Kasus gagal bayar obligasi PT Delta Merlin Dunia Tekstil dinilai tidak dipengaruhi oleh situasi industri tekstil dalam negeri. Ekspor justru terus naik tiga tahun terakhir.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO/FERRY SANTOSO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus gagal bayar obligasi PT Delta Merlin Dunia Tekstil dinilai tidak dipengaruhi oleh situasi industri tekstil dalam negeri. Ekspor justru terus naik tiga tahun terakhir.
Pro dan kontra menyertai status gagal bayar obligasi PT Delta Merlin Dunia Tekstil senilai 300 juta dollar AS. Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) menilai kegagalan itu sejalan dengan lesunya permintaan. Sementara Asosiasi Pertekstilan Indonesia menganggap industri tekstil nasional dalam kondisi baik.
Akibat gagal membayar bunga dan pokok surat utang berjangka waktu lima tahun dengan kupon 8,625 persen, lembaga pemeringkat Standard and Poor\'s dan Fitch menurunkan peringkat utang anak usaha Grup Duniatex tersebut. Sejumlah kreditor, seperti PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, mengantisipasi risiko kredit macet.
APSyFI menyebut permintaan bahan baku di dalam negeri turun antara lain karena impor produk serupa naik. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta, Selasa (23/7/2019), menyebutkan, pasca-Lebaran, utilitas pabrik serat dan benang filamen turun 15-60 persen.
Utilisasi di industri serat, menurut data Kementerian Perindustrian dan APSyFI, mencapai 67,7 persen tahun 2018, sementara di industri benang 76,5 persen. Namun, pada semester I-2019, utilisasi industri serat turun jadi 55 persen dan industri benang turun jadi 60 persen.
Menurut Redma, impor makin banjir sejak terbit Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 64 Tahun 2017. ”Sebelum ada Permendag No 64/2017, yang boleh impor tekstil hanya API-P, importir produsen. Mereka harus dapat izin impor untuk bahan baku dan tidak boleh memperjualbelikannya, terutama kain dan benang, tetapi kini importir umum bisa mengimpornya melalui Pusat Logistik Berikat (PLB),” katanya.
Faktor internal
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat berpendapat, kasus gagal bayar tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor internal perusahaan. Menurut dia, perusahaan tekstil yang efisien dan fokus pada pengembangan atau ekspansi usaha terbukti mampu bersaing.
Menurut Ade, kasus gagal bayar itu memiliki sejumlah anomali yang perlu dicermati. Sebab, hal itu terjadi saat kondisi tekstil nasional tumbuh dan ekspornya diperkirakan mencapai 14,6 miliar dollar AS tahun ini. Data API, nilai ekspor tekstil dan produk tekstil tahun 2018 mencapai 13,21 miliar dollar AS dan 12,53 miliar dollar AS tahun 2017.
Pertumbuhan ekspor, lanjutnya, relatif moderat. Namun, ada banyak kesempatan yang dapat dicapai, terutama ekspor ke Amerika Serikat (AS) dalam situasi perang dagang dengan China. Dengan percepatan kesepakatan bilateral, prospek nilai ekspor ke AS diharapkan terus meningkat.
Terkait dugaan banyaknya masuk barang impor ilegal dari PLB, Sekretaris Eksekutif API Ernovian G Ismy menyatakan, PLB di sektor industri tekstil dan produk tekstil merupakan tempat penimbunan bahan baku impor, yaitu kapas. Pengelolaan PLB untuk bahan baku kapas cukup terkontrol karena menggunakan sistem elektronik.
Kementerian Perindustrian mencatat, kapasitas produksi industri tekstil nasional (benang dan kain) mencapai 5,6 juta ton. Namun, utilitasnya hanya 56 persen atau 3,13 juta ton. Di sisi lain, total kebutuhan untuk pasar ekspor dan domestik sebanyak 4,6 juta ton sehingga ada kekurangan bahan baku 1,47 juta ton.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Muhdori mengatakan, kekurangan bahan baku dipenuhi melalui impor. ”Mekanisme melalui PLB clear untuk kepentingan industri kecil menengah,” katanya.