Merisaukan Langkah Boris
Sikap PM Inggris Boris Johnson dalam menangani Brexit mengkhawatirkan banyak pihak, termasuk parlemen dan para politisi di Partai Konservatif.
Apa yang ada di atas meja saat ini memang tidak membuat PM baru Inggris Boris Johnson memiliki banyak pilihan. Inggris memiliki waktu tiga bulan, sampai 31 Oktober 2019, untuk meratifikasi kesepakatan Brexit sehingga bisa keluar dari Uni Eropa dengan teratur.
Persoalannya, kesepakatan yang ditandatangani oleh Theresa May dan UE pada November 2018 tersebut telah ditolak Majelis Rendah Inggris tiga kali dan berujung pada pengunduran diri May.
Dalam kampanyenya, Johnson menegaskan, dirinya akan melakukan negosiasi kembali dengan UE untuk mengubah sejumlah poin yang ada dalam kesepakatan Brexit, di antaranya terkait backstop perbatasan Irlandia Utara. Namun, Brussels sudah menegaskan tak akan ada negosiasi.
Johnson juga sudah mendeklarasikan Inggris akan keluar dari UE pada 31 Oktober dengan atau tanpa kesepakatan. Do or die, itu adalah mantra Johnson. Namun, Johnson akan menghadapi persoalan rumit di dalam negeri. Ia akan berhadapan dengan parlemen Inggris yang mayoritas menentang opsi tanpa kesepakatan. Ia juga akan berhadapan dengan mayoritas rakyat Inggris yang menginginkan terjadinya kesepakatan Inggris-UE.
Dalam jajak pendapat yang dilakukan Hope Not Hate, pekan lalu, mayoritas responden tak ingin ada kekacauan ketika terjadi Brexit. Mereka yakin, Brexit tanpa kesepakatan akan bermasalah bagi perdagangan, pekerjaan, isu kesehatan, dan posisi Inggris di dunia.
Bahkan, ketika responden diminta memilih Brexit tanpa kesepakatan atau tetap berada di dalam UE, sebanyak 53 persen memilih tetap bersama UE dan 47 persen memilih opsi tanpa kesepakatan.
Sikap Johnson yang teguh pada Brexit tanpa kesepakatan menyebabkan sejumlah menteri mundur, di antaranya Menteri Keuangan Philip Hammond, Menteri Kehakiman David Gauke, Menteri Pertahanan Tobias Ellwood, Menteri Pendidikan Anne Milton, Menteri Bantuan Internasional Rory Stewart, Wakil PM David Lidington, dan sejumlah menteri muda. Pada intinya, mereka menentang opsi tanpa kesepakatan Johnson.
Dampak ekonomi
Para menteri itu mundur karena mereka meyakini hasil analisis dan riset yang menyatakan bahwa Brexit tanpa kesepakatan akan menggoyang fondasi ekonomi Inggris dan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi global.
Mantan PM Inggris Gordon Brown dalam tulisannya di The Guardian (21/7/2019) secara keras mengkritik sikap Johnson yang berupaya menggalang rasa patriotisme warga Inggris untuk berani mendukung opsi Brexit tanpa kesepakatan pada 31 Oktober. Brown menyebutkan, sehari setelah 31 Oktober (Kamis), akan ada antrean panjang di Dover, yaitu pelabuhan utama untuk kapal-kapal yang akan mengangkut barang dari Inggris ke Calais, Perancis.
”Hari Minggu harga makanan akan melonjak naik, diprediksi sekitar 10 persen dan Senin nilai mata uang pound sterling akan jatuh. Mulai Selasa, obat-obatan dari Eropa mulai susah diakses, dan sepekan setelah Brexit, perusahaan akan mengeluh bahwa suku cadang yang mereka butuhkan tak kunjung datang,” tulis Brown yang meminta rakyat Inggris tak terbuai slogan-slogan kosong Johnson.
Tawaran untuk UE
Johnson yang ulung berorasi, tetapi sering tidak didukung fakta yang valid, telah menyampaikan sejumlah poin yang akan ditawarkan kepada Brussels. Ia juga telah memilih Dominic Cummings, arsitek referendum Brexit 2016, sebagai penasihat seniornya.
Pertama, Johnson ingin menghapus backstop Irlandia Utara dan kemudian memanfaatkan kecanggihan teknologi—yang belum jelas bentuknya—sebagai penggantinya. Backstop adalah komitmen UE dan Inggris bahwa apa pun yang terjadi kedua pihak sepakat tidak akan ada penjagaan militer di perbatasan Irlandia Utara dan Irlandia.
Kedua, Johnson menegaskan Inggris tak akan membayar kewajiban uang perpisahan sekitar 39 miliar poundsterling, kecuali tercapai kesepakatan perdagangan bebas.
Ketiga, seandainya terjadi Brexit tanpa kesepakatan, Inggris akan mengikuti Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan GATT 24 di mana Inggris dapat menghindari tarif selama 10 tahun ke depan. Namun, Johnson tidak menjelaskan, hal itu harus membutuhkan persetujuan UE.
Johnson menghadapi kendala tak mudah di dalam negeri. Partai Konservatif tidak menjadi mayoritas di parlemen, bahkan kini membutuhkan dukungan 10 kursi dari partai DUP Irlandia Utara.
Artinya, sulit bagi Johnson untuk mengontrol parlemen, terlebih sebagian anggota Konservatif menentang opsi tanpa kesepakatan. Johnson sempat menyatakan akan mengabaikan parlemen dalam memutuskan Brexit. Jika itu terjadi, akan muncul krisis konstitusional, yang mungkin berujung pada percepatan pemilu atau bahkan referendum kedua.
Kendala lain, secara ekonomi Inggris akan terdampak empat kali lebih buruk dibandingkan UE jika mengambil opsi tanpa kesepakatan. Saat ini ekspor Inggris ke UE sekitar 13 persen, sedangkan UE ke Inggris sekitar 2,5 persen.
Brussels menyadari, opsi tanpa kesepakatan akan lebih besar kemungkinannya terjadi di bawah PM Johnson. Namun, UE berkeras tidak akan menegosiasikan kesepakatan yang sudah ditandatangani dan hanya bersedia mengubah deklarasi politik, dokumen yang terpisah dari kesepakatan.