) Rudi Setiawan mengatakan, salah satu kunci menjaga kondisi keamanan Surabaya adalah warga yang sepaham ingin kotanya selalu damai.
”Semua warga memiliki tujuan sama dengan polisi, seperti slogan Jogo Suroboyo,” ujar Rudi yang selama 18 bulan menjadi Kepala Polrestabes Surabaya. (SYA/ETA)