Mafia Air Rugikan Petani
Sejumlah petani di Indramayu berebut air irigasi dengan membayar ke penjaga pintu air atau gagal panen. Praktik bertahun-tahun itu dibantah, petani dituding salah paham.
INDRAMAYU, KOMPAS Dampak kerusakan infrastruktur pertanian saat kemarau di Jawa Barat kian terasa. Kondisi itu memicu praktik mafia air yang membuat ribuan hektar sawah tak terairi dan gagal panen.
Berdasarkan penelusuran Kompas, Senin hingga Rabu (22-24/7/2019), kerusakan infrastruktur pertanian terjadi dari Karawang, Subang, Indramayu, hingga Cirebon, daerah lumbung padi utama Jabar.
Di Indramayu, sejumlah pintu air pembagi air ke sejumlah kecamatan rusak, bahkan hilang. Itu terpantau di pintu air Sentolop, Bangodua. Tanpa pintu, air irigasi mengalir deras ke Kecamatan Losarang, Widasari, dan Jatibarang. Untuk ke Losarang, masih ada pintu air Gato di Kecamatan Cikedung.
Dari empat pintu air menuju Losarang di Gato, dua pintu tertutup balok kayu. Dua pintu lain hilang. Air pun terus mengalir ke wilayah Cikedung.
Di pintu air Krama, Cikedung, titik pembagian air akhir ke Losarang, dua pintu air tertutup rapat. Satu pintu lain digantikan tumpukan batang pohon pisang. Aliran air mengecil. Akibatnya, saluran irigasi tersier di Losarang mengering.
Puluhan hektar sawah di daerah itu gagal panen. Tanahnya retak, terbelah. Yanto (30), petani di Desa Santing, Losarang, mengalami gagal panen di sawah garapan seluas 2,8 ha. Harapan mendapat 16 ton gabah kering giling sirna. Padahal, sawah itu disewa Rp 40 juta per tahun. Modalnya Rp 10 juta untuk musim tanam kedua atau gadu keluar sia-sia.
”Air irigasi tak sampai ke sawah,” ujarnya. Jarak Bangodua ke Losarang sekitar 30 km. Berdasarkan pembagian waktu gilir air, sejumlah desa di Losarang dijatah aliran air tiga hari tiga malam dalam 10 hari. Airnya dibagi dua dengan Kecamatan Kandanghaur. Di Desa Puntang, sawah hanya mendapat air 36 jam. Sawah jauh dari irigasi tersier tidak terairi.
”Padahal, kami sudah bayar ke penjaga air. Namun, kalau dari kecamatan lain uangnya lebih banyak, air juga lebih banyak,” ujar Sin, petani Puntang.
Untuk dapat jatah air 36 jam, kata dia, petani di Puntang menyerahkan Rp 2 juta setiap gilir air. Setiap hektar sawah, petani dipatok Rp 100.000 sekali gilir. Menurut Sin, hal serupa ada di lima desa lain. Setiap gilir, oknum penjaga pintu air dapat Rp 12 juta dari enam desa.
Memberatkan petani
Uang gilir air itu memberatkan, selain uang bensin untuk bahan bakar mesin pompa air. Jika musim tanam pertama atau rendeng petani menghabiskan Rp 5 juta untuk tanam per 7.000 meter persegi, saat musim gadu seperti sekarang biaya produksi jadi Rp 6,5 juta.
Kondisi itu sudah lebih dari 10 tahun sejak pintu air di Sentolop, Gato, dan Krama rusak. Pintu air berupa balok dan kayu itu dibuka tutup manual. ”Kami takut melaporkan karena diancam sawahnya tidak mendapat air. Lagi pula, mau melapor ke mana?” katanya.
Wani (39), petani di Desa Tegalsembadra, Kecamatan Balongan, juga membayar Rp 30.000 untuk petugas penjaga pintu air agar sawahnya terairi setiap masa gilir. Uangnya dikumpulkan ke petani lain.
Bupati Indramayu Supendi meminta Polres Indramayu menangkap tangan siapa pun yang memperdagangkan air irigasi, termasuk pegawai pemerintah. ”Kalau oknum kami, jika ada yang menghambat gilir air, akan saya tindak,” katanya.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu Takmid mengatakan, dugaan mafia air kesalahpahaman petani. ”Ada petani tidak patuh pada jadwal gilir air. Seharusnya, air untuk daerah lain, tetapi petani yang bukan gilirannya masih mengambil air menggunakan pompa atau buat tanggul,” ujarnya.
Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Indramayu Sutatang mengatakan, pihaknya mengusulkan perbaikan saluran irigasi, termasuk pintu air. Dengan perbaikan, mafia air diharapkan dapat dicegah.
Hal sama terjadi di Karawang. Di saluran irigasi sekunder di Kecamatan Majalaya, kebocoran tampak di kanan-kiri dinding saluran dan membasahi bagian luar. Di beberapa titik, dinding saluran bolong dan ditambal tumpukan karung.
Akan tetapi, air tetap merembes mengalir ke arah saluran pembuangan menuju desa lain. Saluran yang membentang 3.000 meter itu melintas di empat desa, yakni Ciranggon, Lemahmulya, Majalaya, dan Bengle, Kecamatan Majalaya.
Asep Saepudin (38), Ketua Gabungan Kelompok Tani Desa Ciranggon, Majalaya, mengatakan, saluran di daerahnya rusak sejak 2015. Setidaknya, 200 ha sawah di desa itu terancam kekurangan air tiga tahun terakhir. (SEM/IKI/MEL)