Mengatasi Konflik Terkait Hutan dan Masyarakat Adat
Pada akhir April 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I (Kompas, 28/05/19). Peluncuran peta ini berdasarkan SK Menteri LHK Nomor 312 Tahun 2019, turunan dari Permen LHK No 21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak.
Pada akhir April 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I (Kompas, 28/05/19). Peluncuran peta ini berdasarkan SK Menteri LHK Nomor 312 Tahun 2019, turunan dari Permen LHK No 21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak.
Menurut Menteri LHK Siti Nurbaya, penerbitan peta itu diharapkan bisa mengatasi konflik tenurial dan mengurangi sumber konflik. Peta diharapkan pula menjadi acuan pemerintah pusat dan daerah sebelum mengeluarkan izin atau konsesi sehingga tak berbenturan dengan daerah indikatif hutan adat.
Luas Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I sesuai Permen LHK tentang Hutan Adat dan Hutan Hak itu mencapai 472.981 hektar. Jumlah luasan ini berasal dari hutan negara 384.896 hektar, areal penggunaan lain (APL) 68.935 hektar, dan hutan adat 19.150 hektar.
Luasan di peta yang diterbitkan itu baru sekitar 10 persen dari potensi yang tercatat di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), lembaga swadaya masyarakat (LSM) bentukan beberapa organisasi. Mereka memetakan wilayah adat di seluruh Indonesia. Berdasarkan data BRWA, hingga April 2019, terlihat potensi wilayah adat berdasarkan pengakuan kelompok adat berjumlah 322 wilayah dengan luas total 4.651.296,96 hektar.
Walau baru mencakup 10 persen luasan, penerbitan peta penting bagi keberlanjutan pengakuan terhadap hutan adat. Dalam laman berita lingkungan Mongabay, Kasmita Widodo, Kepala BRWA, mengatakan, peta ini menegaskan areal kerja prioritas bagi pemerintahan selanjutnya untuk menetapkan hutan adat. Selain itu, peta membantu para pihak melihat kesigapan KLHK, pemerintah daerah, masyarakat adat, dan masyarakat sipil dalam proses pengakuan hutan adat.
Saat ini, berdasarkan data Direktorat Penyelesaian Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, pengakuan hutan adat mencapai 49 wilayah dengan luas 22.193 hektar.
Masyarakat adat
Hutan dan masyarakat adat adalah dua entitas tak terpisahkan. Hutan menjadi sumber kehidupan masyarakat adat. Sebaliknya, masyarakat adat melalui kearifan lokal mereka merupakan penjaga pelestarian hutan. Namun, selama puluhan tahun, kebijakan pemerintah berusaha menjauhkan masyarakat adat dari hutan mereka.
Dimulai dengan aturan yang ditetapkan rezim Orde Baru melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan. UU ini menyebutkan, negara berhak atas semua kawasan yang disebut sebagai hutan.
Di samping itu, negara diberi kewenangan penuh mengatur perencanaan, peruntukan, dan penggunaan kawasan yang ditetapkan sebagai hutan demi memberi manfaat bagi pembangunan. Implikasinya, semua hutan yang sudah dikelola masyarakat adat diakui sebagai hutan negara. Penggunaannya berada di tangan negara.
Dalam praktiknya, selama bertahun-tahun masyarakat adat dilarang masuk hutan yang menjadi bagian hidupnya, dikriminalisasi, dipenjara. Di sisi lain, Orde Baru memberi konsesi pengelolaan hutan kepada korporasi swasta dalam bentuk hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI). HPH berkembang pesat tanpa hambatan. Pada 1989, tercatat 572 HPH menguasai 64 juta hektar hutan produksi. Hingga tahun 2000 terdapat 600 HPH beroperasi di Indonesia (Indoprogress, 30 Desember 2013).
Kebijakan pemberian konsesi HPH secara ekonomi menguntungkan. Pada 1970-an, kehutanan menyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor energi minyak bumi. Pada 1974, devisa yang diperoleh mencapai 564 juta dollar AS. Jumlah membengkak setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan pengintegrasian pemanfaatan hutan dari hulu hingga hilir lewat pembangunan plywood. Dengan kebijakan ini, pada 1983-1997 diperoleh devisa 50 miliar dollar AS.
Kebijakan pembangunan plywood membawa implikasi pembukaan hutan besar-besaran. Maka, pemerintah membuka HTI. Periode 1980-an dibuka 1,5 juta hektar hutan untuk HTI. Hingga 1998, pemerintah telah membuka sekitar 2,4 juta hektar hutan untuk HTI.
Dengan menjamurnya HPH dan HTI, menurut Badan Pangan Dunia FAO, antara 1976 dan 1980, seluas 550.000 hektar hutan rusak tiap tahun. Lima tahun kemudian, luasan hutan rusak mencapai 600.000-1,2 juta hektar. Pada 1985-1997, laju deforestasi menjadi 1,7 juta hektar per tahun.
Konflik tenurial
Setelah Orde Baru, ada peningkatan tuntutan masyarakat adat terhadap pengembalian hutan adat. Kongres Masyarakat Adat pada Maret 1999 menuntut pemerintah mengakui kedaulatan masyarakat adat Nusantara, termasuk hak atas tanah ulayat warisan leluhur.
Angin reformasi yang kencang berembus serta desakan masyarakat merebut kembali tanah adat membuat pemerintah menerbitkan UU No 41/1999 tentang Pokok-pokok Kehutanan. Salah satu pasalnya menyatakan, pemerintah dapat memberi pengelolaan kawasan hutan kepada masyarakat adat.
Namun, sejumlah syarat dan kriteria untuk mendapat pengakuan atas hutan adat dibuat sulit dipenuhi oleh masyarakat adat. Pasal 50 UU No 41/1999 melarang kegiatan pertanian terkait hutan tanpa memiliki hak atau surat izin yang diterbitkan pejabat berwenang.
Sejumlah masyarakat adat kerap berkonflik dengan taman nasional yang diserahi tanggung jawab menjaga pelestarian hutan ataupun dengan korporasi, baik pertambangan maupun perkebunan. Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tahun 2013 menunjukkan, ada 118 komunitas adat yang berkonflik dengan pemerintah dan korporasi.
Di sisi lain, otonomi daerah memberi keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengeluarkan konsesi baru bagi usaha ekstraktif dan eksploitatif hutan. UU No 41/1999 berperan sebagai payung hukum atas tindakan mengambil alih hak kesatuan masyarakat adat atas hutan adatnya.
Sering kali pemerintah daerah memberi hak pengelolaan hutan kepada korporasi. Itu terjadi di Kabupaten Keerom, Papua, tempat perusahaan kayu PT Batasan beroperasi sejak 2010 hingga 2017 (Mongabay).
Wilayah operasi perusahaan ini berada di hutan adat warga Waris. Penebangan yang dilakukan membabat hutan warga Waris sekaligus merusak jalan ke Distrik Waris, Arso Timur, akibat kendaraan berat dan truk.
Sejumlah masyarakat hukum adat dan organisasi AMAN lalu menguji materi UU No 41/1999 ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan uji materi dikabulkan sebagian oleh hakim MK melalui Putusan MK No 35/2012.
Dalam salah satu pertimbangan putusan MK disebutkan, UUD 1945 Pasal 18 dan 28 memberi pengakuan dan perlindungan atas keberadaan hutan adat dalam kesatuan dengan wilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat. Hal ini merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai living law yang sudah berlangsung lama.
Pokok paling penting dari putusan ini adalah penetapan hutan adat sebagai hutan hak dan bukan hutan negara sehingga masyarakat adat memiliki kedaulatan untuk menguasai tanah ulayatnya.
Praktik di lapangan belum memuaskan. Konsorsium Pembaruan Agraria Tahun 2016 menyatakan, konflik tenurial menyangkut agraria dan perhutanan mencapai 450 kasus, meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2015 (252 kasus). Dari 1.265.027 hektar luasan konflik, 1 juta hektar lebih terjadi di perkebunan (601.680,57 hektar) dan kehutanan (450.215,30 hektar).
Meski demikian, di pengujung 2016, Presiden Joko Widodo menyerahkan 13.122,3 hektar hutan adat kepada sembilan masyarakat adat di Sumatera dan Sulawesi (Kompas, 27/3/2017). Pengakuan hutan adat ini dilakukan melalui instrumen perda ataupun surat ketetapan kepala daerah.
Pengakuan terhadap hutan adat ini merupakan bagian dari paradigma baru. Paradigma ini ingin memosisikan masyarakat adat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan kawasan konservasi, pengembangan daerah penyangga melalui ekowisata, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK), jasa lingkungan, patroli dan penjagaan kawasan, restorasi kawasan, pengendalian kebakaran, serta pencegahan perburuan dan perdagangan satwa.
Cara baru ini diharapkan mempertimbangkan penghormatan hak asasi manusia. Jika muncul persoalan penguasaan lahan, hal itu diselesaikan dengan mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan atau melalui pendekatan nonlitigasi dan dialog.
Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat yang telah diluncurkan diharapkan mampu menjamin keberlangsungan wilayah konservasi, hutan adat, dan kehidupan masyarakat adat yang menjaganya.