JAKARTA, KOMPAS -- Pemerintah Filipina menegaskan dukungan pada kebebasan berpendapat. Manila juga menjamin setiap orang bisa meminta informasi soal kinerja pemerintah.
”Kebebasan pers sangat dihormati dalam konstitusi kami,” kata Duta Besar Filipina untuk Indonesia Lee Hiong Tan Wee di sela-sela Press Freedom Caravan yang diselenggarakan Kantor Pelaksana Komunikasi Kepresidenan Filipina, Rabu (24/7/2019), di Jakarta.
Acara itu secara khusus membahas soal kebebasan pers dan perang narkotika di Filipina. Isu itu mendapat sorotan global, antara lain, karena melibatkan kasus Pemimpin Redaksi Rappler Maria Ressa yang kini sedang menghadapi serangkaian persidangan. Ressa mengklaim dijadikan sasaran karena kritis terhadap perang narkotika yang dilancarkan pemerintahan Rodrigo Duterte.
Sementara Manila menegaskan, kasus Ressa murni masalah hukum. Kepala Kantor Pelaksana Komunikasi Kepresidenan Filipina Jose Andanar mengatakan, Filipina sangat mendukung kebebasan pers. Manila menyadari pers berperan penting dalam pencarian kebenaran. ”Masalahnya, ada peluang korupsi kebenaran karena berbagai faktor,” ujarnya.
Benturan kepentingan pemilik menjadi salah satu penyebab korupsi itu. Bagi Andanar, salah satu korupsi terburuk adalah korupsi dalam upaya pencarian kebenaran. Sebab, hal itu mengurangi hak publik untuk mengetahui fakta.
Kasus
Sebagaimana pernah diberitakan, wartawan senior Filipina Maria Ressa—yang beberapa kali memperoleh penghargaan internasional dan tahun lalu termasuk dalam daftar Persons of the Year pilihan majalah Time—ditahan karena dugaan terkait gugatan pebisnis Wilfredo Keng atas artikel yang ditulis tahun 2012.
Dalam artikel yang didasarkan pada laporan intelijen itu, Keng dikaitkan dengan jaringan narkoba, penyelundupan manusia, dan kasus pembunuhan. Persoalannya, Ressa ditahan berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Kejahatan Siber yang belum berlaku saat artikel itu diterbitkan.
Sebelum Duterte berkuasa, gugatan yang dilayangkan Keng sudah ditolak Biro Penyelidikan Nasional. Namun, gugatan itu muncul kembali saat Duterte berkuasa (Kompas, 16/2/2019).
Aktifnya kasus lama—terkait dugaan pencemaran nama baik itu—diduga Ressa merupakan upaya Presiden Duterte membungkam kritik dan mengintimidasi pers. Awal Juli lalu, pengacara hak asasi manusia terkenal, Amal Clooney, bergabung dengan tim hukum yang membela Maria Ressa.
Terkait perang narkoba yang dijalankan pemerintahan Presiden Duterte, Dewan Hak Asasi Manusia PBB, pertengahan Juli lalu, telah menyetujui resolusi yang mengamanatkan tinjauan internasional komprehensif.
Teks resolusi itu diusulkan oleh Eslandia. Dari 47 negara anggota Dewan HAM, sebanyak 18 negara mendukung resolusi itu, 14 negara menentang, dan 15 lainnya abstain. Selanjutnya, Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Michelle Bachelet akan menyiapkan laporan tertulis komprehensif tentang situasi HAM di Filipina.
”Filipina menolak resolusi ini,” kata Menteri Luar Negeri Filipina Teodor Locsin dalam sebuah pernyataan (Kompas, 12/7/2019). (AP/AFP/REUTERS)